biem.co — ‘Sekolah, lulus, bekerja’ atau bagi orang yang lahir dari keluarga mampu ‘sekolah, lulus, kuliah, lulus, kerja’. Rangkaian sederhana ini merupakan tahapan kehidupan yang dimulai sejak kita berumur 6 atau 7 tahun. Walhasil seberapa tinggi tingkat pendidikan, pada kenyataanya kita masuk dalam 131,03 juta pekerja (BPS, ‘Keadaan Ketenaga Kerjaan Indonsia Februari 2020’) pada akhirnya, walaupun para guru menyarankan supaya kita bisa menciptakan lapangan pekerjaan.
Dalam catatan BPS 2020 juga menerangkan bahwa angkatan kerja rakyat Indonesia adalah 199,38 juta penduduk dari jumlah 270,20 juta jiwa. Besarnya angkatan kerja Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah pekerja.
Dari sekian ratusan juta pekerja Indonesia, saya masuk dalam 56,50% pekerja informal atau pekerja serabutan, seperti buruh bangunan dan pengayuh becak, dan selebihnya adalah pekerja formal, pekerja yang mempunyai hubungan kerja tertulis, misal; buruh pabrik dan buruh kantoran, baik mereka itu berstatus permanen, kontrak, atau outsourcing.
Perlu dicatat, hampir semua pekerja formal pernah mengenyam pendidikan formal; SMP, SMA/SMK, dan Universitas/sekolah tinggi. Namun saya pernah melakukan sebuah wawancara kecil dengan buruh pabrik di Kabupaten Serang bahwa dia bisa bekerja hanya melampirkan ijazah terakhirnya, yaitu Ijazah SD. Temuan saya diperkuat dengan data BPS 2020 di mana jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 38,86%, meskipun data bentuk pekerjaanya bersifat random.
Dalam catatan kecil yang sederhana ini, saya sama sekali tidak akan membeda-bedakan tingkat pendidikan dalam dunia kerja, apa pun pekerjaannya bagi saya mereka adalah pekerja/buruh yang mempunyai hak dan juga kewajiban untuk memanusiakan dirinya. Selain itu juga saya membagi tulisan ini menjadi 2 bagian.
Dalam tulisan ini juga saya lebih senang menggunakan istilah ‘buruh’ atau ‘pekerja’ ketimbang istilah ‘karyawan’, karena dalam masyarakat umum istilah ‘buruh’ identik dengan orang-orang yang bekerja di pabrik dan sependek pengetahuan sejarah saya, buruh pabriklah yang selama ini membuat perubahan, contohnya dalam tulisan ini.
Untuk mengawali diskusi ini, saya menyuguhkan sebuah pertanyaan yang sangat sederhana; apa yang harus dilakukan seorang pekerja atau buruh untuk mendapatkan hak-haknya?
Dari sekian banyak pekerja Indonesia, pertanyaanya adalah apakah pekerja sudah mendapatkan haknya? Saya tidak bisa menjawab secara general ‘tidak’ atau ‘iya’ karena buruh akan mejawab ‘iya’ ketika perusahaan sedang keadaan stabil dibarengi dengan kondisi politik nasional yang stabil pula yang berpengaruh besar terhadap ekonomi nasional, ditambah dengan buruh yang mempunyai jabatan di tempat kerja.
Di lain pihak, ada juga buruh mejawab ‘tidak’, ketika buruh medapatkan upah di bawah hidup layak, kondisi kerja buruk, tidak ada asuransi, jam kerja panjang dan lain sebagainya walaupun kondisi negara ataupun ekonomi global sedang baik-baik saja. Dua jawaban tersebut kelihatannya sangat sederhana. Pada kenyataannya, masalah perburuhan sangatlah kompleks karena setiap kepentingan saling berkelidan satu sama lain.
Ilustrasi sederhana tentang ruwednya perburuhan: pengusaha ingin perusahaannya meraup untung banyak di kala persaingan antar pengusaha sangat ketat, artinya selain menaikkan jumlah produksi barang dagang, perusahaan juga harus bisa menekan ongkos produksi. Untuk menghasilkan kuantitas produksi, perusahaan harus memperpanjang kerja buruh (teknologi tidak bisa berjalan tanpa sentuhan buruh). Perpanjangan waktu kerja menuntut pengeluaran ongkos produksi, di sisi lain perusahaan mem-press ongkos produksi sekecil-kecilnya.
Di lain pihak, negara penganut sistem ekonomi neoliberal, seperti Indonesia, akan selalu menghadapi inflasi yang dampaknya langsung terhadap konsumsi buruh. Di sini kelidan sederhana antar pengusaha, negara dan buruh. Namun saya selalu disuguhkan dengan berita-berita berseliweran di sosial media; PHK massal tanpa ada pesangon atau pesangon tidak dibayar penuh; ada buruh yang bekerja lebih dari 8 jam tanpa dibayar; banyaknya buruh perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Dari berita-berita ini cukup menjadi bukti kuat bahwa dari hasi proses kelidan antara tiga elemen, buruh Indonesia hanya menjadi objek penderita.
Dari kondisi buruh Indonesia yang semakin lama semakin memprihatinkan, maka harus ada tindakan yang nyata dari diri pribadi buruh itu sendiri. Saya pernah mendengar khutbah Jumat di daerah Banten, kurang lebih seperti ini ‘Allah tidak akan mengubah satu kaum, sehingga mereka bersatu dan mengubahnya bersama-sama’ kalimat ini tidak asing bagi pembaca walaupun saya sedikit mengubahnya tanpa mengurangi arti kalimat tersebut (paraphrasing).
Lalu apa hubungannya dengan keadaan buruh? Paragraf pertama menunjukan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah rakyat perkerja serta tingkat pendidikannya. Namun sayangnya institusi pendidikan, saya dan sebagian besar pembaca hanya mendapatkan skill untuk menghadapi dunia kerja serta kewajiban seorang pekerja, yaitu bekerja yang rajin agar naik jabatan tanpa membekali dan menyadarkan kita bahwa kita adalah bagian besar dari rakyat pekerja.
Walhasil, kita tidak tahu apa hak seorang buruh. Tidak adanya pengetahuan tentang hak buruh, seorang buruh akan mencari pengetahuan tentang hidup dirinya, entah itu dari website atau dari temen sepekerjaannya. Namun dari bekal pengetahuan tersebut, apakah seorang buruh mampu mengkritisi atau mengubah, seperti, kondisi kerja di dalam lingkungan kerjanya? Ya, seorang buruh mampu mengkritisi keadaan di lingkungan kerjanya tapi konsekuensinya dia dipecat atau perusahaan membungkam buruh yang kritis dengan cara menaikkan jabatan dengan catatan tidak lagi mengkritisi keadaan tempat kerja.
Di sini pentingnya kumpulan buruh untuk bersatu atau berserikat untuk mengingatkan satu sama lain dan juga dengan adanya serikat, kumpulan suara lebih didengar ketimbang satu suara. Artinya, serikat memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menekan atau mendesak. Contoh, pada tahun 2012 dan 2013 di kala rakyat Indonesia sedang merasakan naiknya tarif dasar listrik dan juga susul dengan naiknya harga BBM, serikat buruh berhasil mendesak pemerintah menaikan upah minimum sebesar 30%-40%, setelah serikat buruh melalukan mogok atau lebih dikenal dengan Mogok Nasional akibat buntunya kesepakatan antara serikat buruh, pengusaha dan pemerintah.
Dari contoh tersebut saya mempunyai argumentasi bahwa buruh mempunyai kekuatan politik yang signifikan dengan catatan setiap buruh masuk dalam serikat. Seperti Tom Morello, seorang aktifis buruh dan juga guitaris Rage Against the Machine. Kurang lebih artinya seperti:
‘Bergabung dengan serikat buruh adalah tindakan yang tepat. Kenapa? Karena dengan bergabung dengan serikat, kita menjadi satu dan kita menjadi kuat, Kenapa? Karena dengan bergabung dengan serikat, tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tapi juga keluarga kita’ (Morello, 2021).
Morello tidak hanya menjelaskan manfaat berserikat bagi seorang buruh tapi berserikat mempunyai manfaat lebih bagi orang-orang disekeliling seorang buruh. Gambaran sederhananya, ketika serikat buruh sudah mengubah keadaan lingkungan kerja atau kondisi kerja ke lebih baik, secara otomatis akan berdampak langsung terhadap keluarga buruh, seperti; dengan upah yang layak buruh akan menyekolahkan anak-anaknya yang lebih berkualitas atau buruh dapat mengakses makanan yang lebih bergizi; dengan mengurangi jam kerja buruh di perusahaan, seorang buruh mempunyai banyak waktu dengan keluarga, tetangga dan sanak famili.
Di paragraf di atas, saya mengatakan bahwa sekolah atau jarang kampus memberikan pelajaran mengenai hak hak buruh, serikat buruh menawarkan pengetahuan tentang semua apa yang dibutuhkan oleh buruh. Buruh yang berserikat bisa menghitung sebuah produksi. Tidak hanya itu buruh berserikat juga mengetahui dengan detail undang-udang yang belaku tentang perburuhan yang berlaku di Indonesia.
Maka tidak heran kalau buruh yang berserikat mempunyai pribadi yang kritis. Bukti serikat merupakan tempat belajar terdokumentasi melalui kumpulan tulisan-tulisan buruh yang dibukukan yaitu ‘Buruh Menulis Perlawanannya’ dan ‘Menolak Tunduk’, dan satu dari penulis-penulis adalah seorang perempuan yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, selebihnya adalah lulusan SMP dan SMA. Kedua buku tersebut adalah hasil karya buruh-buruh yang merelakan 1 jam atau 2 jam waktu luangnya untuk berserikat.
Ratusan juta penduduk Indonesia adalah buruh dimana presentasi buruh informal lebih tinggi dari pada buruh formal yang mempunyai gaji tetap walaupun sebagian besar dari mereka nyambi kerjaan lain karena upah tidak mencukupi biaya hidup mereka. Dengan sistem ekonomi neoliberal yang dianut oleh negara kita, pekerjaan formal sedang bergerak ke arah informal guna mengurangi ongkos produksi, hal ini ditandai dengan diberlakukannya undang-undang Omnibuslaw, peraturan yang mendatangkan banyak kontradiksi.
Dengan berlakukan peraturan ini, perusahaan akan sesegera mungkin menerapkan sistem kerja fleksibel. Menurut saya, sistem kerja ini seperti buruh yang bekerja di perusahaan besar, tetapi si pemberi pekerjaan menggunakan cara serabutan agar bisa menghindari kewajiban membayar jaminan sosial buruh, membayar THR, membayar pesangon dan lain-lain. Selain itu, sistem ini tidak menjamin keberlangsungan kerja seorang buruh, di mana buruh akan mudah diberhentikan dari pekerjaannya.
Fenomena ini sedang berlangsung dan akan dirasakan oleh anak-cucu kita. Maka kita sebagai bagian dari rakyat pekerja sudah sepantasnya mengorganisir diri melalui serikat-serikat buruh yang merupakan salah satu langkah awal untuk besama-sama belajar mengubah keadaan hidup kita dan juga masa depan anak-cucu kita.
Saya mengingatkan diri saya kembali dan juga para pembaca dengan:
‘Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib satu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang mengubahnya’ (Ar-Ra’d, 11)
Wallahu a’lam bi murodih
Max Havelaarstraat, Den Haag. April 19, 2021