Kedua, Persoalan Kemiskinan Ekstrem. Masalah utama mengatasi kemiskinan ekstrem bukan soal anggaran. Menurut penulis, anggaran yang ada di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah cukup besar. Tantangan terbesar saat ini, adalah bagaimana membuat program-program penanggulangan kemiskinan menjadi konvergen dan terintegrasi untuk menyasar sasaran yang sama.
Konvergensi ini penting untuk memastikan berbagai program terintegrasi mulai dari saat perencanaan sampai pada saat implementasi di lapangan, sehingga dapat dipastikan diterima oleh masyarakat yang berhak. Konvergensi yang dimaksud adalah upaya untuk memastikan agar seluruh program penanggulangan kemiskinan ekstrem mulai dari tahap perencanaan, penentuan alokasi anggaran, penetapan sasaran, dan pelaksanaan program tertuju pada satu titik atau lokus yang sama baik itu secara wilayah maupun target masyarakat yang berhak. Dalam mengupayakan penanggulangan kemiskinan ekstrem, pemerintah harus berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaannya. Salah satunya dengan menambah alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan untuk dapat menjangkau sasaran yang tepat, yaitu kelompok masyarakat miskin ekstrem di masing-masing kabupaten prioritas, diperlukan pemutakhiran data kelompok penerima manfaat (KPM) bantuan sosial tunai tersebut. Gubernur dan para bupati agar juga memperkuat perencanaan dan penganggaran program pengurangan kemiskinan ekstrem dalam APBD masing-masing, khususnya yang terkait dengan karakteristik masyarakat di wilayahnya masing-masing.
Akibat ketimpangan yang semakin melebar itu, angka kemiskinan pun ikut terkerek naik. Realitas ketimpangan tersebut jelas membutuhkan terobosan sekaligus afirmasi kebijakan dalam program pengentasan kemiskinan.
Pembukaan ruang-ruang akses dan pemberdayaan dalam soal teknologi, penciptaan akses lapangan kerja yang berkualitas, pelatihan-pelatihan yang membuat masyarakat mempunyai skill, serta iklim investasi di sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja adalah beberapa hal yang dalam jangka pendek harus segera dilakukan. Sebuah posisi keberpihakan yang tak bisa ditawar adalah bahwa negara melalui kebijakan publiknya harus mampu menjebol kebuntuan-kebuntuan dalam seluruh dimensi pembangunan. Hal ini agar ketimpangan tak menjadi problem akut yang justru menjadi virus ganas pembangunan dan kita terjebak dalam sangkar besi pembangunan itu sendiri. Kondisi tersebut jelas menunjukkan ketidakmampuan pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola anggaran dengan tepat dan menempatkan prioritas pembangunan di urutan pertama. Anggapan dan pola pikir kota lebih menjanjikan memang sudah saatnya diubah.
Ya, tidak ada yang salah ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil pendataan tentang indeks kebahagiaan masyarakat. Meski disadari soal kebahagiaan adalah isu yang sangat subjektif dan bergantung pada tiap-tiap individu, perbedaan penafsiran jawaban responden seyogianya tidak terlalu berbeda.
Masalahnya di sini, tidak sekadar apakah mereka bahagia atau tidak, tetapi yang tidak kalah penting ialah apa penyebab mereka bahagia atau kurang bahagia.
Data tentang indeks kebahagiaan yang dirilis BPS ini adalah hasil pemetaan lapangan. Melalui acuan data seperti indeks kebahagiaan, maka pemerintah akan dapat memahami apa situasi problematik yang terjadi di lapangan. Dengan data ini pemerintah (daerah) akan dapat menyusun program pembangunan yang tepat, yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.