Jakarta dalam Sajak
Jakarta kucatat dalam sajak
karena hati telanjur tertambat
di sini, aliran pemikiranmu
deras menempuh pemahaman hidupku
rumah petak yang tetap gelisah
menggeliat di antara sela kesibukan kita
yang penuh berjejal segenap cita-cita
Perjuangan adalah gerak angan-angan
harapan mengalir tiada henti
sampai muara tempat kita istirah nanti
Hari-hari mengalir
dan menghanyutkan segala kemungkinan
karena pemandangan penuh fatamorgana
betapa Jakarta mengambang pada permukaan
terapung dalam riak-riak lamunan
Kasidah Kota Tua
Bersamamu menyusuri sebuah kota
Tua, betapa kita merasa semakin tua saja
Sepanjang jalan adalah usia yang berlepasan
Dari detik demi detik mengalir tiada henti
Satu demi satu mengelupas seperti rasa cemas
Menguakkan kesadaran yang telah lama karam
Ada yang terasa hilang saat kita tergelak
Tawa, kebahagiaan yang sulit diterjemahkan
Menjelajah malam penuh gemerlapan, tapi miris hati
Tercabik lirikan genit perempuan malam pinggir jalan
Senyumnya kaku betapa hampa membekukan suasana
Tak ada percakapan tentang baik-buruk, cantik-jelek,
Atau alim-pelacur, tapi ia akan tetap berhak menyandang
Sebutan ibu, keagungan sebuah martabat paling hakekat
Meski telah menelantarkan kesemua anak-anaknya
Terlunta-lunta di kolong kota tanpa ayah dan kasih sayang
Roda kehidupan yang semakin bergulir menuju jaman akhir
Dan kita pasrah, tak bisa menolak ataupun mungkir
Kota, apakah masih mampu menanggung beban zaman
Tak bisa mengulang kembali menjadi lautan api
Sekarang sudah terlalu uzur untuk kembali bertempur
Gedung-gedung telah menutup pintu-jendela
Juga orang-orang telah lelap dalam mimpi gemerlapnya
Tapi kita masih tetap setia menjaga tanya
Hanya kata-kata yang bisa dijadikan teman
Lihatlah, ada bocah selalu gelisah tak mampu merubah
Nasibnya yang telah terjepit di antara kenyataan pahit
Tapi semangatnya tetap berapi-api menuangkan energi kreatif
Rangkaian kata-kata yang ditulisnya dijadikan senjata
Jakarta Tak Habis Kata
Jakarta tak habis kata, selalu ada yang dibicarakan
Kenyataan getir, sungguh, kita pun tak habis pikir
Tetap saja selalu deras arus urbanisasi mengalir
Seperti banjir yang selalu hadir, kesadaran telah karam
Tak lebih baik dari kampungnya, tetap saja nekad datang
Tak ada kamus menyerah, betapa mereka tak kapok-kapoknya,
Sungguh, kita hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya
Karena akan selalu ada yang digusur, seperti sudah tradisi
Mereka tetap bertahan, meski keadaan sudah sangat parah,
Sungguh, kita tak habis pikir, mereka tak mau berubah
Sudah diingatkan Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum
Kalau diri mereka sendiri tidak mau merubah nasibnya,
Sungguh, mereka benar-benar tak pernah mau berubah,
Padahal sudah jelas impian dan harapannya kandas
Tapi tak bergegas bangkit dari kenyataan pahit ini
Sungguh, meski mereka sudah tahu pasti
Solusi dari segala pemecahan permasalahannya,
Sungguh, kita tak habis pikir, hal ini terus terjadi
Seperti sudah suratan nasib, betapa Jakarta tak habis kata…
Ke Jakarta dengan Cinta
Jakarta meledak dalam sajak
Menjadi ribuan kata penuh gegap semangat
Tempat orang-orang kerja keras meraih cita-cita
Mari dengan “gaya Jakarta”; kita berhenti bermimpi
Untuk menghadapi kenyataan apa pun yang terjadi
Mengerahkan apa saja yang bisa kita kerjakan bersama
Dalam mewujudkan harapan pada kota penuh pertarungan
Jakarta meledak dalam sajak
Menjadi ribuan kata penuh gairah cinta
Kekasihku, masa depan kita emas, seperti Monas
Yang menjulang hingga melesatkan angan-angan
Tempat orang-orang berbakat mendapatkan harapan
Dan kita, kekasihku, akan tetap melangkah ke depan
Dengan doa, semangat, dan keringat yang tiada henti mengalir
Segerak Ruang
Menyeduh teh selalu setiap aku rindu
padamu yang biasa datang membayang
pada segerak ruang yang akan memasukkan
semua kenangan kita tentang apa saja
: baju kembang-kembang dan selendang
melekat ditubuhmu yang kuning langsat
betapa pesona itu yang tetap memikat
Ada yang lain lagi, semasih musim dingin
mantelmu selalu mempertebal keyakinanku
hingga genggam tangan tak akan terlepaskan
kian erat-erat semakin hangat berdekatan
tapi kita seperti langit-bumi sulit disatukan
Kureguk bayangmu yang semu
menghadap segerak ruang yang begitu pengap
kita memang bukan saatnya bisa bersama
ada latar belakang yang membuat kita berbeda
para tetangga pun mematahkan setiap kata-kata
yang menjadi sambungan komunikasi di antara kita
hingga jembatan penghubung itu telah ambruk
oleh pertikaian demi pertikaian berlarut-larut
dengan penyelesaian kehadiran kita transparan
Melankolia Sebuah Kota
Bersama pagi, aku menepi ke sudut kota yang sepi
tapi dingin masih menyergap, aku resah menyusun bahasa
sebab kata tercipta berabad-abad menjadi sengketa, betapa
waktu terangkut sia-sia menangguk kerugian tak terkira
Kota, sepatah kata yang tak dapat kita eja ketika waktu terus
melaju, sebab orang-orang mabuk kesibukan, gelombang urban
yang kencang, tapi melenakan kita dalam fantasia impian Jakarta
Antara Kesibukan Kota
Ada bayang di antara kesibukan kota
yang mengejar alam benda, hingga lama
kedamaian ditinggalkan, orang-orang kerja
pada pengejaran harta semata-mata, betapa
makin dalam kerugian pada kesesatan purba
menuju kelam kehidupan, pertaruhan semu
di atas segala pencapaian yang sia-sia
Matahari menggigil di tepi pagi dalam kengerian
tengah terjadi pembantaian harapan bagi anak-istri
dari tubuh lelaki yang kini tidak berkeringat lagi
karena akibat PHK yang semena-mena
hingga hanguslah seluruh gairah semangat
membentur dinding kepiluan hidup terbayang maut
terus mengikuti di antara kebukan kota tergerus
Bulan Hilang di Atas Jakarta
Bulan hilang di atas Jakarta, betapa kita
tiba-tiba seperti baru menyadarinya
dan diam-diam kita mulai merindukannya
kembalilah, bulanku seperti dulu lagi
keceriaan masa kecil bermain di halaman
Tampak wajah bulanku begitu pucat
tergolek sendiri di sudut langit gelap
telah uzur usia dalam kenangan manja
pudarnya masa kejayaan purnama karena
kini tidak ada lagi yang menyanjungnya
Bulan hilang di atas Jakarta
telah terusir keangkuhan lampu-lampu kota
yang silaukan gemerlap keramaian dunia
dari pertarungan gelisah angan-angan, betapa
kita bersaksi tentang getirnya perubahan zaman
Kasidah Kesaksian
Seusai badai, aku bertahan dalam diam
angin lembut pun tiupkan seribu impian
yang menepi bersama matahari pagi
di sini, aku akan terus menjalani hidup
tanpa pasungan lagi yang dulu mengikat
tangan-tangan menuliskan puisi-puisi kesaksian
di mana kata-kata menyimpan makna terdalam
Kemarin dan esok menjadi hari ini
akankah seribu impian tumbuh bersemi
di sini, aku akan tetap berpijak mantap
tak ada impian lagi yang akan berani
hadapi kenyataan panjang terbentang
seribu akulah yang tengah siap menyerbu
kata-kata akan kujadikan senjata
Tentang Penulis: Akhmad Sekhu lahir 27 Mei 1971 di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, Jawa Tengah. Kini bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah tentang televisi di berbagai media massa daerah maupun pusat. Memenangkan Lomba Cipta Puisi Perguruan Tinggi se-Yogyakarta (1999). Puisinya telah tersebar di berbagai buku antologi bersama. Buku antologi puisi tunggalnya; Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), Golden Scene (manuskrip buku puisi tunggal untuk menandai umur 50 tahun). Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (siap terbit).