SkriptoriaTerkini

Menapak di Jejak Masa Banten Art Community

Pengunjung pameran cukup bejubel. Beberapa orang tampak sedang berdiskusi di depan sebuah lukisan, beberapa orang tampak diam saja menghadap pada lukisan yang lainnya, sementara saya bergerak ke karya-karya Wisnu.

Sekilas pandang saya merasakan bahwa karya-karya Wisnu menggambarkan pertarungan pikiran dan perasaan atas suatu realitas di dalam dan di luar diri manusia, yang senantiasa tarik menarik, yang secara berani ia gugat dan gugah. Ini mengingatkan saya pada ungkapan bahwa kekayaan terbesar yang dimiliki anak muda adalah keberanian, sementara kekayaan terbesar yang dimiliki orang tua ada kebijakan. Sebagai generasi muda, Wisnu menunjukkan keberanian berekspresi mengenai hal-hal di atas termasuk juga keberaniannya mengantarkan guratan-guratan yang mengandung pertanyaan krusial tentang hidup dan kehidupan; skeptisisme terhadap kebenaran yang bertopang pada kesimpulan bahwa suatu proposisi itu benar karena dipercayai oleh banyak atau kebanyakan orang; kegelisahan eksistensial antara ketiadaan; dan keberadaan manusia di antara segala nilai yang remang-remang.

Tiga karya yang sepenuhnya menggunakan media pulpen tinta China itu berwarna hitam-putih. Ketiganya didominasi oleh warna gelap bernuansa kegelapan. Ketiganya mengandung pesan pertaruhan dan pertarungan antara keberadaan harapan dan ketakutan di dalam sesuatu yang diyakini sebagai kenyataan. Misal di dalam karya berjudul “Sang Penjagal”, saya melihat seorang pimpinan perang di sebuah negeri pada waktu malam berbulan bulat sempurna yang tampak angker. Pemimpin perang itu berkuda. Kudanya tampak tak biasa. Entah apa namanya. Ia mengenakan helm bertanduk (horned helmet). Helm bertanduk dalam budaya Jepang mengidentifikasi komandan militer di medan perang dan pada sejarah peradaban kuno menurut pendapat beberapa ahli digunakan untuk tujuan ritual keagamaan karena ketidakpraktisannya. Itulah mengapa saya mengarahkan pemaknaan bahwa sosok itu adalah seorang pemimpin perang atau lebih mengena, penjahat perang. Ia memegang tombak bertengkorak di gagangnya dengan ujung pedang bergerigi.

Tidak ada pasukan tidak ada korban. Hanya tokoh itu di dalam lukisan, tapi dapat diterima pesannya secara jelas. Wajahnya memancarkan kejahatan. Nuansa kota menunjukkan kemuraman. Kemuraman yang berdiri tegak pada batas antara harapan kebangkitan dan dekatnya napas kehancuran. Kota yang digambarkan adalah kota yang megah. Kemegahan yang bernuansa muram dengan simbol tokoh pimpinan perang yang memancarkan kejahatan mengarah pada penghancuran yang sempurna. Meski begitu, gelombang warna putih pada arsiran karya Wisnu menunjukkan keberadaan kemungkinan adanya pertolongan.

Bergerak ke karya Idy. Perupa asal Anyer ini menyuguhkan satu karya bertajuk “Pawon”. Lukisan tersebut memainkan simbol tungku dari susunan bata; api yang menyala; dan sebuah wajan besar lengkap dengan penutupnya berada di atas nyala api. Artinya, dapur ia maknai sebagai aktivitas memasak. Pemaknaan terhadap aktivitas memasak memang dapat meluas pada banyak hal, termasuk sebagai simbol eksistensi dapur. Dapur tanpa asap adalah dapur yang telah mati. Hal lain dalam pemaknaan yang lain, misal, tentang kenangan melankolis masa kanak di dapur Ibu atau tentang cara memasak di masa lalu dalam bingkai pikiran sosiokultural.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button