biem.co — Di masa pemberlakuan PPKM Darurat dan PPKM Level 4-3 ini, perhatian masyarakat Indonesia sempat diganggu dengan munculnya ratusan baliho dari pejabat publik yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan.
Fenomena pejabat publik atau calon pejabat dan wakil rakyat yang memasang baliho untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat selama ini memang menjadi hal lumrah, apalagi jika menjelang perhelatan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan presiden. Yang menjadi tidak biasa ketika baliho-baliho tersebut muncul di masa darurat pandemi Covid-19, di mana masyarakat banyak yang merasakan penderitaan dan kesusahan akibat wabah yang tak kunjung usai.
Selain mengganggu pemandangan pemakai jalan, baliho-baliho tersebut terlihat kurang elok, mengingat situasi dan kondisi di dalam masyarakat yang masih serba sulit akibat wabah yang tak kunjung selesai.
Dalam perspektif komunikasi politik, penyampaian pesan-pesan politik terjadi dari atas ke bawah, yaitu dari penguasa atau pemerintah kepada rakyat; dan dari bawah ke atas, yaitu dari rakyat kepada penguasa politik atau pemerintah. Medium untuk menyampaikan pesan politik juga beragam, baik media massa, media luar ruang, maupun media baru berbasis jaringan internet.
Poster, spanduk, dan baliho adalah media luar ruang yang hingga sekarang masih dipergunakan sebagai media komunikasi politik konvensional. Apa yang dilakukan Airlangga Hartarto, Puan Maharani, dan Muhaimin Iskandar dengan memasang baliho di pinggir-pinggir jalan besar adalah sebagai alat sosialisasi. Para tokoh politik tersebut berlomba-lomba memasang baliho dengan tampilan foto yang besar dan beberapa pesan atau statement politik.
Tidak ada yang salah dalam pemanfaatan baliho sebagai media informasi dan propaganda politik, namun di era serba digital saat ini penulis melihat hal tersebut sebagai cara yang kurang pas. Mungkin para tokoh politik tersebut mencoba untuk membangun kedekatan dengan masyarakat sebagai konstituen melalui media baliho yang dapat secara langsung hadir ke masyarakat dalam wujud gambar dan tulisan.
Bagi masyarakat yang kurang melek media digital mungkin cara tersebut cukup efektif untuk sekedar mengingatkan bahwa para tokoh politik tersebut ada. Namun, bagi masyarakat yang telah melek dengan teknologi dan media digital, baliho tersebut tak lebih dari sekedar “sampah visual” yang mengganggu pengguna jalan. Dengan tampilan yang didominasi foto tokoh dan sedikit kata-kata, pesan yang disampaikan pemasang baliho tersebut menjadi tidak jelas.
Jika kita lihat laporan dari Hoot Suite dan We Are Social, angka pengguna internet di Indonesia pada Januari 2021 telah mencapai 202,6 juta atau 73,7 persen dari total populasi sebesar 274,9 juta jiwa, yang artinya lebih banyak penduduk Indonesia yang saat ini telah melek dengan dunia internet dan media baru. Sehingga cara-cara “primitif” dengan menebar baliho tersebut tidak akan efektif untuk mengatrol keterkenalan para tokoh politik tersebut di mata masyarakat.
Kemudian, berdasarkan hasil survei dari lembaga survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang melakukan survei pada 2 – 10 Agustus 2021, keterkenalan (popularitas) dan keterpilihan (elektabilitas) dari Airlangga, Puan Maharani, dan Muhaimin Iskandar masih jauh di bawah nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, hingga Ridwan Kamil. Begitu juga jika melihat hasil survei yang dirilis oleh Charta Politika pada 12 Agustus 2021 yang menunjukkan hasil yang sama dalam hal popularitas dan elektabilitas tokoh politik di Indonesia.
Hasil survei terhadap keterkenalan (popularitas) dan keterpilihan (elektabilitas) para tokoh politik di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa strategi komunikasi politik dengan menggunakan baliho tidak efektif sama sekali. Meskipun mendapatkan perhatian dan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat dan juga di media sosial, namun perbincangan mengenai baliho-baliho tersebut lebih mengarah ke sentimen negatif.
Kritikan, hujatan, hingga cemoohan bertebaran di dunia maya, terutama di media sosial. Meme-meme yang berisi sindiran (satire) terhadap pemasangan baliho juga bermunculan menanggapi tingkah para tokoh politik tersebut. Jika dibandingkan dengan strategi komunikasi politik yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo atau Ridwan Kamil dengan memanfaatkan media sosial, maka strategi baliho tersebut menjadi sangat usang.
Hasil survei IPO pada awal Agustus 2021 menunjukkan bahwa popularitas Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil yang aktif menyapa masyarakat melalui media sosial jauh di atas Airlangga Hartarto, Puan Maharani, dan Muhaimin Iskandar. Atau jika kita melihat tokoh yang jarang menyapa konstituennya dengan media sosial tetapi juga tidak memasang baliho seperti Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, elektabilitas tiga orang yang berlomba memasang baliho tersebut masih kalah jauh.
Selain memanfaatkan media sosial, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil juga lebih memilih untuk terjun langsung ke masyarakat untuk memastikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan dengan baik. Strategi komunikasi politik dengan “direct relationship” melalui media sosial atau bertemu langsung masyarakat menjadi strategi yang lebih efektif dari sekedar menebar baliho di pinggir jalan seperti iklan-iklan rokok.
Alih-alih mendapatkan perhatian dan simpati dari masyarakat, baliho tokoh politik justru mendapatkan kritikan, karena dianggap tidak memiliki sense of crisis terhadap kondisi masyarakat yang menderita karena pandemi. Momen dan konten yang tidak tepat menjadikan baliho tokoh politik justru kontra-produktif terhadap citra diri dan partainya.
Airlangga sebagai Ketum Golkar sekaligus Menko Perekonomian dan Ketua Komite Kebijakan KCP-PEN, Puan Maharani sebagai Ketua DPP Partai PDI-P sekaligus Ketua DPR, dan Muhamim Iskandar sebagai Ketua Umum PKB tidak menunjukkan empati terhadap warga masyarakat yang menjadi korban Covid-19. Bukannya memberikan ucapan belasungkawa untuk warga masyarakat dan tenaga kesehatan yang meninggal akibat virus Corona, mereka justru tersenyum ceria. Bukan memberikan semangat atau ajakan bagi warga masyarakat untuk bersama-sama mengikuti anjuran pemerintah terkait protokol kesehatan, mereka justru memamerkan wajah bahagia.
Dalam dunia politik, memang diperlukan berbagai cara untuk dapat dikenal, disukai dan dipilih oleh rakyat. Namun alangkah eloknya jika para politisi belajar untuk menggunakan cara-cara yang elegan dan beradab dalam mengkampanyekan diri dan partainya. Selain kondisi pandemi yang belum usai, masa jabatan Presiden Jokowi juga masih cukup lama jika target mereka adalah Pemilihan Presiden 2024.
Komunikasi politik yang menyesuaikan tempat, situasi, dan kondisi masyarakat akan lebih efektif dari sekedar komunikasi politik serampangan tanpa memperhitungkan media dan masyarakat sebagai konstituen. Semoga masyarakat Indonesia tetap mengingat para politisi yang sengaja menari di atas penderitaan rakyat saat pandemi, dan mempertimbangkan untuk tidak memilihnya kembali saat pemilihan umum nanti. (*)