biem.co – Ekspresi publik, terutama mahasiswa, terhadap kebijakan pemerintah terkait tentang UU IKN termasuk dengan pasal-pasal yang bermasalah, serta dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial ekologi, dan kebencanaan, juga terkait tentang penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode, hingga soal bahan pokok dan kelangkaan minyak goreng dan BBM yang dianggap mengebiri kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini terbukti dengan demonstrasi ribuan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM SI) yang berunjuk rasa pada Senin, 11 April 2022 di sekitaran Istana Merdeka hingga ke gedung DPR MPR.
Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang prorakyat, dan rakyat juga tidak boleh kebablasan dalam menyampaikan aspirasi. Secara hukum, ketegasan pemerintah tidak melanggar UU. Namun dari aspek kesejahteraan, pemerintah perlu kembali mempertimbangkannya.
Formulasi kebijakan para presiden dan para menteri seharusnya mempertimbangkan aspek sosial politik. Artinya, Menteri harus betul-betul memahami regulasi itu memberikan jaminan kepada rakyat, tidak hanya mengambil kebijakan sepihak. Artinya, seyogianya sebelum mengundangkan regulasi, pemerintah memiliki data riil untuk memutuskan sebuah kebijakan.
Ada pelajaran penting terkait aksi demonstrasi mahasiswa hari ini:
Pertama; mahasiswa ingin kembali mengingatkan substansi amandemen UUD 1945 mengenai isu 3 periode, ditambah lagi dampak dari ketidaktegasan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengenai isu 3 periode, mahasiswa masih ragu dengan ketidaktegasan Jokowi. Mestinya Jokowi secara tegas segera membuat pernyataan kepada mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa pada masa kepemimpinannya: Tak akan ada dan tak boleh ada amandemen konstitusi. Jokowi sebagai pemimpin negara, semestinya bisa menyampaikan janji bahwa tidak akan ada amandemen konstitusi. Karena diketahui pada rapat kabinet lalu tidak adanya yang menyinggung soal 3 periode. Padahal substansi Jokowi 3 periode dengan penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden itu sangat berbeda. Jika penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden itu pemilunya diundur, artinya pemilunya bukan di 2024.
Kedua; secara eksplisit unjuk rasa itu bentuk sikap proaktif mahasiswa. Kritik keras mahasiswa atas isu BBM dan minyak goreng, mereka menyuarakan keresahannya terhadap minyak goreng yang langka dan dibanderol harga cukup tinggi. Mereka juga meminta supaya kasus mafia minyak goreng dapat dituntaskan dan bebas dari praktik ’’gambling’’, permainan spekulatif, dan kurangnya koordinasi antarlintas/ sektor. Selain itu, perkara Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin meninggi juga menjadi topik lanjutannya. Mahalnya BBM mengganggu masyarakat dan mahasiswa. Pemerintah acap mengabaikan aspek sosiologis. Betapa tidak, kenaikan harga ini dipastikan akan ‘berdampak sistemik’ terhadap kondisi perekonomian masyarakat, mulai dari melonjaknya harga bahan pokok hingga munculnya beragam problematika yang menyengsarakan rakyat kecil.
Ketiga, Jokowi dinilai gagal dalam mengorkestrasikan kebijakannya, misal terkait stabilitas minyak goreng, karena pendekatan yang dipakai keliru. Asumsi penulis, persoalan minyak goreng sebenarnya simple terjadi karena ada masalah dalam tata niaga. Ini yang menjadi kritik publik. Ditambah pemerintah gagal fokus dalam membedakan mana yang urgent dan important. Misal bagaimana membandingkan sikap pemerintah yang dinilai ekstra cepat dan serius dalam merumuskan Undang undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan pemindahan ibu kota negara (IKN), dibandingkan cuek menyikapi persoalan minyak goreng.