biem.co — Setelah jabatan atau posisi sentral juru bicara presiden ditanggalkan oleh Fadjroel Rachman, informasi dan komunikasi istana mengalami sejumlah tantangan baru atau stagnan. Biasanya, informasi dan komunikasi yang berasal dari istana, terutama yang telah disampaikan oleh nomor orang satu di Indonesia, Jokowi, selalu mudah dapat diterima oleh khalayak publik. Namun, sebagaimana yang sudah diketahui bersama, bahwa jabatan juru bicara presiden ini telah cukup lama kosong. Karena, Fadjroel Rachman, yang sebelumnya menjabat Juru Bicara Jokowi telah menjadi Duta Besar RI untuk Kazakhstan.
Akibatnya, informasi dan komunikasi juga tersendat atau sekurang-kurangnya tidak berjalan maksimal. Hal ini terkonfirmasi dari pelbagai momentum proses politik yang telah terjadi sejak kursi kekuasaan juru bicara mengalami kekosongan. Oleh karena itu, dalam ekosistem pengelolaan negara, sangat diperlukan juru bicara untuk membantu kinerja-kinerja presiden, agar statement presiden mampu disampaikan dan diartikulasikan secara efektif oleh juru bicara presiden dan dapat ditransmisikan kepada publik.
Dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang sedang berjalan 2 tahun lebih ini sudah barang tentu banyak sekali program, kegiatan, dan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan; baik pembangunan peningkatan sumber daya manusia maupun pembangunan infrastruktur serta hal ihwal lainnya. Meski demikian, untuk menunjang kegiatan-kegiatan dan program-program tersebut agar berjalan maksimal, maka diperlukan suatu upaya kerja sama antarelemen-elemen masyarakat dan stakehoders yang koheren terhadap upaya mobilisasi pembangunan nasional. Selain itu, rencana kerja yang berjangka pendek, menengah, dan panjang yang sudah tertuang dalam masterplan atau grand design pembangunan justru harus dapat diwujudkan.
Hal ini akan terwujud apabila Jokowi-Ma’ruf Amin dapat memaksimalkan subsistem-subsistem yang dimilikinya, salah satunya hal yang paling substansial adalah juru bicara presiden. Di tengah-tengah agenda kinerja presiden yang sangat padat, tentu dibutuhkan juru bicara yang mampu menerjemahkan apa yang ada dalam pikiran presiden dengan efektif dan efisien, terlebih sistem politik di Indonesia juga pada saat yang bersamaan menuntut hal demikian. Secara umum, setelah jabatan kekuasaan ini kosong sampai saat ini, tentu memunculkan riak-riak, asumsi, interpretasi, serta resonansi yang menggeliat dalam sistem politik mutakhir. Bahkan, memunculkan sejumlah nama-nama yang tentu tidak asing lagi di telinga publik.
Urgensi Juru Bicara Presiden
Saat ini, kekosongan juru bicara presiden menjadi diskursus publik. Karena, juru bicara presiden memiliki posisi yang sangat strategis untuk mentransmisikan informasi presiden. Sebab, para penjaga gerbang demokrasi, seperti lembaga-lembaga negara yang memiliki peran check and balances, kelompok penekan, dan Civil Society Organization (CSO) akan selalu mengawasi kinerja-kinerja eksekutif.
Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan roda pemerintahan, terutama dalam politik pemerintahan akan selalu koheren terhadap kebijakan publik. Terlebih saat ini, pemerintah memiliki sejumlah agenda besar, seperti rencana pemindahan ibu kota baru, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan usaha UMKM, dan produktivitas kinerja serta sejumlah agenda besar lainnya.
Ditambah proses elektoral serentak yang digelar secara reguler ini juga akan dihadapi oleh Indonesia. Tentunya, hal ini juga akan menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan negara, karena agenda ini juga sangat penting. Akibatnya, konsentrasi pemerintah juga akan terbagi ke dalam pelbagai klasifikasi. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung kebijakan presiden (pemerintah), informasi dan komunikasi menjadi instrumen yang sangat vital. Sebab, tanpa komunikasi yang baik, akan mengakibatkan pada disinformasi yang sudah barang tentu akan bermuara pada terhambatnya sejumlah kinerja.
Manajemen komunikasi istana perlu secara cepat dan tepat perlu diisi oleh orang-orang yang telah memiliki track record, misalnya, memiliki sejumlah kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas, profesional, dan instrumen esensial lainnya. Dengan kata lain, ada sejumlah indikator yang substansial dalam menentukan juru bicara presiden. Karena, juru bicara presiden merupakan salah satu jabatan strategis yang secara eksklusif akan selalu berinteraksi dengan presiden sebagai aktor pemerintahan. Artinya, pemerintah, dalam hal ini, presiden juga perlu mengutamakan aspek meritokrasi, agar juru bicara presiden dapat diterima oleh publik dan tidak menimbulkan kegaduhan.
Dalam bahasa lain, kandidat juru bicara presiden ini memiliki akseptabilitas yang tinggi di mata dan telinga khalayak publik, agar sirkulasi kekuasaan dalam kursi ini bisa berjalan secara maksimal. Sementara itu, juru bicara ini juga akan bertugas untuk membangun lintas komunikasi, termasuk hubungannya dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Hal ini juga akan memengaruhi suatu interaksi politik dalam pengambilan keputusan.
Tak hanya itu, menurut studi John Keane (1998) mengemukakan bahwa saat ini bisa disebut juga sebagai suatu fase keberlimpahan komunikasi, terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Jokowi juga pernah memberikan perhatian kepada para menterinya, agar dapat melakukan komunikasi secara efektif. Komunikasi yang tidak baik tentu akan bermuara kepada ketidaefektifan dalam pola relasi negara-rakyat. Sehingga, produktivitas kinerja antaraktor dan K/L akan mengalami sejumlah hambatan.
Ketidakefektifan ini juga tentunya menjadi preseden buruk dalam komunikasi pemerintahan. Karena, telah mengafirmasi, belum terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik. Mengapa juru bicara sangat urgensi bagi presiden? Karena selama ini hiruk-pikuk politik di Indonesia selalu ‘bising’. Kebisingan ini tentunya ditengarai oleh sejumlah faktor yang determinan memengaruhi suatu kebijakan. Akibatnya, isu-isu muncul ke ruang publik (public sphere). Dan hal ini mengimplikasikan bahwa demokrasi sedang berjalan.
Akomodasi Politik
Merujuk pada studi Keane (1998), saat ini merupakan suatu kondisi yang penuh dengan ragam informasi atau dalam pandangan Kasali (2018) menyebutnya sebagai era disruption. Ia juga menekankan di era disruption hari ini juga perlu membangun upaya kerja sama, kolaborasi, gotong royong, dan berbagi. Dalam konteks ini, untuk menciptakan kohesivitas yang baik, terutama negara-rakyat, perlu dibenahi terlebih dahulu pola-pola komunikasinya. Agar suatu informasi yang disampaikan akurat, tidak berubah-rubah, sebagaimana yang sudah terlihat secara eksplisit dalam panggung depan politik di Indonesia, yakni, perbedaan komunikasi antarmenteri yang bersifat kontradiktif. Padahal, para menteri ini membantu kinerja-kinerja presiden.
Sampai saat ini, kursi juru bicara presiden masih belum terisi. Hal ini mengandaikan bahwa presiden belum memiliki sejumlah nama yang disertai klasifikasi para kandidat. Dalam menentukan juru bicara presiden, tentunya presiden tidak secara serampangan mengambil dan memilih-memilah seseorang untuk dijadikan juru bicara, tanpa memiliki kapasitas, kompetensi, kapabilitas, dan loyalitas. Loyalitas ini, dalam perspektif presiden juga sangat penting, karena ia nantinya akan bekerja atau melakukan interaksi secara inheren dengan presiden. Oleh karena itu, dibutuhkan juru bicara yang loyal terhadap presiden.
Namun, terlepas dari itu semua, hemat penulis, presiden bisa menggunakan instrumen track record, kapasitas, kompetensi, kapabilitas, integritas, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada parameter utama yang dijadikan platform dalam menentukan juru bicara presiden, bukan hanya sekadar mengakomodasi kepentingan politik tertentu. Akan tetapi, berupaya untuk menyajikan asas meritokrasi dalam pengelolaan negara. Dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan, sudah seharusnya presiden memiliki juru bicara yang mudah beradaptasi dengan perkembangan peradaban, termasuk bisa memafhumi kepentingan publik, termasuk para kelompok milenial.
Pendek kata, presiden perlu mengisolasi sikap akomodasi politiknya secara sementara, terutama dalam struktur kekuasaan juru bicara presiden. Sebab, komposisi kabinet dan dukungan pemerintahan juga sudah sangat besar di periode kedua Jokowi. Jokowi perlu mengoptimalkan juru bicara presiden untuk membangun pemerintahan yang baik, termasuk dapat meningkatkan kepercayaan presiden di mata khalayak publik.