Oleh: Ajib Hamdani
biem.co – Mengakhiri kuartal pertama 2022, dan memasuki kuartal kedua 2022, perekonomian Indonesia mempunyai beberapa catatan, bahkan ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu dikaji secara kritis, apakah kebijakan yang dikeluarkan cenderung pro dengan kesejahteraan rakyat atau tidak. Karena kebijakan-kebijakan pemerintah ini, akan memberikan kontribusi yang signifikan atas 2 (dua) indikator utama ekonomi: pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang efektif mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2022, kenaikan harga komoditas-komoditas yang menjadi konsumsi mendasar masyarakat, misalnya bensin, menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang masih menimbulkan polemik pro dan kontra. Kenaikan komoditas lain seperti kedelai, minyak goreng, dan lain-lain, menjadi berita berseliweran dan menjadi bahan perdebatan, baik di kalangan intelektual, pelaku usaha, bahkan oleh masyarakat luas. Kondisi-kondisi tersebut menjadi faktor pertama dan faktor utama inflasi, yaitu kenaikan atas biaya produksi.
Faktor kedua yang memberikan kontribusi terhadap inflasi ini adalah tingginya permintaan. Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, merupakan demand yang besar dalam sebuah ekosistem bisnis. Tidak heran kalau konsumsi atas jumlah penduduk ini, memberikan kontribusi lebih dari 57% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dengan stabilnya pasar domestik ini, faktor pandemi covid19 tidak berpengaruh secara signifikan, karena konsumsi terus terjaga.
Di sisi lain, dalam konteks pertumbuhan ekonomi, beberapa indikator utama menunjukkan hal yang positif. Pertama, pendapatan perkapita Indonesia yang menunjukkan tren membaik. Walaupun menghadapi pandemi, PDB Indonesia tahun 2020 sebesar 15.434,2 triliun. Kemudian pada tahun 2021 naik menjadi 16.970,8 triliun. Indikator pendapatan perkapita, naik dari 57,3 juta menjadi 62,2 juta. Tahun 2022 yang memasuki masa endemi, menjadi momentum positif angka PDB dan pendapatan perkapita terus terdongkrak.
Indikator kedua yang perlu dicermati adalah kemiskinan. Karena untuk membuat lompatan ekonomi dari negara berkembang menjadi negara maju, tingkat kemiskinan harus terus diturunkan. Mengutip data Bulan September 2021, rasio kemiskinan Indonesia masih di kisaran 9,7%. Rasio yang single digit harus terus dipertahankan di tengah melemahnya daya beli masyarakat. Program-program jaminan sosial, bantuan langsung tunai, dll, menjadi program jangka pendek yang bisa diandalkan untuk tetap menjaga kemiskinan dalam rasio yang sehat.
Indikator ketiga dalam pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pengangguran. Rasio sebesar 6,49% pada tahun 2021 menjadi lampu kuning agar jumlah pengangguran bisa terus ditekan. Program kartu prakerja adalah sebuah contoh program pragmatis dalam masa pandemi, karena terjadi gelombang PHK dan melemahnya sektor UKM.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi ini menjadi indikator positif buat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan inflasi adalah indikator yang memberikan tekanan terhadap kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi menjadi ibarat “malaikat”, sedangkan inflasi menjadi ibarat “hantu” untuk masyarakat.
Dengan beberapa indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang ada, kita akan melihat berapa angka pertumbuhan ekonomi dan Inflasinya dalam kuartal pertama 2022 ini. Karena ini akan menjadi barometer bagaimana pencapain secara agregat di akhir tahun 2022. Proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga ini kisaran 3,5%-4,5% dan inflasi kisaran 2%-2,5%. Sedangkan secara agregat di akhir 2022, pertumbuhan ekonomi berkisar 5%-5,5%, dan inflasi 3,3%-3,6%.
Selanjutnya, memang menjadi tugas penting pemerintah, bagaimana mengeluarkan regulasi yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain, bisa menekan inflasi. Ibaratnya, regulasi itu harus memperbanyak “malaikat” dan di sisi lain mengurangi “hantu” terhadap kesejahteraan rakyat. (red)