LEBAK, biem.co — Ratusan mahasiswa yang mengatasnamakan Cipayung Plus, yang terdiri dari mahasiswa HMI, GMNI, dan PMII menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Lebak.
Koordinator Aksi, Mustafid mengatakan, refleksi di hari jadi Kabupaten Lebak yang ke-193 ini bertujuan untuk menyuarakan aspirasi terkait pembangunan di daerah Kabupaten Lebak, sebagai bagian daripada pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang termaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003.
“Maka dari itu, kami mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus menyuarakan tuntutan terkait pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan serta kenaikan UMK yang ditetapkan oleh Wahidin Halim sebagai Gubernur Banten dinilai merugikan kaum buruh khususnya yang ada di Kabupaten Lebak,” kata Mustafid kepada biem.co, Jumat (3/12/2021).
Pihaknya menilai Pemerintah Kabupaten Lebak telah gagal dalam membangun infrastruktur, di mana pembangunan yang dilakukan masih sangat buruk dan tidak relevan dengan visi dan misi Bupati Lebak saat ini.
“Salah satunya meningkatkan produktifitas perekonomian daerah melalui pembangunan pariwisata, yang mana dalam kenyataannya infrastruktur dasar saja, seperti jalan masih banyak yang rusak dan tidak layak digunakan. Selain itu, ada 3 proyek strategis nasional yang memiliki dampak negatif terhadap masyarakat,” ucapnya.
Ia mengungkapkan, dalam sektor pendidikan masih terkendala infrastruktur fisik dan jangkauan internet yang masih buruk.
“Selain itu, terkait tenaga pengajar masih kekurangan sekitar 4.698 guru, yang terdiri atas kurangnya 3.250 guru SD dan 1.448 guru SMP,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelayanan kesehatan juga masih belum baik. Hal lainnya adalah disahkannya UMK pada 30 November 2022 yang telah ditetapkan oleh Gubernur Banten dinilai sangat merugikan kaum buruh, khususnya yang berada di Lebak, karena UMK Lebak adalah UMK yang terendah di Provinsi Banten.
“Terus terkait angka kemiskinan meningkat, menurut data dari BPS Kabupaten Lebak pada tahun 2020 mencapai angka 120.000 orang. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2019 yang hanya 107.000 orang. Maka dari itu, kami menuntut Pemerintah Daerah harus bertanggung jawab dari apa yang menjadi keresahan masyarakat dan fenomena sosial yang terjadi,” pungkasnya. (sd/red)