Opini

Muhamad Sulaiman: Tantangan dalam Membangun Iklim Demokrasi

biem.co — Demokrasi menjadi salah satu diskursus sentral dalam kaitannya dengan proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi menjadi sistem pemerintahan populer, terutama pasca runtuhnya hegemoni komunisme di akhir abad ke-20. Demokrasi merupakan sistem yang memberikan hak pendelegasian kekuasaan terhadap banyak orang, sedangkan di beberapa sistem pemerintahan lain, hak tersebut hanya didapat dan dipergunakan oleh kalangan-kalangan tertentu saja.

Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat mempunyai peranan sentral di dalam memberikan dan menentukan arah kebijakan politik. Aspek-aspek di atas merupakan uraian secara teoritis. Dalam realitas sosial, demokrasi tidaklah beroperasi sebagaimana seperti uraian di atas, ada gap antara tampuk kekuasaan (penguasa) dan rakyat.

Pelaksanaan demokrasi dewasa ini, terutama di Indonesia, menjadi ajang hegemoni sosial, yang terjadi hanya menunjukkan relasi kuasa antara pemilik modal dan politisi. Keduanya memiliki jarak cukup jauh dengan masyarakatnya. Ditambah demokrasi dinilai hanya ada pada saat proses pemilihan, pasca itu hilang dan akan muncul kemudian ketika hendak dilaksanakannya kembali pemilihan yang akan mendatang. Oleh sebab itu, demokrasi yang digadang-gadang menjadi instrumen rakyat mendapatkan perlakuan atau pelayanan secara fair masih jauh dari harapan.

Tantangan demokrasi dewasa ini, terutama di Indonesia, adalah meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan akses ke dalam berbagai aspek, termasuk salah satunya kekuasaan. Demokratisasi pasca 1998 yang diharapkan mampu menerobos batasan-batasan bagi masyarakat, justru secara realitas terbentuk dengan aspek Wealth Power, di mana bila tidak mempunyai modal yang cukup, jangan harap mampu untuk berpartisipasi di dalam menegakkan demokrasi.

Cengkraman oligarki dalam bingkai demokrasi telah cukup mengakar, dan ini merupakan tanda-tanda yang cukup gawat. Para politisi yang berangkat dan kemudian menang merupakan para delegasi dari para pemilik modal, di mana kepentingan mereka terkooptasi dengan kepentingan para pemilik modal. Oleh sebab itu, tidak heran jika nantinya mereka menyerap dan mewakili kepentingan para pemilik modal dan tidak pro terhadap kepentingan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam kontrol sosial terhadap kekuasaan masing cenderung pasif, oleh karenanya itu menjadi alarm yang cukup gawat dalam melihat realitas politik saat ini. Tidak heran jika banyak para politisi melanggeng bebas di dalam mendapatkan, mengontrol, dan mengeruk kekayaan-kekayaan yang sebetulnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sebab sebagai pemegang hak otoritatif, mereka menggunakan kekuasaanya itu bukan untuk menyejahterakan masyarakat, justru sebaliknya, memberikan nutrisi prima kepada para pemodal.

Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan bagi seluruh elemen, baik itu negara maupun warga negara. Negara tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan kepentingan hak otoritatifnya untuk merampas hak-hak pada warga negara. Sebaliknya, masyarakat juga dituntut untuk berpartisipasi secara aktif di dalam tegaknya iklim demokrasi yang mengakar kepada nilai-nilai moralitas dan beretika, termasuk meninggalkan budaya lama, seperti menerima uang pada saat prosesi pemilihan, sebab hal itu dapat mematikan nurani dan memberikan makan kepada para penguasa dan pengusaha lapar yang nantinya jika terpilih, mereka akan melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Salah satunya adalah korupsi. (*)

Tentang Penulis

Muhamad Sulaiman, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button