Opini

Rena Yulia: Menyoal Pelecehan Seksual

biem.co — Peristiwa pelecehan seksual yang terjadi antar mahasiswa di Kota Serang, terpaksa menyeret nama kampus ternama di Provinsi Banten. Meski locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) di luar kampus, tetap saja nama kampus jadi sorotan. Mengingat terduga pelaku adalah seorang tokoh organisasi mahasiswa bahkan pucuk pimpinan di kampus tersebut dan korban adalah juga mahasiswi di kampus tersebut.

Kampus ramah perempuan merupakan salah satu tagline yang diusung ketika terduga pelaku mencalonkan diri mengikuti bursa pemilihan. Sontak kejadian ini membuat kegaduhan di masyarakat intelektual kampus. Berbagai pernyataan sikap dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa, baik itu internal maupun external. Semua merujuk pada perlindungan terhadap korban pelecehan seksual. Kami bersama korban.

Pidana Pelecehan seksual

Di dalam KUHP, tidak diatur secara eksplisit mengenai pelecehan seksual. Melainkan menggunakan kata perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Merusak kesopanan atau kesusilaan yang dimaksud adalah merujuk pada aktivitas seksual. Kesopanan yaitu dalam arti kata kesusilaan dapat dimaknai dengan perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.

Hal terpenting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidaksetujuan korban terhadap perbuatan pelaku. Penolakan korban terhadap perbuatan pelaku merupakan salah satu unsur dari pelecehan seksual. Artinya jika aktivitas seksual tersebut dilakukan suka sama suka, maka tidak bisa dikatakan pelecehan seksual. Menjadi berbeda ketika salah satu pihak suka, dan pihak lain tidak suka. Disitulah korban merasa dilecehkan secara seksual.

KUHP sendiri mengatur perbuatan cabul (pelecehan seksual) ke dalam beberapa jenis. Perbuatan cabul terhadap perempuan bukan istrinya yang masih anak-anak, perbuatan cabul dalam pernikahan padahal belum panas dinikahi dan perbuatan cabul terhadap orang yang pingsan atau tidak berdaya.

Perbuatan memaksa orang lain untuk melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan dapat masuk dalam pasal 289 KUHP. Dengan ancaman atau kekerasan memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu yang merusak kesopanan atau kesusilaan. Ancaman pidana yang dapat dikenakan 9 tahun penjara. Cukup untuk membuat dilakukan penahanan jika sudah terdapat dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup.

Pembuktian

Pembuktian dalam hukum acara pidana bergantung pada alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dapat menjadi alat bukti yang membuktikan perbuatan pelaku terhadap suatu tindak pidana.

Mengingat perbuatan pelecehan seksual merupakan perbuatan yang memiliki karakteristik khusus, maka pembuktian yang dilakukan sering mengalami kesulitan. Tidak adanya saksi yang melihat atau mengetahui perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan membuat berbagai kasus mandeg di tengah jalan. Bukti yang diajukan korban pun sulit untuk diterima, apalagi jika pelecehan seksual yang dilakukan tidak menimbulkan bekas ataupun tanda yang dapat diabadikan dengan visum et refertum misalnya.

Perbuatan seksual berupa meraba-raba payudara, memperlihatkan kemaluan, memeluk, dan  mencium tentu tidak meninggalkan bekas yang dapat dijadikan bukti terjadinya perbuatan pelecehan tersebut. Tetapi itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban. Perbuatan tersebut karena tidak disukai atau tanpa persetujuan dari korban, akan berbekas dalam ingatan dan perasaan korban. Korban menderita, kena mental.

Meski pembuktian sulit dilakukan, bukan berarti tak ada harapan. Penyelidikan dan penyidikan tidak boleh dihentikan. Penegakan hukum terhadap kasus pelecehan seksual harus tetap dilakukan meski terkendala dalam pembuktian. Pengakuan terdakwa dapat dijadikan salah satu alat bukti bahwa memang telah terjadi tindak pidana. Sebagaimana dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengakui pengakuan terdakwa sebagai salah satu alat bukti yang dapat melengkapi bukti permulaan yang cukup bahkan dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Karakteristik pelecehan seksual mirip dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Yaitu pelaku dan korban saling mengenal bahkan memiliki hubungan yang dekat. Sehingga peluang terjadinya pelecehan tersebut menjadi besar. Tidak ada rasa curiga membuat tidak waspada. Akhirnya terjadilah perbuatan yang tidak diinginkan dan menimbulkan korban.

Dalam kasus-kasus tertentu, korban dianggap berperan dalam timbulnya perbuatan. Partisipasi korban dalam penimbulan korban memiliki derajat yang berbeda-beda. Benjamin Mendelsohn (1956) menyebutkan bahwa ada enam kategori korban. Pertama adalah korban yang benar-benar tidak bersalah (innocent), kedua adalah korban dengan kadar kontribusi kesalahan yang minimal (victims with minor guilt), ketiga adalah korban yang memiliki kadar kebersalahan yang sama dengan sang pelaku. Keempat adalah korban yang lebih bersalah dari pelaku (victims are more guilty than the offender); kelima adalah korban adalah satu-satunya pihak yang bersalah (dalam kasus pelaku yang kemudian malah terbunuh sendiri) dan terakhir adalah korban imajiner (imaginary victim), alias korban yang mengaku dirinya sebagai korban, padahal ia tidak menderita apa pun.

Derajat kesalahan korban diatas, berlaku bagi kasus-kasus tertentu. Meski tak bisa dipungkiri, sikap batin dari pelaku menjadi faktor dominan dalam menimbulkan perbuatan. Oleh karenanya dalam perbuatan pidana ada faktor kriminogen yang memicu timbulnya kejahatan dan ada pula faktor viktimogen yang memicu penimbulan korban.

Victim precipitation tidak bermaksud menyalahkan korban, melainkan menyoal bagaimana perbuatan bisa terjadi sehingga dapat menjadi pembelajaran dan pencegahan dalam pelecehan seksual di masa yang akan datang. Bahkan dalam beberapa kasus, victim precipitation dapat dijadikan landasan untuk melindungi korban pelecehan seksual yang malah menjadi pelaku kekerasan (penganiayaan) dikarenakan melakukan perlawanan terhadap pelaku pelecehan seksual.

Perlindungan Korban

Hal penting dari kasus pelecehan seksual adalah perlindungan korban. Pertama, perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi korban harus diperoleh di dalam setiap tahap proses penegakan hukum. Dimulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, pelimpahan berkas, penuntutan sampai penjatuhan vonis. Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, pada saat korban diperiksan (lebih kenal disebut di-BAP), polisi penyidik harus memperlakukan korban sebagai korban pelecehan seksual bukan saksi korban atau korban yang bersaksi. Informasi yang diperoleh tidak hanya untuk melengkapi kesalahan terdakwa melainkan melainkan apa yang terjadi dan apa yang dialami oleh korban yang mengarah pada apa kerugiannya. Bisa berupa kerugian materil ataupun immaterial. Termasuk sikap korban dalam kasus ini, apakah korban hanya ingin pelaku meminta maaf jika kemudian mereka berdamai kembali atau ingin diganti secara immateril karena sudah dilecehkan atau ingin pelaku dihukum melalui proses penegakan hukum.

Selama ini, proses penegakan hukum menganggap bahwa korban adalah saksi korban, karena hanya untuk membuktikan kesalahan pelaku, bukan untuk mencari kebutuhan ataupun keinginan korban yang kemudian mengarah pada pemulihan korban.

Pada tahap penuntutan, korban harus mendapatkan perlindungan secara hukum. Misalnya Jaksa bertanya kepada korban tentang apa keinginan dan kebutuhan koban, karena secara hakekat Jaksa merupakan representasi dari korban di dalam proses peradilan. Sehingga keinginan dan kebutuhan korban dapat diajukan di dalam surat tuntutan. Jaksa melakukan komunikasi hukum dengan korban agar dapat memasukkan kepentingan korban dan hak-hak korban di dalam tuntutannya. Sehingga tuntutannya tidak hanya menuntut si pelaku melakukan sebuah tindak pidana melainkan menuntut restitusi bagi korban. Seperti ganti rugi, pemulihan atau apapun itu yang bersifat pemenuhan hak-hak korban.

Tahapan selanjutnya adalah vonis hakim. Pemberian perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual oleh hakim dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang memperhatikan korban dan amar putusan yang tidak hanya bersifat menghukum bagi pelaku, tetapi juga memberikan pemulihan bagi korban. Putusan yang dimaksud tidak hanya restitusi sebetulnya, misalnya bisa juga dengan memberikan pengobatan psikologis, rehabilitasi, dan kemudian Jaksa harus melakukan eksekusi karena Jaksa sebagai pelaksana putusan.

Kedua, korban pelecehan seksual memerlukan perlindungan sosial. Hal ini merupakan tantangan berat, karena perlindungan hukum yang diberikan oleh mekanisme sistem peradilan pidana saja tidak bisa memberikan perlindungan hukum kepada perempuan korban pelecehan seksual, lalu bagaimana dengan perlindungan sosial yang harus diberikan juga oleh masyarakat. Hal ini sulit, tidak bisa dipungkiri bahwa betapa perempuan korban pelecehan seksual ketika dia melaporkan kejadiannya dia malah mengalami viktimisasi sekunder, karena kemudian dia akan menjadi malu, orang-orang menjadi tahu, dia sudah menjadi korban pelecehan seksual.  Dampaknya bagi korban, mungkin justru menjadi lebih berat. Komentar netizen dan bayangan hidup di masa depan sebagai penyintas pelecehan seksual merupakan sebuah ketakutan tersendiri. Tentu saja, hal itu juga tidak terganti dengan sebuah ganti rugi restitusi melainkan perlu pemulihan secara psikologi.

Secara umum korban bisa menderita materill dan immateril, akan tetapi korban pelecehan seksual lebih banyak mengalami penderitaan immateril. Seperti penderitaan traumatis dan mengalami penderitaan psikis. Apalagi jika pelecehan seksual dilakukan secara tidak tersentuh misalnya cat calling. Tidak ada sentuhan, tidak ada luka tetapi menimbulkan trauma.

Perlindungan korban pelecehan seksual menjadi tugas bagi semua kalangan terutama aparat penegak hukum. Hal ini menjadi penting, mengingat korban harus melewati sistem peradilan pidana terlebih dahulu sedangkan konsep dasarnya Sistem Peradilan Pidana yang berjalan sekarang masih belum victim oriented, yang itu tidak menguntungkan dalam penegakan pelecehan seksual. Lalu, kesadaran hukum masyarakat atas peristiwa-peristiwa di sekitarnya yang berpotensi menimbulkan pelecehan seksual pun menjadi penting untuk terus ditingkatkan. Memahami situasi dan peran dalam terjadinya pelecehan seksual menjadi penting agar dapat melakukan pencegahan. Perlindungan sosial yang diberikan kepada korban harus mampu memberikan rasa nyaman dan tentram dalam menjalani kehidupan korban di masa depan.

Tentang Penulis

Rena Yulia, Dosen Bidang Pidana, Fakultas Hukum UNTIRTA.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button