KOTA SERANG, biem.co – Ramainya kembali mengenai akan direvisinya UU ITE baru-baru ini, dianggap belum selesai oleh para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lugas (Lingkup Jurnalis Universitas Primagraha Serang). Sebab menurut mereka, UU ITE yang sekarang saja belum memihak dalam kebebasan berekpresi, bagaimana nanti ketika direvisi, apakah memihak atau tidak.
Melihat hal itu, Lugas menggelar Diskusi Publik dengan tema UU ITE, Penguat Kebebasan Berekpresi atau Pembungkam Para Kritisi, di Aula Universitas Primagraha, Kamis (25/02/2021).
Hadir sebagai pemateri Pemred biem.co, Ega Jalaludin; Sekjen PERADI Serang, Hermawanto; dan Kasi Diseminasi Informasi pada Diskominfo Kota Serang, Rizki Ikhwani.
Ketua Pelaksana Kegiatan, Dika Ramadhan Putra mengatakan, kegiatan ini terlaksana sebagai momentum Hari Pers Nasional, dan deklarasi pembentukan LPM Lugas yang sekaligus membedah mengenai ramainya rencana revisi UU ITE.
“Kegiatan ini berawal dari keinginan kawan-kawan dari lembaga pers yang ingin turut menyumbangsihkan pemikiran mengenai isu-isu saat ini. Dan sekaligus memperingati Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari lalu,” ujarnya.
Dalam paparannya, Rizki Ikhawani memaparkan, kebebasan itu tidak ada yang benar-benar bebas. Melainkan juga harus memerhatikan hak orang lain juga.
“Bebas yang benar bebas itu tidak ada. Buktinya saat ini di masa pandemi, teman-teman masih mengharuskan memakai masker yang diperintahkan pemerintah. Jadi tidak ada yang bebas seutuhnya, begitupula dengan menyikapi UU ITE ini. Apakah menjadi penguat kebebasan berekspresi atau sebagai pembungkam. Itu kembali lagi kita menyikapinya,” katanya.
Sekjen PERADI Serang mengatakan, menyikapi UU ITE jangan hanya terfokus pada pasal 27 ayat 1,2, dan 3 saja, melainkan juga harus melihat pasal-pasal yang lain yang justru menguntungkan (melindungi konsumen).
“Senang tidak senang. Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang telah dirubah di Undang-Undang nomor 9 tahun 2016 itu sudah sah. Jadi saya sebagai advokat senang tidak senang harus mengikuti. Namun juga perlu dilihat di UU ITE ada juga yang melindungi konsumen,” paparnya.
“Namun mau bagaimanapun mengenai diskusi ini sudah luar biasa. Lembaga Pers Mahasiswa UPG ini berani mendiskusikan, jadi masih ada harapan mengenai pergerakan-pergerakan mahasiswa yang kritis,” tambahnya.
Sementara itu, Pemred biem.co memaparkan dari sisi kejurnalistikan, bahwasannya Undang-Undang ini terlahir dengan cacat, dan membungkam para kritisi.
“Kalau saya memandang bahwasannya Undang-Undang ini hanya soal persepsi. Artinya masalah persepsi masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum itu berbeda. Ketika masyarakat mengkritisi, pemerintah menganggap itu sebuah penghinaan, sedangkan masyarakat menganggap itu kritikan. Jadi jelas itu semua hanyalah soal persepsi,” ungkapnya.
“Jadi yang harus dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, ataupun penegak hukum kembali lagi ke fitrah kita sebagai orang timur (pemaaf) jangan baperan,” tambahnya.
Lebih lanjut, mengenai karya jurnalistik (investigasi) yang isinya baru praduga, tapi dalam isinya ada yang menyinggung pejabat, banyak yang dilaporkan.
“Laporan mengenai UU ITE itu kebanyakan dilakukan oleh pejabat. Artinya pejabat ini baperan (anti kritik), dan anehnya pihak kepolisian juga selalu menanggapi laporan tersebut. Seharunyakan dipilah dulu lah laporannya, jadi memang ada permasalahan persepsi yang tidak selesai di sana. Secara hemat saya kita harus kembali ke fitrah kita sebagai orang timur, yang tidak baperan,” pungkasnya.