biem.co – Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan, “Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sudah tidak bisa mengelak lagi tidak terlibat kudeta. Perannya terang benderang dengan pengukuhan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Sumatera Utara.
Moeldoko meruntuhkan pernyataannya sendiri yang mengaku tidak tahu menahu, tidak terlibat bahkan menyebut masalah ini hanya persoalan internal. Faktanya KSP Moeldoko adalah bukan kader Demokrat jadi jelas bukan masalah internal Demokrat, segelintir kader dan mantan kader yang semangat melakukan KLB tidak mungkin punya semangat kalau tidak dapat dukungan dari KSP Moledoko.
Jadi tujuannya sudah jelas ingin merebut kepemimpinan Partai Demokrat yang sah. KLB ini jelas tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan dan dasar hukum partai yang sah. Berdasarkan AD/ART Partai Demokrat untuk bisa diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) maka harus disetujui, didukung, dihadiri dua pertiga dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD), setengah dari jumlah pimpinan cabang (DPC), keduanya adalah angka minimal bisa diinisiasi menyelenggarakan KLB berdasarkan AD/ART dan harus mendapatkan persetujuan dari Ketua Majelis Tinggi Partai yaitu SBY,” ujar AHY dalam konferensi pers, Jumat (5/3/2021).
Lebih lanjut, AHY menegaskan tentang AD/ART “Itu adalah konstitusi Partai Demokrat yang sudah disahkan oleh pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM. Faktanya para ketua DPC dan DPD tidak ikut dalam KLB. Mereka setia, solid pada partai dan juga kepemimpinan yang sah,”.
Pada intinya, AHY menganggap KLB Deli Serdang tersebut ilegal dan inkonstitusional. Senada dengan ini, Abdul Fikar Hadjar pakar hukum Universitas Trisakti berpendapat, “Para pelaksana KLB itu sudah tidak punya legal standing sebagai bagian dari Partai Demokrat, karena itu hasil KLB pun menjadi tidak sah. Pengakuan yuridis bahwa mereka bukan lagi anggota PD, mereka menggugat pembatalan surat pemberhentian ke pengadilan. Jadi menurut saya tidak ada legalitas KLB sebagai sebuah kegiatan partai,”
Mengenai keterlibatan pemerintah, publik meragukan, sulit rasanya menalar bahwa Presiden Jokowi tidak mengetahui tindakan KSP Moeldoko karena ia merupakan pejabat di lingkaran istana. Intervensi kekuasaan dalam urusan internal Partai Demokrat merupakan preseden buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tindakan ini mendapatkan reaksi keras di kalangan masyarakat, akademisi dan pengamat politik.
Refly Harun selaku Pakar Hukum Tata Negara mengatakan “Dia (Moeldoko) melanggar dua etika, etika politik dan etika sebagai pejabat publik atau pejabat negara. Di negara lain, yang begini pasti mengundurkan diri,”
Publik menilai perlunya menyelamatkan demokrasi Indonesia. Permasalahan yang terjadi di Partai Demokrat bukan lagi masalah internal akan tetapi sudah menjadi masalah eksternal karena adanya elemen kekuasaan yang terlibat di dalamnya. Jika persoalan ini dibiarkan, maka demokrasi benar-benar telah dirusak dan negara seolah-olah tidak berdaya.
Ketua tim pengacara Partai Demokrat, Bambang Wijayanto yang juga mantan pimpinan KPK menyatakan kalau hak orpol (organisasi politik) yang diakui secara sah saja bisa diobok-obok dengan brutal begini, maka kemudian kita, negara kita itu sedang terancam. Begitu juga dengan Donal Fariz dikutip pernyataannya di Instagram, polemik Partai Demokrat semestinya dibaca sebagai pembajakan demokrasi. Bukan hanya polemik internal partai karena adanya unsur pejabat lingkaran istana yang terlibat. Karena pembajakan ini bentuk states crime of democracy agar partai tunduk dalam satu poros kekuasaan tertentu. Tegasnya, ini yang membuat dia mau bergabung dalam tim kuasa hukum.
Terlebih lagi di kalangan ilmuwan politik muncul perdebatan tentang situasi demokrasi Indonesia, seperti yang terangkum dalam buku Outlook Demokrasi LP3ES. Apakah demokrasi Indonesia hanya mengalami kemunduran? Ataukah ia sudah berubah menuju kearah otoritarianisme? Walaupun sejumlah pengamat berpendapat bahwa demokrasi kita hari ini telah mengalami kemunduran belum berubah menjadi otoritarianisme.
Meskipun belum berubah menjadi rezim otoriter, otoritariansime sebagai praktik sesungguhnya telah terjadi pada periode pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pendapat ini merujuk pada empat indikator dikemukakan oleh Levitksy dan Zibllat, meliputi (1) menolak, baik secara lisan atau perbuatan, aturan main demokrasi, (2) menolak legitimasi lawan politiknya, (3) menoleransi dan mendukung dilakukannya tindak kekerasan, serta (4) mengindikasikan keinginan untuk membatasi kebebasan sipil politisi lawan dan media.
Lalu bagaimana proses konsolidasi demokrasi di masa Presiden Joko Widodo? Sebagian pengamat menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi ada indikasi putar balik ke arah Sistem Otoritarianisme. Kemunduran demokrasi itu ditandai dengan adanya konsolidasi oligarki, dimana kekuasaan dalam menentukan kebijakan dipegang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Kemudian adanya pemberanguasan terhadap oposisi dan pengingkaran terhadap prinsip demokrasi.
Ini adalah indikator lainnya yang menunjukkan adanya pelemahan oposisi dalam dinamika politik di tanah air yaitu adanya upaya pelemahan lawan politik. Ini dapat diamati ketika presiden ikut campur dalam pemilihan ketua umum dan berhasil memaksa sebagian dari mereka meninggalkan baju oposisi. Contohnya terlihat jelas dalam konflik Partai Golkar dan PPP pada Pilpres 2014 dimana kedua kubu yang berkonflik sama-sama mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Kubu Golkar terpecah antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, kemudian intervensi dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan SK untuk memenangkan kubu Agung Laksono.
Hal serupa juga terjadi di PPP dimana ada perselisihan antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, tindakan intervensi pemerintah yang sama juga dilakukan melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan keputusan Menteri yang mendukung kubu Romi. Terdapat pula konflik internal yang memaksa kedua parpol tersebut pada akhirnya masuk ke koalisi pemerintah.
Sejarah intervensi konflik partai oleh pemerintah membuat Partai Demokrat tentu khawatir intervensi yang sama juga akan diterapkan pada mereka. Apalagi ada elemen kekuasaan yang terlibat dalam konflik internal, kalau itu sampai terjadi, maka kudeta Demokrat betul-betul menjadi sebuah ancaman Demokrasi di Indonesia.