PELARIAN
Ketika kita bertemu, kau kenalkan diri sebagai hampa.
Aku tersenyum menyebut diriku sebagai dahaga.
Klub malam itu menampilkan lagu-lagu dandut
Minuman pada gelasku meninggalkan denyut
di kepala. Redup lampu di langit-langit
ruangan, orang-orang berjoget dan begitu genit.
Kugamit pinggangmu sebelum kakimu terpeleset
tubuhmu jatuh ke pelukanku dan lengket
malam itu. Sebuah sofa dalam ruang yang khusus
dan puluhan kupu-kupu pada kertas dinding,
melihatku seperti pengembara menemukan kantong air
untuk melunasi dahaganya. Kupenuhi kehampaanmu
dengan dengus kuda berlari di padang rumput.
Langit menyala-nyala oleh cahaya jantanku.
PAGI YANG MENAKJUBKAN
Pagi selalu membuat aku takjub pada embun
yang berkedip sebentar lalu hilang, lalu tampak
puting hari yang ranum dihamparkan kebun:
bunga-bunga, kupu-kupu, dan kicau perenjak
terdengar ketika angin sejuk membelai kulitku
di serambi. Bersama secangkir kopi, mataku
mengikuti matahari menyiramkan cahayanya,
jalan setapak mulai riuh di depan rumah
oleh suara anak-anak berangkat ke sekolah,
para petani melangkah tergesa-gesa ke sawah,
dan di kejauhan tampak punggung Sibualbuali
di mana orang-orang berladang menanam kopi
yang kuhirup pagi ini sambil mengenang waktu,
seluruh yang kuhabiskan selama perantauanku,
segala kesia-siaan yang tertinggal sebagai sesal
yang membuat jiwaku dan hatiku menjadi majal
untuk mengupas hidup yang sebentar. Segala
membuat jarak melebar, terasing dari kawanan,
dan pudar dalam ingatan teman-teman lama
yang ragu-ragu menghadapi masa depan
di kampung halaman. Aku hirup pagi dan kopi,
matahari mengulurkan tangannya yang hangat
ke halaman. Hari serupa manik-manik, kuuntai
serupa tasbih, dan kutemui kembali para kerabat
hingga segala jadi menankjubkan. Segalanya
hanya soal seberapa rela kau membagi waktu
kepada yang lain, seberapa iklas kau membuka
pintu bagi semua yang bernama tamu.
Baca Juga
PAROMPA SAUDUN DARI IBU
Kusebut ini parompa saudun, kutenun
dari serat-serat jiwa yang dipudun
bersama doa. Kubayangkan kau memakainya
dalam kehidupan berumah tangga
agar barokah. Sebab benang-benang manalu
kupakai merangkai ornamen dan tanda-tanda
bacalah makna di dalamnya. Ini seperti buku
yang merekam semesta, segala-galanya,
juga tentang yang terjadi dan sesuatu
yang segera terjadi dalam hidupmu.
Kuberikan ini untukmu dan jagalah
agar kau tahu cara memilah-pilah
antara yang utama dengan yang bisa ditunda
dalam hidupmu. Dan jangan tak percaya.
Parompa Saadun: Jenis kain ulos yang ditenun oleh Boru Saadun, putri seorang raja. Parompa Saadun diberikan oleh orang tua kepada anak gadisnya yang menikah.
TAFSIR ULOS
1
Hitam, merah tanah, dan putih
Kau melihatnya sebagai warna
Aku menyebutnya sebagai dunia:
Kelahiran, kehidupan, dan kematian
2
Mereka hanya akan bicara kain
Helai-helai benang yang ditenun
Tentu kau akan mengangguk
Membenarkan ulos yang kuberikan
Hanya sekadar hiasan
3
Ini memang selembar kain
Tidakkah kau lihat dia berbeda
Dengan kemeja dan jas yang kau pakai
Lihatlah ornamen dan tanda-tanda
Dan bacalah sebagai petuah
4
Ada jojak di bagian pembuka,
Dia bukan bekas kaki siapa pun,
Tapi kau akan pahami kalau dia
Mengarah menuju segi tiga sama
Kaki yang disebut pusuk robung.
Berhenti sekejab, kau tataplah
Ke lain bagian, ke kotak kubus
Yang mengingatkanmu pada rumah
di mana iram-iram jadi pagar
bagi bunga-bunga dan keriangan
yang mekar di dalamnya.
5
Kau tertawa seperti kuduga
Menyebut ulos itu buah tangan belaka
Baca Juga
PERANTAU (1)
Awan pagi menuruni lereng Sibualbuali
bersama angin yang menyengatkan dingin
ketika aku pergi dan menghilang dalam bus
yang membawaku ke negeri pengembaraan.
Tak ada yang melambaikan tangan padaku
dari jendela tak kulihat para kerabat
tak ada kata-kata nasehat bagi yang berangkat
tak ada yang akan kehilangan atas kepergianku.
Pergi sebagai perantau adalah tradisi
turun-temurun dilakukan. Hidup pertarungan
antara berhasil dan gagal tak terbayangkan.
Meninggalkan kampungku, matahari mulai bersinar
menit-menit berikutnya segala telah dimulai
sekali sudah pergi berpantang untuk kembali.
PERANTAU (2)
Aku pulang dari perantauan dan suara orang mengaji
lamat-lamat terdengar dari menara masjid. Jelang subuh
tiba di kampungku, udara menusukkan dingin
kurapatkan jaket dan memandang rumah masa kecil.
Halaman ditumbuhi rumpun mimosa, semak-belukar
barangkali telah jadi rumah bagi ular-ular.
tapi rindu adalah kesunyian yang dilepaskan waktu
aku terdiam dan meragukan alamat yang kuingat.
Aku buka gerbang halaman dan usahaku digagalkan
rantai besi bergembok. Kuberi salam dan suaraku
bergema, kembali padaku sebagai tanda tanya.
Seseorang menghampiriku dan menebak dari wajahku
detik berikutnya segalanya jadi terang benderang
telah sejak lama penghuni terakhir pergi mencari anaknya.
KAPUAS
Sungai ini hilang ditelan malam
di langit tidak ada bulan. bintang
tiada kerlap-kerlip, angin membawa
udara hutan-hutan yang ditebang
Malam dan bau karbon bersekutu
ketika kita bertemu. Di pinggir Kapuas
aku melihat ular besar merayap perlahan
dengan perut berisi kayu-kayu gelondongan.
Pontianak dan tongkang-tongkang
mengingatkanku pada kota yang dirampas
dari tangan pemiliknya. Dalam senyap
dan orang-orang tahu tapi tetap diam.
Semua demi kota yang belajar berias
seperti gadis belasan tahun mengulas
bibirnya. Segalanya tampak menjijikan
di air meliuk cahaya dari cafe-cafe
yang buka bagi muda-mudi bercinta
di luar nikah. Kafe di mana kita bertemu
dan kau bercerita tentang kutukan
bagi mereka yang meminum air sungai.
“Leluhurku dari Pulau Jawa telah dikutuk.”
Kau mengenangnya sebagai kastil kesedihan,
penjara duka lara, apa yang disebut transmigrasi
oleh pemerintah. Lalu anak-anak membaca
Kalimantan seakan berhadapan dengan buku tebal
Kau menyeruput kopi yang mulai dingin
pada pukul 20.00 Wib, lalu menggeleng:
“Kami tak akan pernah tamat membacanya.”
Baca Juga
SELAMAT TINGGAL
buat: r.a. giffarina
Kemudaanku
yang cemerlang
segera berlalu
Tiada padaku sesal
mengenalmu dan memilikimu
sekalipun tak ada waktu
untuk kau dan aku
Kita serupa dua keadaan
ibarat kau siang
dan aku adalah malam
Sebab kita di dua tempat
yang sebetulnya dekat
Tapi sesuatu dalam diri
membuat jarak tak tersukat
Aku tahu tak sulit menemuimu
Kutahu persis alamatmu
Tapi tak kunjung kutemu
pintu rumahmu
Tapi segera semua ini
akan aku lupakan
dan tiada lagi masa lalu
padaku
Masa depan untukku
adalah kematian
sebuah dunia yang lepas
dari duniamu
Tapi, sekali lagi,
tetap kuinginkan doamu,
seperti selalu kuminta padaNya
agar hidupmu dipenuhi cahaya
Bagiku,
ketuaan adalah tamu
yang ditunggu
ketukannya di pintu.
Tamu yang merekam segalanya,
segalanya sebagai cahaya
dari riwayatku
dan aku akan mengubahnya
jadi perahu
dalam perjalanku
Bila aku telah pergi,
riwayatku akan tinggal
dan berkerlap-kerlip.
Kerlap-kerlip riwayatku
membias dalam riwayatmu.
Semoga bercahaya nasibmu
bila kau percaya itu.
TANJUNG BALAI
Aku tampung kapal-kapal yang datang dari laut,
dan kuabaikan bau kelelahan yang melumuri
dinding-dindingnya. Tak kuhiraukan bendera kusut
pada tiang-tiangnya, tapi kuawasi para kelasi
diam-diam menurunkan peti-peti di dermaga,
memikulnya di bawah remang cahaya, menaruhnya
di gudang-gudang rahasia. Sebelum dicatat,
sebelum petugas tiba dan menerakan tanda cat.
Kulihat nahkoda telah turun ke dermaga, menghidu
aroma alkohol dan parfum perempuan yang meruapkan
persetubuhan. Di keda-kedai, di antara letih dan bau
sisik ikan, transaksi dibuka menuju kesepakatan,
lalu gelas diangkat dan musik dimainkan
di antara suara tertawa dalam perayaan kemenangan.
Aku dengar jerit yang lirih dari arah perkampungan
nelayan, seperti rasa sakit yang tak tertahankan,
semacam ada yang diiris dengan sangat lambat,
lepas dari rumah-rumah beratap rumbia di atas air
yang pasang. Tapi sebentar, jerit itu telah tercekat
di tenggorokan ketika tanah bergoyang atau mengalir
diamuk mariyuana. Tubuh anak-anak remaja tergeletak
seperti pakaian atau celana dalam yang lupa dicuci
di sudut ruangan. Di dalam ruang itu ada yang retak,
sesuatu yang tak akan bisa diperbaiki.
——————–
Tanjung Balai, kota pelabuhan di Sumatra Utara, salah satu pintu bagi masuknya barang-barang seludupan dari negeri tetangga.
Baca Juga
SAKUMPAL BONANG
Tak akan kau lihat lagi sungai
melenggok riang dari ulu hingga ke ilir,
sungai yang airnya bening bola
mata anak-anak menceburkan diri
di lubuknya.
Dan tak kau tahu ke mana perginya
ikan-ikan yang pernah kau tanggok
sepulang sekolah. Ikan-ikan bersarang
di bendungan kecil dekat kincir air,
di mana dulu ibumu menumbuk beras
jadi tepung membaluri pisang goreng
jualannya. Tapi kincir air itu telah dihancurkan,
dan hancur juga semua artefak kenangan
di sekitarnya.
Kau tahu sungai itu, dia datang dari ulu,
dari urat tanah yang rekah, lepas ke semesta
Katak-katak berpinak di tubuhnya
nyanyian katak di musim hujan meriuh rendah
Ikan-ikan menari di airnya, berkilauan
sisik-sisik ikan di air yang beriak.
Di permukaannya, sibar-sibar bergurau
sambil menarikan tarian lembut dan gemulai
dengan sepasang sayap seperti selendang.
Dan sepasang cici menyanyi di ranting dan batang
trembesi. Tapi pohon itu telah diganti tiang listrik
dengan kabel-kabel selalu menyetrum jantung
tiap bulan, dan mereka pasang iklan
yang merayumu jadi penghayal.
Di sini, kau temukan sakumpal bonang
hanya nama sebuah pasar,
menguarkan bau darah kering dari los daging,
hiruk dengan makian dan tipu daya pedagang
yang selalu berpikir miring.
Dan kau menolak menyimpan semua
dalam ingatan, atau menjaganya
sebagai kenangan: Sakumpal bonang,
hanya potret sungai yang hilang,
ditimbun kerakusan dan betapa semua ini
benar terjadi.
————————
Sakumpal Bonang, nama sebuah sungai di Kota Padang Sidempuan yang ditutup swasta dan diizinkan pemerintah, dan di atasnya dibangun sebuah bagunan pasar milik swasta.
BEGU
kami menghidupkanmu di mata air
agar tak seorang pun berani
mencemari telaga yang mengalir
dan menghidupkan kami. kami
menghidupkanmu di hutan belantara
agar tak seorang pun berani
menebangi pohon-pohon yang memberi kami
kesegaran dan udara. kami menghidupkanmu
dalam tatakrama agar tak seorang pun bicara
asal bersuara yang membuat hidup kami
diwarnai pertikaian dan perkelahian
kami menghidupkanmu, sekali lagi,
kami menghidupkanmu di dalam tradisi-budaya
sebab kami percaya pada segala ciptaanNya.
Catatan: Begu adalah mahluk mitologi dalam budaya masyarakat Batak, yang dibayangkan menghuni seluruh tempat yang berkaitan dengan hajat orang banyak. Begu dihidupkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Tentang Penulis: Budi Hatees, bekerja sebagai peneliti di Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Lampung Timur 2016-2023. Mantan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Menekuni dunia komunikasi dan media sebagai praktisi, trainer,konsultan, dan peneliti di Sahata Institute.
Karya-karyanya telah disiarkan di berbagai media. Esai-esainya diterbitkan dalam buku Tulisan yang Tak Enak Dibaca, Seri 1 (2008), Bila Tersangka Mendadak Saleh (2010), Ulat di Kebun Polri (2013), Antologi Esai Riau Pos (2014), Antologi Esai Riau Post (2015), dan lain sebagainya. Email: budi.hatees@gmail.com. Twitter: @budi_hatees.