biem.co – Sebenarnya Firaun bukanlah nama seseorang akan tetapi sebutan bagi Raja Mesir di zaman itu. Firaun adalah Raja yang begitu kejam, bengis, simbol penguasa tiran, zalim dan angkuh. Hingga namanya digunakan sebagai lambang kebiadaban dan kesombongan. Dalam bahasa Arab pun, kata tafar’ana memiliki sinonim takabbara. Yaitu kata memfir’aunkan diri memiliki arti menyombongkan diri. Firaun dikenal dan digambarkan sebagai penguasa Mesir yang memiliki kekuasaan tak terbatas dan mengklaim dirinya Tuhan bagi rakyatnya.
Firaun memiliki otoritas dan absolutisme kekuasaan pada setiap sendi kehidupan rakyat Mesir dan tampuk kekuasaan yang tidak dibatasi oleh jangka waktu. Jabatan yang dipegang selama seumur hidup. Nama Firaun begitu terkenal sebagai simbol antagonis, musuh kebenaran dan pemimpin kebatilan. Sehingga, musuh-musuh kebenaran di setiap zaman disebut Firaun di zaman itu. Seperti Abu Jahal yang disebut Firaunnya Umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam.
Firaun Zaman Now
Firaun itu masih hidup, berevolusi, menggeliat dan berkembang-biak tanpa kita sadari. Model kekuasaan Firaun dengan evolusinya yang lebih canggih, menyebar di berbagai tempat dengan bungkus barunya, ia bisa jadi hidup di mana saja. Firaun Zaman Now kini berlipat ganda dalam ragam bentuk, malah lebih canggih dengan mengatasnamakan pembaruan: demokratis, solidaritas, dan progresif. Firaun Zaman Now berwujud ketunggalan yang menghilangkan segala perbedaan dan perlawanan. Kebebasan bicara berarti omong kosong.
Firaun Zaman Now rakyatnya dijejali oleh kemiskinan dan ketakutan, ditenangkan seolah-olah dengan pembangunan. Para elemen masyarakat menyerta komoditasnya dikendalikan tirani melalui kamuflase kesejahteraan.
Firaun Zaman Now berprinsip bahwa pemikiran berbeda itu dilarang, politik dibuat tak dinamis karena “dinasti” harga mati. Yang bergerak adalah pengabdian “oligarki” yang mengisi gegap gempita infrastuktur. Firaun Zaman Now memandang bahwa “perubahan” hanya terkesan menjadi momen yang sporadis dan tidak berkelanjutan. Kata perubahan hanya menjadi formalitas belaka, tidak substansial.
Firaun Zaman Now berevolusi semakin canggih dalam mengakali rakyat. Media dapat menjadi alat politik, korupsi boleh asal tak ketahuan, kasus korupsi yang membahayakan eksistensinya disimpan rapat-rapat agar tak menyeruak dan menjadi trending topic. Firaun Zaman Now memandang bahwa lawan politik harus dihabisi dengan berbagai cara, kalau bisa jadi musuh bersama, Kebebasan berpolitik ada namun ada alat untuk menyikut lawan politik dengan mengelabui rakyat seolah-olah bahwa semuanya sudah demokratis.
Firaun Zaman Now berprinsip tak penting cara yang dilakukannya seperti apa, apakah dengan mengkhianati dan memperkosa hak-hak dan kedaulatan rakyat atau tidak, sebab tujuan akhir dari perjuangan politik mereka adalah kekuasaan. Firaun Zaman Now sangat mahir dalam hal argumen-argumen yang terdengar indah. Sayangnya, itu kamuflase dan tipu muslihat semata. Sejatinya yang diperjuangkan adalah kepentingan dirinya serta kepentingan para tiran yang menguasai sumber-sumber kapital pembiayaan politik mereka.
Demokrasi yang dijalankan Firaun Zaman Now adalah demokrasi semu, demokrasi tanpa roh keadilan, demokrasi yang lumpuh atau demokrasi yang patologis.
Menjadi Musa Zaman Now
Rakyat yang bersatu pun tidak sanggup menggulingkan kebesaran Firaun Zaman Now. Dibutuhkan banyak orang sekeras dan setegas Nabi Musa untuk membebaskan rakyat dari kezaliman para Firaun Zaman Now, yang konsisten mengamalkan ajaran Tuhan, menuliskan pemikirannya secara akurat, membela kaum yang lemah, menyuarakan keadilan secara lantang dihadapan penguasa, mampu menyatukan umat dan membawa tongkat kebenaran untuk memukul setiap kemungkaran.
Dalam analisis Machiavelli—melalui karya termasyhurnya The Prince—adanya kaum dalam setiap perubahan yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) (Garon, 2003). Nabi-nabi ini tak lain adalah individu-individu di luar negara yang berupaya dan berperan membuka keran-keran ruang kebebasan publik.
Dalam konteks inilah, ada beberapa hal pokok yang menjadi sebuah pertanggungjawaban menjadi Musa Zaman Now. Menjadi Musa Zaman Now adalah membawa kembali doktrin agama sebagai pembebas. Oleh karena Musa Zaman Now identik dengan kaum pencerah, sudah saatnya Musa Zaman Now menghadirkan tradisi intelektualnya sebagai kekuatan sosial-revolutif. Civil society harus berani bergerak melawan tirani. Dalam menghadang laju hegemoni perubahan, Musa Zaman Now harus mampu mengimplementasikan ajaran ilmunya tersebut untuk membangun moralitas. dengan konsep-konsep sederhana dalam membuka ruang publik (public sphere) yang progresif dan solutif.
Musa Zaman Now harus selalu hadir dalam hal melakukan gerakan baru yang lebih profesional. Selama ini gerakan civil society harus lebih mengarah pada hal-hal yang bermisi keilmuan dan gerakan. Musa Zaman Now juga harus berani terjun ke bawah, memberikan pencerahan rakyat tentang perubahan dan masa depan. Musa Zaman Now adalah mereka yang merupakan individu yang peduli untuk berjuang menantang aturan lama dan mempromosikan institusi politik baru, kendati mereka tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan tidak memiliki tentara (no policy, no army).
Meski minoritas, Musa Zaman Now harus berani menyebarkan ide-ide baru untuk melakukan perubahan dan harus berani untuk membuka mata dunia. (*)
Eko Supriatno, M.Si, M.Pd. Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan.