TBM hanya jadi tempat untuk bermain, belajar, bernaung dan les. Masih kurang adanya fungsi nimbrung atau jagong. Jadi kita perlu diskusi tentang Segala hal di TBM. Kita perlu adanya diskusi buku dan naskah, saling cerita, supaya tradisi lisan, non lisan, kenaskahan ini seimbang. Manusia jadi meningkatkan minat baca. Supaya konsumsi literasi dan penangkapan pengetahuan manusia jadi luas. Setelah itu, kemampuan menulis. Jadi, kita punya hal-hal yang bisa ditingkatkan. Terutama hal dalam bahasa atau literasi. Muhammad Lutfi
Oleh: Muhammad Lutfi
biem.co – Zaman sekarang, membangun sesuatu impian dan cita-cita mesti berkompetisi dengan ketat. Satu manusia harus berjuang untuk seluruh bagian tubuhnya. Bahkan, sebagian manusia harus menjadi tumpuan untuk manusia yang lain, dan itu jumlahnya pun tidak sama. Hanya ada beberapa hal yang mesti kita sadari dari menempuh jalan istana impian itu. Misalkan kita itu sebagai manusia punya dasar yang namanya mimpi. Tentu mimpi itu tidak mungkin kita lupakan. Pasti ada harapan. Harapan itu namanya suatu mimpi indah.
Saat manusia merasakan hidup harus diperjuangkan, tentu ada sebagian mimpi kecil dari manusia untuk dilanjutkan. Dari sekolah, tentu sekolah harus tuntas. Tentu kita harus paham, sedikit saja minimal ilmu sekolahan. Kalau ngaji, ya harus bisa walau kadang harus hafal huruf arabnya saja. Kan segala sesuatu harus tuntas. Terus ada yang namanya gembala. Di sini kita bicara anomali. Anomali kan hanya untuk manusia pikirkan. Coba pahami, gembala di sini sebagai cah angon. Sesuatu yang dianggap angon itu harus dijaga. Misalnya hewan, hewan kan harus dijaga cah angon. Dipelihara di padang rumputan. Dikasih makan, dikasih tidur, dikasih perhatian minimal. Gak mungkin kita lepaskan begitu saja. Ya mau apa jadinya, kalau cah angon kok gak punya perhatian.
Kalau kamu misal punya impian jadi penggembala yang baik, tentu harus belajar dari caranya menggembala. Bagaimana bisa gembala itu betah mengembalakan hewannya. Kalau kita misal punya impian, membangun sebuah Taman Belajar, ya harus diberi perhatian. Walaupun gak ada yang baca. Yang baca kan kita sendiri setidaknya. Taman baca, taman belajar itu yang kita angon. Lha yang kita maksud orang membaca ini yang merawat. Kan kita yang mendirikan, kita yang merawat, kita yang kasih pakaian hiasan.
Setidaknya kalau mendirikan TBM ya pasti punya kemauan membaca, kemampuan mikir, kemampuan mimpin. Kalau tidak punya kemampuan mimpin, bisa gila kita. Bagaimana mau mengajak orang, kalau kita sendiri tak bisa mimpin diri sendiri. Harus sigap, siaga, pasang badan. Ini yang saya suka dari kemampuan mimpin. Yang kita angon itu ada apanya sih, kok diangon terus. Siang-siang dijaga di rerumputan. Dapatnya apa. Apa toh sia-sia.
Jangan mikir tentang kebelakang, tapi di depannya. Siapa yang mau memelihara angonan kita ini. Mosok orang lain. Setidaknya orang lain mau ikut kasih perhatian aja. Jadi ikut angon peliharaan kita, itu nanti kan jadi kebiasaan. Kalau mau biasa. Makanya saya di sini bicara tentang TBM.
Taman Belajar Membaca adalah suatu wadah bagi orang untuk mau membaca. Membahasakan diri sendiri. Bahasa sendiri adalah alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, tentu kita harus paham dengan apa yang dibicarakan. Misal si A ngomong apa, yang merespon harus sadar, dan tanggap pada tuturan si A. Nah, ini namanya nyambung. Jadi, bahasa itu ilmu menyambungkan. Ada sesuatu yang pisah dari bangsa, namanya kemajemukan. Dari mulai titik ini, titik itu, koma ini, terus ada tanda lain, pemersatunya ya bahasa itu sendiri. Jadi perlu merawat suatu kebahasaan, ini juga penting.
Selain merawat hal-hal yang kita anggap pokok, misal makan, uang, pakaian, terus istri, anak. Lha ini kan kita juga perlu merawat konsep bahasa. Jadi, konsep bahasa itu ya boleh dinomor duakan atau kesampingkan, tapi jangan dilupakan. Kita ibarat kayak ruwatan. Menjaga tradisi Kebhinekaan. Kalau tidak ada sansekerta, gak ada bhineka kan. Kalau tak ada bahasa sunda, kan gak ada semboyan Sunda. Kita mungkin bisa lupa mana jati diri kita. Lah kita bicara hal sederhana.
Mau makan, kita ingat yang mau dimakan. Ada nasi, lauk, dan yang penting bisa dimakan. Tempe misal lauknya, ini sederhana, tapi kan manfaatnya besar. Daripada makan roti, kita gak tahu manfaat roti. Setidaknya tempe ini kan kedelai yang luar biasa manfaatnya. Kalau roti, mungkin dari gandum, coklat, nastar, telur, banyak dan lengkap kandungannya. Tapi kalau tempe, Dapatnya hanya karbohidrat dan protein. Meskipun kurang lengkap tapi kan tempe. Enak juga dimakan. Setidaknya ada kandungan gizi, meskipun harganya lumayan jika dibandingkan. Makanya, kita berpikir ini adalah hal yang dipermulakan. Kalau gak ada bumi, manusia mau tinggal dimana, berpikir kita harus bisa gitu.
Lah, makanya saya berpikir kalau TBM ini sebagai wadah kreativitas kita. Cara kita merawat kebahasaan dengan cara membaca. Setidaknya TBM ini ada buku bacaan yang wajib dibaca. Pembaca siapa saja, boleh anak-anak, orang tua, segala usia. Jangan kita kasih batasan. Makanya batasan ini kan cuma jadi penghambat.
Zaman sekarang, seorang relawan seperti pegiat literasi sangat sedikit. Walau di setiap kota dan daerah pasti ada. Tetapi kita tidak tahu ada peminat atau tidak dalam menggerakkan literasi ini. Karena literasi sudah menjadi hal tabu bagi kehidupan manusia. Terutama untuk membaca naskah di buku. Karena manusia sudah dimudahkan dengan membaca di Hp masing-masing. Jadi, informasi yang kita terima lebih cepat. Tentu minat baca manusia juga lebih tinggi, tingkat melek huruf juga lebih tinggi dan meningkat.
Tetapi, peran adanya pelestarian buku dan literasi teks jadi berkurang. TBM hanya jadi tempat untuk bermain, belajar, bernaung dan les. Masih kurang adanya fungsi nimbrung atau jagong. Jadi kita perlu diskusi tentang Segala hal di TBM. Kita perlu adanya diskusi buku dan naskah, saling cerita, supaya tradisi lisan, non lisan, kenaskahan ini seimbang. Manusia jadi meningkatkan minat baca. Supaya konsumsi literasi dan penangkapan pengetahuan manusia jadi luas. Setelah itu, kemampuan menulis. Jadi, kita punya hal-hal yang bisa ditingkatkan. Terutama hal dalam bahasa atau literasi.
Kalau untuk TBM di Desa, memang masih sulit dijalankan. Masyarakat desa menyukai hal yang berbau lisan dan kurang suka dengan dunia teks. Dunia non lisan, atau tertulis ini masih tabu bagi sebagian masyarakat kita. Karena ini tentang dunia inspirasi, imajinasi, pengetahuan, juga wawasan yang ada dalam teks. Jadi, fungsi dari literasi ini, kita menyerap segala wawasan, pikiran, pengetahuan dari orang lain yang sudah melalui berbagai hal.
Enaknya kita, sebagai yang sudah punya TBM, kita punya tempat menyalurkan minat. Menyalurkan tanda suka dan keindahan dari berbagai hal yang berputar di literasi. TBM bisa menjadi fungsi perpustakaan mini di Desa untuk sekedar tempat mencari informasi di buku. Kalau ada petani yang lupa cara bikin pupuk, dan penyakit tanaman, bisa buka buku. Kan enak.
Tetapi, fungsi lebih luasnya lagi adalah menghimbaukan kesadaran orang lain untuk mau menjaga TBM dan merawatnya. Bahkan, anak-anak di Desa sukar untuk diajak membaca tentang buku-buku di TBM. Ini kan masih jadi hak yang menurut saya kebiasaan. Jadi, kebiasaan ini perlu dilatih, ada inspirasi, dan konsep, biar mateng, dan juga tidak memuakkan ketika dilakukan atau dijalankan. (red)