Cerpen

Cerpen Fajar Hanif Mubarok: Romansa di Dunia Sontoloyo

Balasan untuk cerpen Ananda Bintang

biem.co — Aku yang sedang dalam perjalanan tentu saja tidak tahu menahu, bagaimana mulanya sehingga cerita tentangku bisa menyebar ke tempat-tempat yang jauh. Negeri-negeri di Selatan, Utara, dan Barat telah mengulang-ulang kisahku yang ajaib itu. Secara pribadi Aku memang menyatakan tak masalah jika cerita itu hendak menyebar ke wilayah mana pun di dunia Sontoloyo ini. Tetapi yang selanjutnya menjadi persoalan adalah ketidakjujurannya! Pradugaku: penyebaran cerita ini sepertinya berawal dan dimulai dari sebuah negeri di belahan Timur. Aku yakin begitu.

Di Timur sana, tepatnya di negeri di mana menurut prasasti ‘telah diciptakan Tuhan sembari tersenyum’ –Aku tidak yakin, masih kental budaya lisan. Dan kau, wahai Pembaca yang budiman, tentu tahu konsekuensi alamiah atas ceritaku yang tidak memiliki pakem resmi di atas materai itu: ditambah-tambahi, didramatisasi, bahkan mungkin dipolitisasi!

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Cerita itu kalau dirangkum kira-kira bunyinya mengatakan: “Seorang bajingan malang bernama Barok telah mengalami titit putus karena menghantamkan dirinya ke mobil pikap yang sedang melaju kencang. Konon, penghantaman dirinya pada mobil itu disebabkan perasaan frustasi karena cintanya tidak berbalas. Suti, perempuan biasa saja yang dicintai Barok, telah menikah dengan lelaki pengidap fetish kapal pesiar.” Sedenk betul.

Tentu itu jadi persoalan, dong! Karena di dunia Sontoloyo ini nama Barok tiada lain hanya Aku! Akibatnya, Aku yang punya cita-cita untuk terkenal seantero Sontoloyo jadi terhambat, tau! Bisa kau bayangkan kalau orang percaya bahwa tititku telah putus? Betapa malunya.

Maka untuk mencegah cerita ganjil itu menyebar lebih jauh sampai ke planet lain, Aku menulis klarifikasi ini. Sebab di dunia Sontoloyo ini kita akan aman, toh, kalau masih punya kesempatan untuk berklarifikasi?

***

Aku menulis klarifikasi ini dalam sebuah penerbangan ke suatu tempat yang jauh. Jujur saja, Aku kurang mendapat posisi yang enak untuk menulis, itu karena sedari tadi pesawat mengalami turbulensi gila-gilaan. Pilot pribadiku berkata penyebabnya adalah karena hujan telah membeku di udara. Begitu aku melihat ke jendela, ternyata hujan betul-betul telah membeku! Bulir-bulir air berbaris vertikal. Terpaku. Membeku di langit Sontoloyo seperti tirai kerang. Dan kau, pembaca yang budiman, kalau kau sedang berada di langit kau bisa mengambil bulir air itu, bentuknya persis seperti gundu tetapi dengan sedikit meruncing di salah satu bagiannya.

Karena masalah kekurangnyamanan itu, maafkan Aku kalau-kalau tulisanku buruk. Mudah-mudahan tidak ada yang akan tersinggung.

Begini. Pertama-tama, tititku masih utuh dan lengkap. Akarnya menghunjam ke dalam dan batangnya menjulang ke depan. Dia tidak bernama, tapi dia ada. Dia tak perlu pakai embel-embel cogito ergo sum yang sering dipakai mahasiswa semester satu itu, untuk membuktikan eksistensinya. Tolong yakinilah itu, wahai Tuan dan Nyonya Pembaca yang budiman, karena aku tidak mungkin memperlihatkannya padamu.

Kedua, Aku memang mencintai Suti dengan segenap jiwa ragaku. Suti adalah perempuan yang telah diciptakan Tuhan sembari tersenyum, dan Tuhan selalu tersenyum setiap kali mengingatnya. Itulah yang paling mungkin menjadi alasan kenapa Aku bisa jatuh cinta begitu rupa padanya.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama di suatu pagi di sekolah, dan bertahun kemudian Aku menggila. Dalam suatu kesempatan di masa lalu, kami berbagi teh Sisri dalam plastik seperempat, diminum berdua. Membincangkan banyak hal.

Di akhir pertemuan, Aku memberinya selembaran kertas berisi puisi. Dia membacanya saat itu juga, di hadapanku, dan di hadapan tukang teh Sisri. Dia bilang, “Puisimu bagus sekali, aku suka.”

Apakah yang dia maksud dengan kata ‘suka’? Dia pasti mencintaiku.

Tetapi yang terjadi dua hari setelahnya adalah kenyataan pahit, yang membuat langit berkabut kelam. Kabar itu datang, membuatku menendangi tempat sampah berkali-kali: Harto, hartawan sial yang setiap kali berjalan selalu kesandung batu itu, memacarinya.

Oh, Jagad! Apa pula yang dicari Suti? Meninggalkan penyair demi seorang hartawan adalah sebuah kesalahan besar, menurut penyair.

Begitulah sejak itu hari-hariku menjelma perjalanan kecemasan yang panjang tak berhulu, tetapi yang juga tak kunjung membuat Aku kapok mencintainya. Aku terus mencintainya.

Oh, berapakah umur cinta?

Tapi memangnya kenapa harus tidak mencintai? Memang siapa yang melarang seseorang mencintai siapa pun di dunia Sontoloyo ini? Pernahkah kau membaca sebuah kitab kuno Catatan Perjalanan dalam Mencintai yang ditulis pada tahun 1365 oleh Resi Hokcai? Di sana dikatakan, “Barangsiapa yang melarang manusia mencintai, dia seorang penjahat kelas satu yang dengkulnya patut dijadikan arca.”

Begitulah aku terus mencintainya dengan segenap jiwa raga. Dalam sebuah kesempatan lain di masa lalu, Aku melihat Suti dan Harto sedang berbagi teh Sisri dalam plastik seperempat. Aku yang melihatnya dari balik gerobak somay tentu menahan gerutu. Siapakah di dunia ini orang yang tidak memiliki cemburu? Tuhan pun pencemburu.

Apalagi Aku yang dalam kesempatan itu melihat Harto bersama Suti berbagi teh Sisri. Hartawan yang doyan keseleo itu sengaja memesan satu sedotan saja. Sialan! Ketika Aku berbagi teh Sisri dengan Suti, Aku memesan dua sedotan! Dasar cabul.

Tetapi Aku tetap mencintainya.

Pada suatu malam saat berkendara, jauh setelah aku lulus SMA, aku teringat Harto. Kudengar dia telah bertunangan dengan Suti. Demikianlah frustasi memenuhiku. Ketika kulihat mobil pikap sedang melaju, kutabrakkan diriku.

Ngiiiiiiiingggg...

***

Bunyi berdenging muncul begitu saja dalam kesadaranku, dari pandangan yang mengabur kulihat orang-orang ramai menengok padaku. Suara mereka riuh, tetapi pelan seperti tenggelam. Begitulah sebelum segalanya menjadi hitam.

Aku terbangun di sebuah rumah sakit. Butuh lima bulan sebelum Aku diizinkan pulang, untuk kemudian menghadiri pesta pernikahan Suti dan Harto.

Pestanya megah bukan kepalang, pagar ayu mereka memakai setelan pegawai kapal pesiar, aksesoris yang terdapat di meja tamu pun penuh dengan gantunan kunci berbentuk kapal. Tak kurang dari itu, bangku pelaminan mereka berbentuk kapal! Oh. “Mentang-mentang muka lu kaya kapal.”

Belum selesai segala rangkaian acara pernikahan yang tidak penting itu, Aku pulang. Besoknya aku berlibur di sebuah pantai di salah satu kota di utara Sontoloyo, sendirian saja, menyewa sebuah Jet Ski.

Aku ingat laut begitu tenang, ombak berduyun-duyun menyapu pasir di tepi bumi. Buih dan wewangian laut bersekutu mewujudkan panorama yang damai, yang juga sendu dan sepi. Entah kenapa laut begitu sepi. Matahari mentereng tetapi tidak panas. Angin laut menari-nari lembut seperti seorang Darwis. Tak terasa Jet Ski yang kusewa telah sampai pada jalur transportasi kapal pesiar.

Pada sebuah titik aku melihat sebuah kapal besar. Terpikir dalam benakku untuk menabrakkan diri sekencang-kencangnya. Dan aku melakukannya dengan penuh kesadaran. Lalu berakhirlah semuanya.

***

Aku menulis klarifikasi ini dalam sebuah penerbangan menuju tempat yang jauh, ke suatu wilayah tak berbatas. Akan kujatuhkan surat ini ke bumi, semoga diterima oleh manusia yang tepat. Dan aku terus melanjutkan perjalanan, meninggalkan waktu. Meninggalkan bumi. Meninggalkan Suti.

“Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
kutinggalkan kemarin dulu?”

 – Subagio Sastrowardoyo. Manusia Pertama di Angkasa Luar.


Tentang Penulis: Fajar Hanif Mubarok, mahasiswa Sastra Indonesia Unpad. Bukan siapa-siapa. Punya Instagram @fajarhanifm.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button