Kabar

Kerajaan Angling Dharma, Eko Supriatno: Ini Sebuah Kritik Absennya Peran Pemerintah

PANDEGLANG, biem.co — Warga Banten, khususnya Pandeglang dihebohkan dengan kemunculan kerajaan baru, yakni Kerajaan Angling Dharma yang berada di Kampung Salangsari, Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, Pandeglang.

Fenomena kemunculan kerajaan Kerajaan Angling Dharma ini menjadi sorotan publik. Pengamat Sosial Politik, Eko Supriatno ikut menyoroti fenomena ini.

Dosen Fakultas Hukum dan Sosial (FHS) Universitas Mathla’ul Anwar ini menyatakan munculnya kelompok Angling Dharma bukan sesuatu yang baru.

“Saya datang langsung ke tempat kerajaan tersebut dan memastikan bahwa sosok Baginda yang sedang ramai dibicarakan bukanlah raja dari Kerajaan Angling Dharma dan pihak yang bersangkutan pun mengklarifikasi langsung dan mengakui bahwa dirinya bukanlah seorang raja. Jadi tentang fenomena ini tidak lagi memerlukan bukti tradisi lisan atau situs-situs peninggalan sejarah baik benda maupun tak benda lainnya yang untuk ditelusuri oleh para sejarawan, budayawan, arkeolog, dan ilmuwan terkait lainnya, karena sudah clear persoalannya,” tutur Eko, Jumat (24/9/2021).

Eko mengkritik pemerintah selama ini “gagap” dan tidak mempunyai strategi, serta peta jalan kebudayaan untuk menghadapi fenomena seperti ini.

“Perlu dipahami, tugas pemerintah itu adalah mengidentifikasi mana yang terindikasi menyimpang, criminal, dan mana yang kultural,” ujarnya.

Sedangkan terkait ornamen dan pernak-pernik yang menyerupai kerajaan, dirinya menyebut bahwa Baginda mengaku hanya sekadar suka dengan hal-hal yang berbau kerajaan.

“Kalau dengar ceritanya, institusi ini atau padepokan yang diklaim sebagai kerajaan ini membantu masyarakat sekitar dalam hal perbaikan rumah yang tidak mampu, menolong orang yang kesusahan, membantu pendidikan sekolah yang tidak mampu. Bukankah ini merupakan satu fungsi yang seharusnya diemban pemerintah? Dan saya kira fenomena ini merupakan salah satu respon masyarakat terhadap masih minimnya pemenuhan harapan masyarakat dari pemerintah dan ini adalah sebuah kritik absennya peran pemerintah,” kata Eko.

Melihat kondisi itu, Eko menyarankan agar pemerintah mengoreksi kebijakan yang menyangkut kesejahteraan sosial, terutama program peningkatan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Ini adalah fenomena krisis yang muncul karena kejenuhan, kebuntuan, galau, gelisah, dan frustasi sebagian warga yang mungkin mereka hilang orientasinya ke depan,” ujarnya.

Krisis yang dimaksud, kata dia, terjadi lantaran masyarakat mengalami berbagai desakan kehidupan, baik dari sisi sosial maupun ekonomi.

“Masyarakat kita ini kan menghadapi banyak sekali masalah. Apalagi bicara Pandeglang. Kabupaten Pandeglang adalah sebuah daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Provinsi Banten, yang mencapai 10,25 persen dari jumlah penduduknya yang sekitar 1,2 juta jiwa. Kondisi ini menjadi sangat ironis, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah,” paparnya.

Menurutnya, fenomena kerajaan ini muncul dikarenakan minimnya kesejahteraan sosial dari masyarakat itu sendiri.

Direktur pada Banten Religion and Culture Center ini pun menyarankan pemerintah agar tidak menggunakan pendekatan keamanan dalam melihat fenomena kelompok Angling Dharma. Terkecuali bila perkumpulan tersebut terbukti melakukan tindakan kriminal.

Dia pun tak setuju jika fenomena ini dianggap mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan Eko, yang mengancam NKRI saat ini adalah korupsi.

“Tak perlu pemerintah bersikap reaktif dengan penegakan hukum seperti melakukan penangkapan terhadap raja atau ratu. Kalau ada masyarakat yang tertipu, itu baru perbuatan kriminal,” ucap Eko.

Eko juga menyarankan pemerintah untuk mengatur strategi dan solusi untuk mengatasi fenomena Angling Dharma atau kelompok sejenis.

“Untuk menyelesaikan masalah ini butuh kerja sama seluruh komponen yang ada di kita. Artinya akademisi, pemerintah, media massa sebaiknya turut memberikan pencerdasan,” ujarnya.

Eko mengatakan kemunculan fenomena sosial dari Angling Dharma atau kelompok sejenis perlu disikapi dengan bijak, di antaranya dengan edukasi dan pemikiran kritis atau critical thinking, karena dengan hal itu akan membuat masyarakat lebih berpikir kritis dan rasional dalam menyikapi setiap persoalan. (*)

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button