biem.co – Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyelenggara Pemilu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Dalam menjalankan tugasnya KPU dan Bawaslu berpedoman pada 11 asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Agar terpenuhinya 11 asas tersebut maka rekruitmen personil penyelenggara Pemilu di tingkat pusat dan daerah dilaksanakan dengan proses seleksi yang ketat. Hal ini tentu saja agar terpilih sosok yang memiliki integritas dan nilai-nilai sebagaimana yang disyaratkan UU.
Setiap sosok yang terpilih diharapkan menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang disyaratkan UU secara umum, akan tetapi secara personal setiap pribadi pasti memiliki prinsip-prinsip yang dipelajarinya dari orang lain. Bisa dari guru, sahabat atau tokoh yang dikaguminya.
Begitu pula yang dirasakan Totok Hariyono, salah satu Anggota Bawaslu Jawa timur, Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa. Saat bersilaturahmi ke Kantor Redaksi biem.co, dirinya menceritakan bagaimana sosok Soekarno memengaruhi prinsip hidupnya, khususnya dalam pekerjaannya sebagai penyelenggaara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu.
Anak Seorang Miilter tapi tidak Militerisme
Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga militer, sebagai Anak Kolong, karakter keras dan tegas tidak bisa dipisahkan dari sosok satu ini. Menjadi anak tentara yang kerap ditinggal tugas ayahnya keluar pulau, Totok sudah terlatih hidup dengan disiplin dan kemandirian tinggi.
Ia mengatakan, “Saya anak ke empat dari enam bersaudara, anak tentara berpenghasilan pas-pasan yang terbiasa hidup susah. Untuk bertahan hidup, orang tua mengajarkan saya agar bisa melakukan semua sendiri, tidak menunggu dan bergantung pada orang lain. Sedari kecil saya terbiasa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga mulai dari menyapu, mengepel, mencuci baju, bahkan memasak. Itu pasalnya, sampai sekarang saya suka beres-beres, tidak suka melihat barang kotor berantakan.”
Meski asrama tentara adalah lingkungan dominan yang menempa dan membentuk dirinya hari ini, Totok mengaku tidak kehilangan masa indah remajanya. Ia dan teman main masa kecilnya sesama anak tentara yang tinggal di asrama juga melakukan kegiatan layaknya remaja lainnya. Mereka gemar mengeksplorasi hal baru, bermain musik, belajar dan main game bareng.
“Bedanya cuma, kami anak asrama lebih ‘jago gelut’. Buat kami saat itu, anak tentara kalah berantem adalah hal yang memalukan,” kenang Totok.
Tapi sekarang, meskipun saya adalah “anak militer” (baca: anak seorang personil militer) saya tidak suka militerisme (baca: kekerasan dan intimidatif)”, tegasnya.
Berhenti jadi Wartawan Karena Prinsipnya Dicederai
Jiwa nasionalis mengalir kental dalam darah pria kelahiran 56 tahun lalu ini. Bukan saja karena didikan ayahnya yang seorang tentara, gelora jiwa muda waktu itu ia peroleh setelah bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) semasa ia menempuh studi di IKIP PGRI Malang. Di GMNI totok belajar pola gerakan, membangun jaringan antar kelompok pro-demokrasi dan mengonsolidasikan cita-cita Indonesia yang lebih baik.
Karena idealisme yang dimilikinya, ia kemudian memutuskan diri menjadi wartawan dan bergabung di harian pagi Memorandum pada tahun 1987. Totok memutuskan menjadi pewarta karena ia beranggapan bahwa di tengah tekanan rezim totaliter, pers dapat menjadi alat perjuangan yang efektif, strategis dan ideologis.
Di media besutan Eks Eksponen Angkatan 66 itu jiwa aktivisnya terwadahi dengan baik. Apalagi semangatnya selalu berkobar setiap kali ia membaca sebaris puisi yang tertulis di salah satu dinding kantornya.

Di dinding itu tertulis, “Di sini berkerja para pendiam yang berteriak ketika keadilan terluka, ketika kebenaran tersisihkan. Disini berkerja para pendiam yang bergemuruh menciptakan kebebasan, berdiri di lapangan kejujuran dan keberanian, dan menjaga martabat kemanusiaan. Disini berkerja anak bangsa yang baik walupun bukan yang terbaik”.
Namun sayang, karir Totok sebagai jurnalis harus berakhir ketika ia memutuskan mundur dari Memorandum, lembaga yang sudah membesarkan namanya selama 20 tahun. Ia memutuskan mundur ketika ia merasa arah industri pers tak lagi bisa mewadahi idealismenya. Padahal, saat itu ia berada di puncak karirnya sebagai Pemimpin Redaksi Memorandum Arema.
“Saya memilih berhenti dan kembali ke dunia hukum sebagai advokat dan mendirikan berbagai kelompok studi dan kajian di Malang. Saya juga sempat aktif dibeberapa program pemberdayaan ekonomi rakyat di Jawa Timur seperti PAM DKB, JAPES 1 & 2, Jalin Kesra dan sebagainya. Yang penting idealisme saya terpelihara,” ungkapnya.
Di lingkungannya, Totok dikenal sebagai pribadi yang blak-blakan dan kerap tidak kenal kompromi terutama menyikapi praktik-praktik buruk yang secara norma tidak dapat ia terima, misalnya praktik kecurangan, manipulasi dan kolusi. Apalagi sekarang ia bekerja sebagai penyelenggara Pemilu di mana ia terikat kewajiban menegakkan peraturan penyelenggaraan pemilu.
Dirinya dituntut agar mampu bertindak tegas terhadap siapa pun, kapan pun dan di mana pun, menindak mereka yang berani mencederai demokrasi.
Pribadi yang terkenal humoris ini juga mengungkapkan bahwa ‘kepercayaan’ bernilai layaknya emas, dan penyelenggara Pemilu harus memiliki itu. Menurutnya “janganlah kepercayaan publik kita cederai dengan penyelenggaraan pemilu yang tidak berintegritas. Pemilu itu jembatan emas kita untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Tanpa integritas, pemilu akan penuh kecurangan dan kita pasti balik ke titik nol seperti sebelum reformasi”.
Mantan KPU Kabupaten Malang ini juga mengajak semua pihak untuk terus bersama-sama mengawal demokrasi, “….Sebab menjadi pengawas berarti harus bisa menjadi pengawal demokrasi terpercaya agar pergantian kepemimpinan dapat berlangsung aman, baik dan diterima rakyat. Dengan demikian tradisi demokrasi terjaga dan kita terhindar dari pemerintahan yang korup, otoriter, dan menindas seperti di masa Orde Baru dulu.”
Selain Nabi Muhammad SAW, Totok juga Mengagumi Soekarno
Lebih dari 20 tahun menjadi penyelenggara pemilu, dimulai dari Pengawas Pemilu (ad hoc) tahun 2009, Komisioner KPU Kabupaten Malang periode 2013-2018, dan kini menjabat Komisioner Bawaslu Jawa Timur periode 2018 – 2023, Totok menilai bahwa korupsi masih menjadi musuh bangsa Indonesia.
Untuk berjuang melawan korupsi, kolusi, nepotisme dan dis-integrasi bangsa ini, ia mengutip kalimat yang pernah disampaikan Soekarno, “Untuk bangsa ini kita tidak boleh berhenti berjuang.”
Totok sangat mengagumi Soekarno, menurutnya, “Selain Nabi Muhammad SAW, salah satu sosok yang telah menanamkan prinsip hidup saya adalah Soekarno. Dalam kondisi yang sangat genting dulu, lihat saja bagaimana Soekarno tampil sebagai proklamator, dan itu adalah pilihan. Bisa saja saat itu Soekarno jadi penguasa yang otoriter,” sambil bercanda Totok menganalogikan, “Seandainya saya hidup di zaman itu, saya mungkin jadi penghianatnya.”
Ia menambahkan, “Benar kata Bung Karno, tidak ada perjuangan yang selesai, sampai mati kita harus berjuang menegakkan keadilan dan kemakmuran negara. Musuh kita semua saat ini adalah kapitalisme, neo-kolonialisme, dan neo-liberalisme.”
“Namun, dahulu perjuangan kita masih mudah karena yang kita lawan adalah orang, sekarang kita kesulitan, karena yang kita lawan adalah modal dan pikiran-nya. Neo-kolonialisme, neo-liberalisme sekarang sudah masuk menyerang pikiran-pikiran warga negara kita, dan kita harus bersama-sama melawan,” tegasnya.
Anak Muda Jangan Lupakan Pancasila
Ketika ditanya soal kasus dan godaan terberat yang ditangani selama jadi penyelenggara Pemilu, Totok mengaku bahwa “tidak ada kasus yang ringan dalam pengawasan, semua kasus berat. Ditangani dengan bobot yang sama dan kami selalu fokus terhadap penanganan agar tercipta rasa keadilan masyarakat karena hal ini dipertanggungjawabkan di depan Tuhan dan Negara.”
Tidak dipungkiri, banyak sekali godaan yang diterima, “Godaan paling berat adalah malas, ancaman, dan hadiah, serta hal lain yang dapat mengalihkan fokus kami dalam pengawasan,” ungkapnya.
Totok berpesan kepada generasi muda bahwa dalam menjalankan profesi apapun jangan lepaskan Pancasila sebagai prinsip utama.
“Jangan lepaskan pancasila dalam kerangka tindak dan perilaku kita. Dengan menegakkan nilai-nilai pancasila maka kita sebetulnya sudah menegakkan nilai-nilai ketuhanan. Apabila kita bertuhan maka kita tidak akan pernah melanggar peraturan, tidak pernah takut ancaman. Jika seseorang masih melanggar peraturan dan takut ancaman maka kebertuhanannya dipertanyakan,” ungkapnya berapi-api.
“Anak muda harus terus bergerak ke arah yang positif. Barang siapa yang tidak bergerak dia akan tergerus oleh zaman,” tegasnya. (red)