Cerpen

Cerpen Ananda Bintang: Kisah Sedih Barok

biem.co – “Apa yang akan terjadi jika aku menabrakkan motorku ke sebuah mobil yang sedang melaju kencang?” pikir Barok di sebuah jalan lintas daerah yang cukup ramai.

Setidaknya itulah pikiran Barok ketika sedang mengendarai motor Supra-X peninggalan kakeknya yang akhirnya hancur berkeping-keping karena ia memutuskan untuk menabrakkan dirinya ke mobil pikap yang sedang melaju di hadapannya. Ia terhempas, aroma getih tercium sebelum badannya terpental, kaca mobil pecah, motor Barok rusak tak karuan. Mungkin di langit, kakeknya sedang gusar. Barok tak sadarkan diri, gelap dan akhirnya mulai mengerti rasa sakit yang bisa dirasakan, secara menyeluruh dan nyata.

***

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sekitar tiga hari yang lalu, Barok memang bersedih. Ia melihat salah satu komentar di akun Instagram perempuan idamannya yang menyayat hati. Dengan hati ketar-ketir, ia menangis, sejadi-jadinya di sebuah kamar kosan 3×4 meter.

Kesedihan Barok didasari praduga, ia sudah kepalang posesif dengan perempuan idamannya itu. Padahal tak pernah satu kata pun pernah ia ungkapkan pada perempuan itu, bahwa dirinya mencintai dan memilikinya.

Perempuan itu bernama Suti. Teman SMA-nya yang telah lama Barok puja. Ia masih ingat ketika ia menawarinya Marimas rasa anggur dan menuangkan minuman itu ke sebuah plastik yang diberi sedotan, saat pulang sekolah seusai ospek dan diminum bersama-sama. Dari situ mereka berbincang, tentang apa-apa, tentang Barok, tentang Suti pula, atau tentang apalah yang sekiranya bisa dibicarakan.

Muka Suti memang biasa-biasa saja, sama seperti dirinya. Tapi, setelah sekian lama berbincang, ia merasa ada yang menggebu-gebu dalam hatinya. Kadang setiap ia tak hadir di bangku kelas, langit nampak kusam meski matahari sebenarnya hadir mentereng membakar keningnya. Meski biasa-biasa saja, nampaknya Barok memberi judul perasaan itu dengan kata “jatuh cinta”, dan latar belakangnya tentu saja ialah “Suti”.

Setelah hampir tiga tahun mereka dekat, Barok kesal dengan dirinya sendiri. Ia tak bisa mengungkapkan judul yang selalu ia bawa ketika mereka berdua berbincang. Padahal, jika Suti sedikit peka dan berani bertanya saja untuk memancing keberanian Barok, mereka mungkin akan kawin setelah kelulusan SMA nanti atau mungkin bercinta di kebon kopi secara diam-diam. Sebab sebenarnya Barok sudah terlihat menyukai Suti lewat tingkah lakunya sejak dari awal mereka bertemu. Tapi entah karena Suti tak menyukainya, atau alasan-alasan apapun itu, Suti nampak menunggu Barok menyatakan perasaannya dulu. Meski itu masih praduga juga.

Selepas lulus SMA, Barok diterima di sebuah perguruan tinggi di luar tempat kelahirannya. Sementara Suti, memilih bekerja di sebuah pabrik tekstil, dan mungkin akan kuliah setelah mendapatkan cukup uang dari hasil kerjanya. Perpisahan itu, singkat, biasa saja, tapi menyakitkan. Mungkin hanya bagi Barok, tapi bagi Suti, perangainya menunjukan perpisahan itu biasa-biasa saja.

“Jika aku pergi dan tak pernah lagi menghubungimu, apakah kamu akan sedih?”

“Selagi aku masih bisa makan dan bernapas, ya aku tak akan sedih lah hahaha. Udahlah, nanti juga kita ketemu lagi, kan? Kita masih bisa berhubungan kok.”

Entah apa maksud berhubungan itu, yang jelas, kini Barok terpojok di kamar kos-kosannya. Ia nampak menyesal, setelah hampir tiga tahun ia pergi dan tak pernah sekali pun menghubungi Suti, padahal ia ingin sekali melakukan itu. Tapi, Suti sendiri pun sepertinya tak pernah terbesit pikiran untuk sekedar iseng menghubungi Barok seperti apa yang Barok inginkan.

Di penjuru kamar, Barok membayangkan perkataan Suti lagi, membayangkan segala-galanya tentang Suti dan hanya bisa menyesalinya. Perasaan itu diperparah ketika ia membayangkan seorang Suti yang ia puja sedari dulu, bisa jatuh cinta ke seorang lelaki selain dirinya.

Makin sedih hati Barok, ketika membayangkan lelaki yang dipuja Suti itu seorang pria berseragam tegap berdada bidang.

“Tunggu aku pulang (emot cium),” komentar Harto di salah satu postingan Suti.

Nampak, puluhan kapal pesiar berseliweran di akun Instagram Harto. Barang tentu, dalam hati Barok, ia ingin mengumpat sejadi-jadinya di semua postingan itu “Titit lu nggak segede kapal pesiar, jangan sok keren bangsat!” atau agak sinis sedikit dengan huruf kapital “KAU KIRA DENGAN KAPAL PESIAR BISA BIKIN PEREMPUAN MENYUKAIMU!”

Tapi jemarinya tak lagi kuasa, kadung lelah menahan kesedihan yang selama tiga tahun itu mengiringinya sambil berkuliah. Ia pun sebenarnya sudah malas bertengkar di media sosial. Ia masih ingat, terakhir kali ia bertengkar, dengan ribuan buzzer yang menyerang sebuah artikel yang pernah ia tulis. Sampai-sampai ia didatangi orang berseragam tak dikenal ke kamar kos-kosannya, dan menyuruh menghapus artikel yang pernah ia tulis itu. Dari situlah, ia semakin kesal dan sebenarnya agak trauma dengan orang yang berseragam.

Dan kini, orang dengan pakaian seragam sejenis itu mau merebut pula perempuan yang selama ini ia puja. “Babi ngepet!” ujar Barok setelah melihat feeds akun Instagramnya yang kalau dilihat-lihat olehnya sendiri, sepertinya lebih pantas dihina ketimbang punya Harto.

Tangis Barok usai, matanya sembab dan sekilas mirip seperti biji kurma yang dilempar ke comberan. Ia akhirnya menulis puisi-puisi sedih di Instastory. Tak lama berselang, sebuah akun Instagram, menjawab puisi-puisinya.

[20:20, 03/12/2019] Suti Nurlaeha:
“Sombong banget sekarang kamu Barok. Mentang-mentang udah bisa bikin puisi, jadi lupa sama aku.”

[20:25, 03/12/2019] Barok Subarok:
“Hehe iya Sut,” samber gledek gumamnya, entah kenapa kok tiba-tiba tumben Suti yang menjawab. Matanya yang semula sembab, berubah jadi berbinar-binar. Harapan itu muncul lagi.

[20:26, 03/12/2019] Suti Nurlaeha:
“Eh, malah ketawa”

[20:26, 03/12/2019] Barok Subarok:
Typing…

[20:27, 03/12/2019] Suti Nurlaeha:
“Kapan kamu pulang?”

[20:27, 03/12/2019] Barok Subarok:
Typing…

[20:28, 03/12/2019] Suti Nurlaeha:
“Aku mau bicara sesuatu denganmu. Berdua saja. Tapi nanti saja kalo sudah ketemu.”

[20:30 03/12/2019] Suti Nurlaeha:
Barok liked a message you sent.

Harapan yang semula muncul, entah datang dari mana, kalap lagi. Ia agak meringis, dan tak mampu menjawab Suti lagi. Pikirannya kemana-mana, paling banyak mengganggu tidurnya malam itu, tentu membayangkan si Harto dengan kapal pesiar sialan itu membawa Suti keliling dunia sambil memamerkan tititnya kepadanya. Pikiran mengerikan itu bukan hanya mengganggu tidurnya, tapi pula mengganggu dunia kepenyairannya. Barok pikir, puisi tak membuat Suti jadi terpikat, apalah arti puisi jika dibandingkan dengan kapal pesiar. Haruskah ia membakar puisi yang selama ini ia buat dengan kerung di dahi? “Sial, puisi tak bisa membuat seseorang kenyang atau bahagia!” umpatnya ke langit asbes kamarnya yang sama-sama rapuh seperti dirinya sekarang.

Tanpa menjawab pesan Suti, ia memutuskan untuk pulang besok. Siapa tau jika ia mengungkap perasannya, ia bisa membuat Suti jatuh cinta dengannya atau kawin lari seperti di cerita-cerita cinta yang pernah ia baca. Persetan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang akan dibilang Suti, perasaan Barok terhadap Suti harus tuntas, dan ia harus segera pulang dan menemui Suti.

Kepulangannya memang bukan membawa prestasi atau titel sarjana, tapi kepulangannya membawa kesedihan yang akan ia tuntaskan segera. Jika kesedihan adalah sebuah penghargaan, pasti kini ia mendapat piala dan sertifikat sebagai pria paling menyedihkan se-Asia Tenggara. Sebab menurutnya, di dunia pasti ada banyak orang yang lebih menyedihkan, tapi karena Asia Tenggara semua orang terlihat menyedihkan, maka ia yakin, ia akan memenangkan penghargaan itu dan membawanya pulang menemui Suti. Meski kepulangan dengan pikiran kurang sehat itu, berakhir tak menyenangkan untuk hidup Barok dan masa depannya.

***

Tiga hari setelah tabrakan, matanya membelalak, melihat kain putih. Meski ia sadar bahwa itu bukan kain kafan melainkan gorden rumah sakit, ia nampak kecewa. Usaha Barok melukai diri sendiri tak membuatnya bertemu dengan Tuhan dan tenang tanpa memikirkan Suti dan Harto.

Setelah ia benar-benar sadar dalam waktu yang agak lama, ia melihat ke sekitar. Terpampang karangan bunga yang bisa dibilang jenis bunganya adalah bunga plastik yang biasanya dijual di Borma atau di perempatan lampu merah, beserta sebuah kertas undangan berkaligrafi dan berwarna tinta emas dengan judul: UNDANGAN PERNIKAHAN, Suti Nurlaeha & Harto Hartanto. Tanggal 6 Desember 2019.

Tak seperti sebelumnya, mendengar kabar yang telah pasti ini, Barok justru nampak tak bergairah lagi untuk marah. Beberapa lama berselang, ia akhirnya menyadari, selain hubungan dengan Suti telah putus, kemaluannya pun ikut putus, mungkin itu yang menyebabkan ia tak bergairah lagi dengan Suti atau bahkan dengan hidupnya sendiri. Dan kali ini ia benar-benar ingin menabrakan diri ke sebuah kendaraan yang bisa membunuh kesadarannya sekaligus. Ke kapal pesiar, misalnya.

Bandung, 2020


Ananda BintangTentang Penulis: Ananda Bintang adalah seorang pembelajar dan penikmat sastra yang kebetulan iseng baca dan nulis. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa. Sosial Media: Instagram @anandabintang.

 

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button