SkriptoriaTerkini

Menapak di Jejak Masa Banten Art Community

Selain “Pertahanan Terakhir” yang sambil bercanda saya katakan pada Fadli bahwa lukisan itu lebih cocok diberi judul “Abad Akhir”, ia menghadirkan tiga karya lainnya, yakni “Identitas”, “Tiga Potret”, dan “Candi Kalasan”. Berbeda dengan “Pertahanan Terakhir”, “Identitas”, dan “Candi Kalasan”, “Tiga Potret” berisi tiga sketsa wajah (hitam putih) dalam satu bingkai: Novel Baswedan, Chairil Anwar, dan Irman Putra Sidin. Novel dan Iman dapat saya pahami latar yang membuat Fadli menyeketsa wajah mereka, yakni gejala politik dan sosial yang ramai dibicarakan. Hal itu saya sebut sebagai respon seniman terhadap dinamika masyarakatnya sebagaimana respon yang menjadi latar lahirnya mural “Tuhan Aku Lapar” di dinding di bilangan Tangerang yang dengan segera dihapus oleh kekuasaan dengan dalil-dalih ketertiban. Sementara sketsa Chairil, saya tidak dapat membayangkan. Mungkinkah ia mulai tertarik pada dunia sastra atau Fadli telah jatuh cinta pada seorang sastrawan? Jatuh cinta pada penyair, misalnya.

Di sisi lukisan Fadli, ada mainan kuas ulama Cilegon yang dikenal begitu akrab dengan dunia seni, KH. Mukti Jayaraksa. Ada “Jangjawokan Jati Diri”. Mainan aksara arab di kanvas mengingatkan saya pada rajah. Jangjawokan, yang juga kerap disebut mantra atau doa dalam mainan warna ala kaligrafi menyekap saya dalam waktu yang cukup lama. Saya berusaha membaca, tapi pengetahuan saya tentang seni khat sama sekali tidak memadai. Pada lukisannya yang lain yang dipajang di dinding ruangan kedua, saya juga berusaha membaca hasil karyanya yang bertajuk “Syahadat Banten”. Menggunakan huruf pegon. Saya cukup biasa membaca huruf pegon, tapi saat membaca lukisan ulama yang juga sastrawan ini, saya gagal. Jelas, huruf-hurufnya dibuat lain dengan teknik yang lain pula. Dan lagi, ini lukisan atau sebut saja kaligrafi–yang saya pun tidak memiliki pengetahuan tentang aliran-alirannya–bukan teks doa. Ianya menawarkan perspektif estetik pengkaryanya. Meski tidak dapat membaca aksara arab, dalam sapuan kuas pimpinan Ponpes Al-Munawaroh Gerem tersebut, saya dapat merasakan nuansa mistisisme ke-Banten-an yang kuat dalam ruang rahasia makna aksara.

Masih di dalam ruang rahasia makna akrasa, setelah bergerak dari aksara Arab saya disuguhi dengan aksara Sumatera Kuno. Dalam lukisan bertajuk “Untuk Sebuah Nama” karya Indra Kesuma, ada aksara berwarna kuning dalam latar warna merah tua yang cenderung berbentuk semacam bulatan, tapi tidak bulat sempurna dan tidak juga elips sempurna. Ada beberapa aksara yang kenampakannya seperti kecebong, berekor. Saya berseloroh pada pelukisanya, “Untuk Sebuah Nama” bukan lukisan yang menyembunyikan nama mantan, kan?”. Kang Indra tertawa, sementara jiwa dan pikiran saya mencoba meneroka hutan belantara makna yang belum saya dapatkan. Mengingat pelukisnya bukan anak remaja yang memungkinkan akan sangat kasmaran dalam berkarya, saya menduga lukisan itu menyimpan nama seorang suci atau Tuhan.

Indra Kesuma juga menyuguhkan “Memahat Peristiwa” yang mengingatkan saya pada relief-relief dalam dinding peninggalan masa lalu. Misal relief di Candi Borobudur yang terdiri dari 1.460 panel relief cerita naratif dan 1.212 panel relief dekoratif. Ini artinya bersesuaian dengan tajuknya. Melukis tentu bukan pekerjaan memahat tapi teknik membuat relief selain dengan cara membutsir dan mengecor adalah dengan teknik memahat. Lukisan yang disuguhkan olehnya adalah lukisan relief atas suatu peristiwa bergaya dekoratif. Tidak ada keterangan tentang peristiwa apa yang diabadikan di dalam lukisan, tapi di dalamnya terdapat tokoh-tokoh dalam suatu peristiwa. Barangkali lukisan ini hendak mengatakan bahwa setiap manusia yang memiliki peranan di dalam hidup dan kehidupan dan memberi manfaat kepada umat, akan dicatat, bahkan dipahat.

Saya menikmati pula lukisan Indra Kesuma yang lain, “Bargaya Dini Hari”, dan “Menggodok Pengetahuan”. Semua lukisannya memberi kesan tanpa gejolak berlebih, seperti muka air tenang yang disentuh angin kecil-kecil. Sebagai manusia yang telah melintasi puluhan tahun proses kekaryaan, kematangan rupanya telah menjadi wajah karya-karyanya.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button