biem.co – Cerita ini berawal di pelataran RS Biru Langit, sebuah rumah sakit swasta di kota yang setiap hari dibelit kemacetan. Sebuah mobil Toyota Fortuner hitam masuk begitu gegas dengan lampu sein dinyalakan bersama, pertanda situasi darurat. Sekuriti rumah sakit menghubungi bagian penerimaan pasien melalui handy talky. Empat orang paramedis pria datang mendorong brankar untuk membawa pasien ke ruang ICU. Lelaki tambun dengan perut membuncit seperti ibu hamil dibopong keluar dari dalam mobil dan direbahkan di atas brankar, segera didorong ke dalam menuju ruang ICU. Tiga wanita berjilbab mengiringi di sisi kiri kanan brankar, tentu yang satu adalah istrinya dan yang dua orang adalah putrinya.
Berlatar ruang ICU, si istri ditenggelamkan bisu dengan raut wajah bersimbah was-was. Air mukanya terlihat kelabu, matching dengan jilbab abu-abu yang dikenakannya. Kedua putrinya terlihat sedikit tenang, sibuk dengan hapenya masing-masing. Yang satu mungkin mengirim pesan ke pihak keluarga ibu dan ayahnya serta saudara-saudara, mengabarkan ayah mereka tak sadarkan diri dan saat ini sudah masuk ICU RS Biru Langit. Yang satu melakukan pembicaraan di hapenya, barangkali dia sedang menerima panggilan telepon atau dia yang menelepon. Berkat adanya smartphone, menelepon atau mengirim kabar genting melalui pesan whatsapp, menjadi gampang dan cepat sampai ke nomor tujuan.
Baca Juga
Setelah dirawat di ruang ICU selama lima hari dalam keadaan koma, akhirnya lelaki tambun itu meninggal dunia pukul 03:25 WIB. Pagi hari, administrasi rumah sakit dan proses pemulangan jenazah diselesaikan. Di luar, mobil ambulans sudah stanby menunggu perintah untuk mengantarkannya pulang, biar segera dimakamkan. RS yang sering menolak pasien karena ruang perawatan selalu penuh itu begitu megah. Mulanya Rumah Bersalin, lalu dikembangkan menjadi RS tipe C, saat ini memiliki 3 gedung berlantai 4 dengan ruang rawat inap berbagai klasifikasi kelas dari VVIP sampai ekonomi tersedia. Didukung 98 dokter umum dan spesialis serta 216 tenaga medis bidan dan perawat.
Dari RS Biru Langit dengan nuansa cat yang sama dengan namanya dengan taman yang hijau dan asri, latar berpindah ke halaman rumah di Jalan Sawo Jajar 64. Rumah dua lantai gaya mediteranian bercat hijau muda itu sedang diliputi suasana dukacita. Jenazah yang tadi dibawa mobil ambulans, adalah Bapak Indra Diningrat, berusia sekitar 52 tahun. Meninggal dunia setelah lima hari koma di ruang ICU. Bendera kuning yang diikatkan di pagar enggan berkibar, seperti paham akan tugasnya, hanya memberi tanda bahwa di rumah tersebut sedang ada musibah kematian. Para pelayat berdatangan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker. Di pintu gerbang rumah disediakan wadah air dan sabun untuk cuci tangan.
Rukun Kematian dibantu warga sibuk menyiapkan proses penyempurnaan jenazah. Beberapa drum air untuk memandikan jenazah sudah disiapkan berikut sabun mandi, ada air yang dicampuri kapur barus dan ada air yang dicampuri pewangi. Beberapa orang ibu meronce irisan daun pandan dan kembang setaman. Ada yang menyiapkan kain kafan dipandu oleh ustad. Di luar ada kesibukan lain, memasang tarup dan menjajar-jajarkan kursi buat para pelayat yang direnggangkan untuk jaga jarak antara satu dengan yang lainnya. Warga yang melayat cepat datang karena informasi tentang berpulangnya beliau diumumkan bakda salat subuh tadi melalui pelantang masjid dan pesan whatsapp. Yang dari jauh pun begitu, jalan depan rumah sudah dipenuhi mobil parkir. Karangan bunga ucapan dukacita berdatangan, ditaruh berjajar di sisi pagar rumah.
Dari halaman rumah, latar berpindah ke ruang tengah rumah yang lapang dan di dindingnya tergantung banyak lukisan, dari yang naturalis sampai surealis. Dari abstrak ekspresionisme sampai kontemporer. Di situlah jenazah Pak Indra disemayamkan. Seorang anak lelaki sekira berumur 8 tahun dipeluk istri Pak Indra, namanya Rio Dinata. Di pipinya tersisa bekas sapuan air mata yang mengalir ke arah sudut bibirnya. Ia dipungut oleh keluarga Pak Indra setelah ibunya meninggal dunia saat ia berumur 1,5 tahun. Ayahnya pergi entah ke mana rimbanya ketika ia masih dalam perut ibunya. Pak Indra sangat menyayangi Rio, apalagi keinginannya untuk menambah anak tak bisa lagi setelah istrinya menjalani radical hysterectomy akibat kanker serviks.
Baca Juga
Rio sepertinya terpukul dengan meninggalnya Pak Indra. Di benaknya tentu terpeta Pak Indra adalah ayah kandungnya karena saat ia diboyong keluarga itu dirinya baru saja lancar berjalan dan bicara. Faktor ibunya yang sakit-sakitan pascamelahirkan membuatnya kurang terurus dan menderita gizi buruk, akibatnya perkembangan motoriknya mengalami hambatan. Tak ada jalan lain baginya untuk memetakan pengetahuan tentang asal usul dirinya, apalagi seusianya yang baru kelas 2 SD. Keinginan menambah anak dan dapat anak pungut laki-laki, terbuncahlah kebahagiaan Pak Indra. Kasih sayangnya tercurah tanpa batas terhadap anak itu. Tak hanya sandang pangan, sepeda dan aneka ragam permainan melimpah.
Tak hanya dari Pak Indra dan istrinya, Rio juga bermandikan kucuran kasih sayang dari kedua putri Pak Indra yang beranjak dewasa dan sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ditinggal orang tua berpulang untuk selamanya memang selalu melahirkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi kalau orang tua yang berpulang itu meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil. Rio Dinata mungkin belum begitu mengerti apa yang terjadi saat ibunya meninggal. Akan tetapi, tidak dengan yang dialaminya saat ini. Sosok jasad yang terbujur kaku di hadapannya, mengganggu kesadarannya tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Itulah sosok yang selama ini dipanggilnya ayah, dan akan hilang dari pandangannya untuk selamanya.
Berlatar potret diri Pak Indra yang ditaruh tepat di atas bagian kepalanya, dekapan erat istri Pak Indra ke tubuh Rio mengalirkan kekuatan untuk ikhlas menerima cobaan. Dekapan itu juga menyiratkan pesan semangat untuk melanjutkan hidup yang penuh tantangan. Lebih-lebih di masa pandemi Covid-19, tantangan terberat adalah menepis stigmatisasi buruk terhadap peristiwa kematian. Di masa pandemi Covid-19 ini, kematian disebabkan penyakit biasa pun akan dicurigai akibat Covid-19. Bisik-bisik tetangga dan obrolan di grup WA jadi momok menakutkan. Tapi, potret diri Pak Indra yang ganteng dengan kumis tebal dan sungging senyum, telah menjadi spirit tersendiri bagi istrinya, kedua putrinya, dan Rio Dinata yang terlihat gamang.
Kelebat kematian tajam bak kilatan petir. Mengincar siapa saja, menyambar dengan tangkas. Di masa pandemi, virus corona jadi penyambar nyawa tercepat. Musim pancaroba datang dengan membawa bibit penyakit yang bisa memangsa siapa saja. Typhus dan DBD menyatroni warga, mencari siapa yang pertahanan tubuhnya lemah langsung diserang. Pola hidup dan pola makan juga menjadi sebab seseorang rentan terkena serangan jantung tiba-tiba. Tubuh Pak Indra yang tambun dengan perut membuncit akibat obesitas sejak SD, sangat mungkin membuat jantungnya lemah dan akhirnya terjatuh saat sedang gowes sepeda. Dibawa ke RS dalam keadaan koma, meninggal dunia di ruang ICU lima hari kemudian.
Kemiling, 30/11/2020
Zabidi Yakub, lahir di Banding Agung Ranau, OKU Selatan, Sumsel, 28 Oktober 1961. Alumnus SMA Moeha Yogyakarta, AMP YKPN, dan UWG Malang. Bermukim di Bandar Lampung sejak 1994, bekerja di SKM TAMTAMA dan SKH LAMPUNG EKSPRES Plus. Buku yang sudah ditulis: (1). Sehirup Sekopi, sehimpun puisi dan catatan, diterbitkan Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung, 2018. (2). Antologi Rasa, sehimpun puisi masa pandemi, diterbitkan RFM Pramedia, Jember, 2020. Kontributor buku Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung, diterbitkan Dewan Kesenian Lampung, 2018. Karya lain berupa puisi, cerpen, esai, dan kolom terpublikasi di blog pribadi.