biem.co — Kaum santri sudah waktunya untuk memimpin sebuah perubahan dan perbaikan berbangsa dan bernegara. Sebab, kaum santri memiliki keunggulan dalam membangun kekuatan berbangsa yang ideal. Demikian poin yang selalu disampaikan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam video yang diunggah melalui akun Twitternya di @cakiminpkb, Sabtu (21/10/2021).
Keunggulan kaum santri adalah nilai-nilai akhlakul karimah yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kecintaan kepada sesama manusia dipandu oleh nilai-nilai ketauhidan yang kokoh mampu membangun tradisi dan kekuatan kebangsaan yang ideal. Untuk itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan para santri harus merebut kemajuan dan isi kemajuan tersebut. Saatnya kaum santri memimpin perubahan, saatnya kaum santri memimpin perbaikan.
Di kala mengelola sebuah negara dengan sistem tertutup dan penuh proteksi sudah tidak bisa dipertahankan lagi, maka mengandalkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi menjadi sebuah pilihan terbaik dalam meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Dan untuk membangun sebuah negara yang berdaya saing diperlukan SDM yang memiliki motivasi, karakter, jiwa, komitmen serta intelektualitas yang tinggi, khususnya dalam menghadapi persaingan yang sangat ketat di era MEA saat ini.
Membangun kemampuan SDM yang memiliki sejumlah ciri di atas tidaklah segampang membalik tangan, namun bisa ditempuh dalam beberapa cara, di antaranya adalah pendidikan dan pelatihan di sekolah formal maupun non-formal, termasuk pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah Pesantren di Indonesia.
Dalam pendidikan pesantren, “santri” menjadi kunci utama suksesnya upaya pesantren mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan yang diselenggarakan. Kompetensi Santri tidak terlepas dari pondok pesantren tempat mereka menempa ilmu. Tercatat di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bahwa Saat ini jumlah pesantren di Indonesia pada Triwulan I-2021 sebanyak 31.385 ponpes dengan jumlah santri sekitar 4,29 juta orang, (Kemenag data 2021). Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahun. Jumlah santri ini merupakan potensi luar biasa dan dapat menghasilkan dampak besar bagi pembangunan bangsa jika program dan kegiatan para santri dikelola dengan sistem yang baik. pondok pesantren merupakan tempat di mana para santri belajar, sebagian masih menerapkan pendidikan tradisional, tetapi banyak juga yang sudah menggunakan standard pendidikan modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah umum.
Pendidikan di lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu ujung tombak bagi terlaksananya sistem pendidikan agama Islam yang baik dan benar serta pencipta SDM dengan motivasi, jiwa kepemimpinan, akhlak serta intelektual yang tinggi. Sudah terbukti bahwa Pondok pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh Islam yang sukses, sehingga sistem pendidikan tidak perlu dibedakan dengan sekolah umum karena memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana menciptakan kader pemimpin masa depan bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur.
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan asal-mula lahirnya pesantren yang terpengaruhi oleh sejarah Walisongo abad 15-16 masehi, sebagaimana disampaikan oleh Abdurrachman Mas’ud yang antara lain memiliki ciri: (1) Orientasi kehidupan (way of life) yang lebih mementingkan akhirat dari pada kehidupan dunia, (2) Kepemimpinan (leadership) dari seorang tokoh yang karismatik, seperti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Walisongo yang menjadi kiblat para santri sehingga kepemimpinan yang bersifat paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar pada budaya Jawa, (3) Misi Walisongo sebagai solution system yaitu selalu berusaha menerangkan, memperjelas dan memecahkan persoalan masyarakat serta memberi model ideal bagi kehidupan sosial masyarakat, (4) Menghilangkan dikotomi atau gap antara ulama dan rajaatau yang kita kenal dengan istilah “Sabdo Pandito Ratu” dan (5) Mendidik dengan cara sederhana sehingga mudah ditangkap dan dilaksakan.
Santri dan Gerakan Perubahan
Pesantren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama Islam juga sekaligus berperan sebagai pusat gerakan perubahan. Pesantren mempunyai jaringan yang luas dengan pesantren yang lain melalui jaringan dan gerakan-gerakan perubahan. Gerakan perubahan inilah yang menarik masyarakat sekiarnya, yang dengan itu pesantren memainkan peran aktifnya dalam proses Islamisasi masyarakat sekitarnya.
Memasuki masa-masa represif pemerintahan kolonial yang dimulai sejak abad ke-17, pesantren mentransformasikan sebagian perannya dengan melibatkan dirinya secara total ke dalam kancah perjuangan politik dan fisik. Para kiai yang juga dikenal sebagai guru tarekat telah mengambil bagian juga secara gigih, heroik, dan patriotik dalam gerakan-gerakan protes melawan Belanda.
Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dalam arti bahwa ia dalam menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada pemahaman; ide, gagasan, pemikiran-pemikiran ulama fiqih, tafsir, tauhid dan tasawuf pada abad pertengahan. Pesantren bukan sekadar merupakan fenomena lokal ke-jawaan, akan tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh nusantara. Artinya, pesantren dapat dijumpai di luar Jawa. Pesantren dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya ternyata tidak dapat dipisahkan dari berkembangnya proses pemahaman keagamaan yang mendahului Islam (Agama Hindu) maupun Islam itu sendiri, yakni pengajaran tarekat dan sorogan oleh para wali songo.
Lembaga pesantren dapat dikatakan sebagai lembaga Islam tertua yang dalam sejarah Islam Indonesia, lembaga ini mempunyai peran dalam proses berkelanjutan pendidikan nasional. Para kiai dan ulama berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan pemerintah.
Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut meligitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan bebrbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini memperjelas peran kiai dan ulama dalam proses transformasi social ditengah-tengah kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan. Peran pesantren di era global seperti sekarang ini sebagai “garda terdepan” pengamal dan pengawal ajaran dan akhlak Islam tetap diefektifkan. Era globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya telah di antisipasi oleh pesantren dengan melakukan transformasi di berbagai bidang dan tidak kalah ketinggalannya dengan sekolah-sekolah umum lainnya melakukan penyesuaian belajar dengan teknologi canggih.
Kedudukan para kiai bukan hanya sekadar pemberi materi pengajaran agama kepada para santri, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang ucapanya dan seluruh perilaku mereka akan dicontoh oleh orang sekitar pesantren. Tidak terbantahkan lagi bahwa seorang kiai berperan sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah).
Sosiolog Clifford Geertz, mengemukakan bahwa para kiai selain berperan sebaga tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan social, juga berperan sebagai mediator atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri. Para kiai inilah yang menularkan nilai-nilai yang mereka anggap baik dan berguna bagi para santri dan komunitas lingkungan pesantren, serta menolak atau membuang nilai-nilai yang kurang baik bagi mereka. Dengan demikian, posisi dan peran para kiai yang mampu menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai cultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan para kiai cultural broker. Menurut Greetz, manakala arus akumulasi informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin lagi di saring oleh para kiai.
Maka peran para kiai sebagai cultural broker akan macet. Dalam keadaan demikian, para kiai akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan komunitas di sekitar mereka.
Peranan para kiai dan ulama sebagai tokoh masyarakat dapat di lihat, misalnya dari serangkaian upaya-upaya mereka untuk menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para kiai dan ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan dan program-program pembangunan ke dalam bahasa agama yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada komunitas yang mereka pimpin.
Dengan cara ini, para kiai dan ulama berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan pemerintah. Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut meligitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan bebrbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini memperjelas peran kiai dan ulama dalam proses transformasi social ditengah-tengah kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Dalam era pembangunan dewasa ini, peran pesantren pun tak dapat diabaikan. Dilihat dari perspektif transformasi sosial budaya, pesantren berperan sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of Modernization (Agen Pembaharuan). Para kiai dengan menggunakan bahasa agama, berperan sebagai “penerjemah” gagasan-gagasan pembaharuan dan sebagai “komunikator” ide-ide pembangunan (yang sedang dilakukan oleh pemerintah) kepada massa lapisan bawah yang dipimpin oleh para kiai itu. Dengan mengunakan fatwa, anjuran dan seruan yang dikemas dalam bahasa agama yang mudah difahami oleh komunitas yang dipimpinnya, para kiai memainkan peran secara aktif dalam menerjemahkan program-program pembaruan dan pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah.
Peran pesantren di era global seperti sekarang ini sebagai “garda terdepan” pengamal dan pengawal ajaran dan akhlak Islam tetap di efektifkan. Era globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya telah di antisipasi oleh pesantren dengan melakukan transformasi di berbagai bidang dan tidak kalah ketinggalannya dengan sekolah-sekolah umum lainnya melakukan penyesuaian belajar dengan teknologi canggih.
Seiring perkembangan zaman proses modernisasi terjadi hampir pada se-luruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk modernisasi yang terjadi pada lembaga pendidikan pesantren terutama pesantren tradisional (salafi) yang semakin banyak mengalami pe-rubahan kearah modern. Modernisasi pesantren terjadi pada aspek fisik dan non fisik seperti tugas dan fungsinya di era modern.
Santri dan Tantangan Era Global
Dilihat dari perspektif transformasi sosial budaya, sikap para kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat di bedakan menjadi 2 (dua) kelompok: Pertama, para kiai yang mempertahankan nilai-nilai ortodoksi Islam dalam system pendidikan pesantren dengan cara melakukan usaha-usaha untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu kiai ini disebut kiai salaf dan pesantren yang dipimpinnya disebut pesantren salafiyah. Dalam kaitannya ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan atau modernisasi sarana dan prasarana fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain, para kiai salaf tadi membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para kiai yang sudah memasukan ilmu-ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam. Mereka dikategorikan sebagai kiai khalaf dan pesantren yang mereka asuh dinamakan pesantren khalafiyah.
Gambaran diatas mengindikasikan bahwa pesantren tidak anti perubahan social, tidak anti pembaruan dan tidak modernisasi. Keaslian dan kesejatian tradisi pesantren tetap dapat dipertahankan, sementara unsure-unsur modernisasi dapat pula diserap oleh pesantren. Dalam memberikan respon terhadap arus transformasi social budaya yang begitu cepat, banyak pesantren (terutama yang sudah bersentuhan dengan pengaruh peradaban modern) melakukan modifikasi-modifikasi terhadap sistem pendidikannya. Pesantren-pesantren tersebut telah membuka sekolah-sekolah dengan system klasikal mulai tingkat taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi. Ini merupakan gejala penting dari keberadaan dan system pendidikan pesantren sejak perempat terakhir abad ke-20 ini.
Menghadapi era globalisasi seperti terjadi sekarang ini, sudah saatnya pesantren untuk memodernisasi dirinya dalam pengertian sebenar-benarnya dan seluas-luasnya. Upaya-upaya modernisasi ini mencakup perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (Soft Ware). Pembangunan fisik (gedung-gedung pesantren, asrama santri, sarana dan prasarana yang lainnya) perlu mendapat perhatian dari para pengasuh pesantren. Pembenahan kurikulum, peningkatan mutu perpustakaan, komputerisasi administrasi pendidikan dan unit-unit kerja lainya, pengadaan laboratorium dan pengadaan perangkat-perangkat penting lainnya yang dibutuhkan oleh pesantren perlu dipikirkan dan direalisasikan oleh para pengasuh pesantren. Untuk mendukung dan menangani semua ini perlu pendidikan keterampilan dan program pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di pesantren.
Dengan pembenahan demikian, pesantren akan selalu identik dengan kemajuan zaman dan tidak mendukung keterbelakangan.
Dalam era global seperti sekarang ini, pesantren harus mampu menyerap sebanyak ungkin gagasan informasi, sehingga dengan demikian pesantren selalu well informed (memiliki informasi yang lengkap) tentang peristiwa-perstiwa yang terjdi di tanah air ataupun di luar negeri. Kebutuhan akan informasi yang sebanyak-banyaknya dan lengkap adalah sangat penting karena pada masa sekarang ini, manusia seperti dikatakan Alvin Toffler, telah memasuki” gelombang ketiga” (the third wave) dari tahap perkembangan peradabannya.
Dengan memiliki informasi aktual yang banyak dan bahkan lengkap tentang berbagai peristiwa yang terjadi di tanah air dan di manca negara. Pesantren tidak akan ketinggalan dari lembaga-lembaga lainnya dalam memperoleh informasi dalam era global dewasa ini. Dengan demikian pula, pesantren tidak akan terisolasi dari perkembangan yang terjadi di tanah air maupun luar negeri. Dalam hubungan ini, surat kabar, majalah, jurnal, televisi, komputer (internet) yang menjadi bagian dari peradaban modern harus menjadi kebutuhan penting di pesantren-pesantren.
Kendatipun demikian, peran pesantren di era global seperti sekarang ini sebagai “garda terdepan” pengamal dan pengawal ajaran dan akhlak Islam tetap di efektifkan. Era globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya harus diantisipasi oleh pesantren. Nilai-nilai yang baik dan positif sajalah yang tentunya diterima dan diadopsi oleh pesantren, sedangkan nilai-nilai yang buruk dan negatif yang bertentangan dengan ajaran Islam dan Pancasila sudah selayaknya ditinggalkan. Peran pesantren yang selama ini ikut membangun watak dan karakter bangsa (national character building) hendaknya tetap dipertahankan karena pesantren dikenal sebagai salah satu pertahanan dan benteng moralitas bangsa yang sangat ampuh dari zaman ke zaman.
Santri Zaman Now
Seiring pesatnya trend digitalisasi, organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pun tak mau ketinggalan. Organisasi ini pun meluncurkan aplikasi sebagai bukti revolusi digital.
Aplikasi yang dimaksud dinamai NU Mobile, yang didedikasikan sebagai solusi dan pelayanan bagi warga NU. Aplikasi ini juga diharapkan bisa memberi solusi bagi masyarakat melalui satu solusi. Bahkan NU Mobile telah menggandeng sejumlah mitra yang siap memperkuat layanannya, seperti KSP, Kementerian Kominfo, XOX Media Berhad, XL Axiata, Artha Graha Group, BRI, BTPN, NIN Media, Adira Syariah, Telkom Tmoney, Mercato, Duit Hape, WIR Wahyoo, Seroyamart, GAPMII.
Ya, memang benar adanya kita telah masuk kedalam sebuah konsep bangsa baru, yaitu revolusi digital atau digital nation dimana masa depan kita tidak akan terjadi begitu saja, ini perlu dibangun oleh passion. Jika kita semua terlibat, nilai, kolaborasi dan inovasi akan membentuk dan mendorong transformasi masyarakat kita menuju bangsa digital Indonesia. Proliferasi platform digital dan kecanggihan teknologi semakin membuat masyarakat semakin banyak merasakan manfaatnya, dimudahkan, dan serba cepat hingga mau menghabiskan waktu untuk berinteraksi dan bertransaksi secara online.
Tidak mustahil jika dunia konvensional lama-lama akan ditinggalkan karena saat ini memang sedang terjadi pergeseran pola pikir (mindsets) di masyarakat, saat mereka mulai berpaling ke digital baik di kehidupan sehari-hari.
Revolusi digital adalah teknologi baru yang terus berkembang dan semua potensi yang diberikan, bukan tidak mungkin kita mampu memprediksi bagaimana masa depan bangsa di tahun-tahun mendatang. Teknologi digital jelas akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi sebuah negara karena kecepatannya merambah hampir di semua sektor. Teknologi digital siap mengubah masa depan kita semua, kehidupan kita. Otomasi, Big Data, IoT (Internet of Thing), dan kecerdasan buatan (AI).
Revolusi digital adalah sebuah era berbasis teknologi informasi digital seperti Big data, Artificial Intelegence, machine learning telah mendorong revolusi yang membarui dan mentransformasi kehidupan dunia secara cepat serta masif. Kuatnya revolusi tidak hanya dari sisi model kehidupan digital, namun juga profil pemain dan pemegang kuasa lintas dunia. Revolusi digital esensi dinamis perpindahan manusia menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Dari sisi pengembangan SDM, ormas keagamaan, pendidikan tinggi hingga pesantren memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan dan inovasi revolusi digital. Namun, ormas keagamaan pendidikan tinggi, dan pesantren saat ini juga menghadapi tantangan tak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu, terkhusus pendidikan tinggi dan pesantren yang penting dilakukan adalah memperbaiki kurikulum dengan lebih mendekatkan diri pada muatan teknologi informasi dan inovasi. Implikasinya, mahasiswa hingga santri perlu diajarkan cara kerja teknologi digital dan masalah yang mampu ditangani. Hanya mengajari mahasiswa dan santri pemprograman (coding) akan membuat perguruan tinggi ataupun pesantren tak beda dengan lembaga kursus keterampilan. Namun, lebih dari itu, mahasiswa ataupun santri perlu diajarkan logika berpikir (computational thinking) yang komprehensif, termasuk cara melakukan pemodelan, menganalisis data, dan mengekstrak informasi.
Dalam mimbar ini, setidaknya penulis “menggarisbawahi” ada 4 (Empat) catatan penting dalam tulisan “Santri Zaman Now” ini:
Pertama, NU dan Literasi Digital. Sudah barang tentu, partisipasi NU dalam mewujudkan media konvergensi adalah ijtihad dakwah Rahmatan lil alamin yang sekaligus mencerahkan. Di tengah perang media dan ‘sampah’ informasi yang kerap kali meresahkan publik, NU diharapkan mampu membawa angin segar. NU juga diharapkan menjadi pioneer untuk menebar manfaat bagi warga NU dan masyarakat secara umum.
Oleh karena itu, menyiapkan kader melek media (terliterasi) menjadi sebuah keniscayaan. Kader itu dapat dicetak melalui kerja sama Majelis Pendidikan Kader dan Majelis Pustaka Informasi, didukung oleh seluruh jurusan Ilmu Komunikasi/Komunikasi Penyiaran Islam dan Teknik Informatika di bawah naungan Universitas NU se-Indonesia. Saat NU mempunyai banyak kader literasi digital, maka ia akan siap menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Terutama dakwah kelas menengah agar mereka kembali kepada Islam yang inklusif dan Islam Rahmatan Lil Alamin. Revolusi digital NU itu kini perlu mengarah pada model dan penerapan literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan piranti digital dengan efektif dan efisien.
Kemampuan ini pun menuju pada proses kritis dalam menyerap dan menerima informasi yang muncul dari piranti digital. Seseorang yang terliterasi (melek media) akan mampu dengan sendirinya menyaring setiap informasi. Dakwah di era digital inilah yang perlu mendapat sentuhan dari NU. Oleh karena itu ragam pendekatannya pun perlu masuk dalam relung dakwah kekinian dengan semangat Islam wasathiyah (moderat) yang menjadi ciri gerakan kultural NU yang Islam Rahmatan Lil Alamin. Begitupun dengan Islam nusantara menjadi ciri gerakan NU sejak awal. Mbah Hasyim Asy’ari beserta muridnya terus menyuarakan Islam sebagai gerakan dan ilmu dalam mengurai permasalahan umat. Islam Rahmatan Lil Alamin pun menjadi semacam panduan berislam di tengah kejumudan dan ketaqlidan umat kala itu.
Kedua, NU dan Situs-situs web. NU perlu menyiapkan seperangkat piranti guna mewarnai kehidupan keagamaan yang didapatkan masyarakat dari media. Situs-situs web NU perlu terus aktif menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin agar mereka mendapatkan informasi yang berimbang tentang pemahaman keagamaan. Situs-situs web NU dan saluran-saluran dakwah yang diselenggarakan oleh aktivis NU perlu aktif terus bersuara. Mereka perlu menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin sebagaimana inti gerakan dakwah NU. Aktifnya suara dari NU ini akan mampu membendung arus radikalisme dan fanatisme.
Umat perlu diberi alternatif beragama yang inklusif agar mereka mampu menerapkan keagamaan dan keberagamaan di tengah masyarakat yang plural. Suara Islam rahmatan lil alamin itu juga sangat penting sebagai “arus tandingan” media dakwah konservatif. Sebagai arus tandingan dan media alternatif yang akan menjadi arus utama, NU perlu menguatkan basis kekuatan yang mendukung gerakan dakwah ini. NU dapat menggandeng akademisi dan praktisi yang berjejaring di bawah universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka dapat menjadi content creator yang akan terus menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin. Menguatkan basis dakwah di era digital ini akan menjadi ciri Revolusi digital di abad kedua. Abad di mana NU akan ditantang oleh hal-hal baru yang tak kalah pelik dibandingkan dengan abad pertama.
Ketiga, NU dan Dakwah Virtual. Seperti kita ketahui, media dakwah NU saat ini masih terkesan kaku dan berat, padahal disatu sisi media sangat penting sebagai bagian dari instrumen dakwah. Untuk itu, perhatian khusus pada mobilitas dakwah virtual mendesak untuk dilakukan oleh NU dalam memperluas ranah dakwahnya, agar lebih diterima masyarakat, NU perlu memperluas ranah dakwahnya. Sebagai contoh: kenapa alasan ustadz-ustadz artis bisa lebih diterima di masyarakat, karena mereka menggunakan media-media populer yang mudah dijangkau. Saran saya, NU perlu membuat tim dakwah multimedia yang kemudian diunggah di media sosial. Selanjutnya, harus bisa mengoptimalkan website resmi Nahdlatul Ulama (NU Online /www.nu.or.id/), baik updating maupun upgrading untuk kegiatan dakwah dan keorganisasian.
Namun, saya tetap memberi penekanan bahwa kerja media yang dilakukan NU harus tetap difungsikan sebagai media verifikator atas isu-isu provokasi yang dihadapi oleh NU.
Keempat, NU dan Perpustakaan Digital. Terkhusus di bidang pendidikan, saya melihat NU dalam hal berbagai dokumen, data, dan informasi banyak tersebar dimana-mana, tak terdokumentasi dengan baik. Misal: dokumentasi tentang sejarah detil organisasi NU di perpustakaan NU sendiri sangat sulit dicari.
Seperti kita ketahui, perpustakaan digital dan elektronik saat ini semakin penting membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akhir, apalagi Kemdiknas segera memberlakukan syarat kelulusan bagi mahasiswa adalah karyanya terpublikasikan dalam jurnal ilmiah elektronik. Inilah salah satu tantangan NU yang dialami dalam misi jihad digital NU. Sebab, yang dihadapi saat ini adalah generasi yang berbeda dengan dulu. Generasi millennial cenderung suka yang praktis-praktis. Selain itu, minat membaca secara konvensional menurun dan lebih suka membaca secara instan. Mereka menjadikan media sosial sebagai alat komunikasi dan pusat informasi. Kritik tajam juga tak luput disampaikan kepada generasi muda NU yang kian aliterasi.
Kurangnya membaca buku dan mandiri menelusuri kebenaran suatu wacana adalah sumber dari termakannya generasi muda akan hoax. Kelengahan-kelengahan inilah yang dimanfaatkan para penebar hoax untuk membuat informasi abal-abal. NU wajib melawan perkara serius itu. NU punya peluang untuk berdakwah melalui celah-celah itu. Sebagai contoh Ketika akan dibuat film “Sang Kyai” sutradaranya Rako Prijanto kesulitan mencari data sejarahnya.
Oleh karena itu, NU segera melakukan pendokumentasian terhadap arsip-arsip yang dimiliki termasuk pemikiran tokoh-tokoh dan karya intelektual NU. NU harus memperbaharui seluruh perpustakaannya minimal di perguruan tinggi NU menjadi perpustakaan digital, seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi. Saya berharap perpustakaan-perpustakaan NU bisa menjadi perpustakaan yang maju, tempat berbagai pihak mengakses ilmu pengetahuan dan data dengan lengkap, mudah dan cepat, termasuk informasi tentang NU sendiri.
Penulis berharap “Santri Memimpin Perubahan!” yang telah dilakukan oleh NU dapat mewarnai pertarungan era digital untuk masyarakat. Menurut penulis, NU adalah ormas keagamaan yang sangat luar biasa, ada 90 juta warga nahdliyin. Kalau semua menggunakan aplikasi NU mobile ini, dampak positifnya akan sangat terasa. Selain itu, saya yakin dan optimistis PBNU dengan NU Mobile-nya dapat membantu pemerintah dalam meng-counter seluruh konten negatif terutama pornografi yang ada di media sosial saat ini.
Saatnya Santri Memimpin Perubahan!
Penulis teringat Dawuh Abuya Muhtadi Cidahu Pandeglang: “Teu aneh, lamun dina mangsamemeh kamerdekaan, gerakan Kaum Santri jeung Ulama mangrupa hiji gerakan anu dipikasieun ku Walanda”
Ya, di berbagai bidang dan jenjang, sampai suatu titik gerakan kolektif kaum santri telah mengubah sejarah konstelasi politik. Jauh sebelumnya, gerakan perlawanan kaum santri bergelora di seantero negeri.
Pesantren menjadi basis perlawanan rakyat! Dalam Sejarah kaum thariqat selalu motori gerakan perlawanan penjajah. Kaum religius (santri dan kiai) adalah pelopor dan jumlah terbanyak dalam setiap gerakan perjuangan.
Melalui Muktamar NU ke-34 diharapkan tidak hanya menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berintegritas tetapi juga dapat melahirkan isu-isu kebangsaan sebagai organisasi yang konsisten menjaga NKRI.
Selamat Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada 22-24 Desember 2021 di Lampung. Semoga Muktamar dapat berjalan dengan baik, lancar, dan sukses yang menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi kemajuan dan kemaslahatan NU, umat, bangsa, dan kemanusiaan di ranah global.
Sejalan dengan tema muktamar yaitu ‘Menuju Satu Abad NU: Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia’, penulis percaya NU akan semakin maju, mandiri, dan menebar damai di tengah dinamika kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta yang kompleks saat ini.
Penulis mengajak para santri, Gerakan Arus Bawah, Kaum Sarungan Santri Aswaja kaum milenial agar tidak apatis dalam hal-hal kebaruan.
Saatnya Santri Memimpin Perubahan dengan menyebar kebaikan dan memimpin kemajuan. Sesuai pesan Gus Muhaimin “Kaum santri sudah waktunya untuk memimpin sebuah perubahan dan menyebarkan kebajikan”.
Saatnya Indonesia menjadikan spirit santri sebagai fondasi kebajikan, keberadaban, dan kemaslahatan kolektif yang beragam.
“Perubahan, sekarang juga!”