biem.co — Betapa beruntungnya kita yang hidup di zaman ini. Segalanya serba mudah dan canggih. Mau meeting dengan teman/rekan kerja di berbagai daerah, atau bahkan di penjuru dunia misalnya, gampang saja kita wujudkan. Hemat biaya. Hemat waktu pula.
Demikian halnya dengan berbagai kemudahan yang kita peroleh untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Orang tak perlu lagi ke pasar atau supermarket untuk bisa mendapatkan barang/kebutuhan yang diinginkan karena teknologi telah memamerkan perannya dengan sempurna. Segalanya serba online. Sekarang pesan dan barang sudah di tangan beberapa jam kemudian. Luar biasa bukan?
Apa gerangan yang membuatnya seperti itu? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah majunya ilmu pengetahuan. Memasuki dekade ketiga abad 21 ini, kita memang telah dibawa ke dalam satu kayakinan bahwa hidup seolah tanpa batas dan tanpa jarak.
Namun, sesuatu yang tak terduga menyapa kehidupan kita. Pandemi akibat virus corona berhasil menumbangkan keyakinan itu. Hari-hari kita kini penuh dengan pergulatan dalam ruang-ruang yang berjarak. Bahwa ketiadaan batas dan jarak yang membersamai hidup kita zaman ini adalah benar. Namun, keberadaan batas dan jarak pada kenyataannya juga benar. Singkatnya, “batas dan jarak adalah kenyataan dalam ruang tanpa batas dan jarak”.
Sejak kemunculan virus corona awal tahun lalu, dunia—atau Indonesia secara spesifik—ada dalam lingkaran fenomena kekinian seperti yang saya katakan di atas. Hampir sebagian besar aktivitas kita terpaksa di pindah posisikan ke dalam ruang-ruang virtual. Sebut saja kegiatan belajar-mengajar bagi seorang pendidik seperti yang sedang saya lakoni sekarang. Peserta didik saya ada di Yogyakarta sementara saya di Banten. Sekali lagi, teknologi telah membuat kami seolah tak berjarak padahal sesungguhnya keberadaan kami berjarak.
Di satu sisi ini merupakan pilihan yang tepat di tengah pandemi yang kian hari makin merajalela. Namun, di sisi lain bagi profesi selain pendidik, tentu saja belum—jika kata “tidak” terlalu keras—merupakan pilihan yang tepat. Terutama mereka yang menekuni pekerjaan di sektor-sektor non-formal.
Saya tak bisa membayangkan tukang ojek, PKL atau lainnya harus tetap bertahan di rumah. Padahal secara umum kita tahu ladang rejeki mereka harus dijemput dengan cara ke luar rumah. Nah, di sinilah letak tantangan bagi para pemangku kebijakan, pemimpin-pemimpin agar serius berpikir untuk menemukan solusinya.
Fenomena lain yang muncul terkait respons kita terhadap virus corona adalah ketika salah satu lembaga resmi negara mengeluarkan kalung antivirus corona atau eucalyptus. Ini kejadian tahun lalu. Kalung ini telah dipercaya mampu membuat virus mematikan itu bertekuk lutut. Seumpama jimat penangkal bahaya. Lepas dari pro dan kontra soal kemujaraban kalung itu sendiri, saya menangkap bahwa apa yang nampak sebenarnya pernah menjadi kenyataan di masa lalu.
Saya masih ingat ketika masih kecil di kampung dulu, orang-orang tua seringkali membuat semacam “jimat” berupa kalung atau apa saja untuk putra-putri/keluarga yang akan sedang punya hajat / keinginan. Contoh, hendak mengikuti seleksi masuk jadi anggota TNI, ikut lomba lari sekian ratus meter, menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dan sebagainya.
Di sini saya tak ingin masuk lagi-lagi ke permasalahan mujarab atau tidaknya benda-benda tersebut. Status Eucalyptus telah melewati serangkaian uji klinis atau belum. Saya tak peduli dengan urusan itu. Yang ingin saya garis bawahi yakni kekinian pada hakekatnya tak bisa dilepaskan begitu saja dari kenyataan yang pernah ada masa lalu. Kalau kita agak jeli membaca situasi dan kondisi, maka ada banyak hal yang bisa kita jumpai dalam kehidupan modern hari ini, yang ketika ingin mencari solusi wajib rasanya untuk melihat-lihat kembali realitas di masa lampau.
Sejarah panjang bangsa kita tak lepas dari tragedi kelaparan/malapetaka akibat letusan gunung berapi. Misalnya, dampak global maupun lokal dari meletusnya gunung Tambora tahun 1815 atau Gunung Krakatau tahun 1883. Keduanya menyebabkan malapetaka besar dari sekian banyak bencana alam sepanjang sejarah Indonesia.
Menarik untuk diteladani bahwa dengan segala keterbatasan yang ada waktu itu, orang-orang terdahulu mampu bangkit mengumpulkan ulang sisa-sisa kehidupan paska bencana dahsyat tersebut. Semangat dan optimisme yang tinggi mereka, bahu membahu mereka, berjuang agar lepas dari keterpurukan adalah misi bersama dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang lain.
Sungguh tak terbayangkan cara mereka membangun koordinasi di tengah keterbatasan—katakanlah—jumlah kosa kata atau alat bantu lain. Distribusi bahan makanan, segala perlengkapan hidup, dan lain-lain. Walaupun memang ada yang tak bisa diselamatkan dari bencana tersebut, tapi semangat mereka untuk bangkit sangat patut kita jadikan pelajaran. Mereka sadar betul bahwa betapapun berat dan sulitnya situasi kala itu, hidup manusia harus berlanjut.
Lalu, bagaimana dengan hari ini? Sudahkah kita membuat refleksi-refleksi? Adakah semangat kebersamaan yang menjadi dasar kita bersikap di tengah pandemi ini? Adakah kesadaran yang tinggi dari masing-masing kita untuk tetap mematuhi protokol kesehatan demi memotong rantai penyebaran virus ini? Terkhusus para pemangku amanat rakyat, sudah benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik?
Kita sadar bahwa bedanya pandemi ini dengan pandemi sebelumnya yakni pandemi ini hadir di era digital/sosial media. Di mana berita-berita bohong terkait virus corona lebih cepat menyebarnya ketimbang virus itu sendiri. Namun, dengan mentalitas yang positif kita bisa sama-sama meredam fenomena tersebut. Dan semua akan terasa mudah selama kita fokus sekaligus sadar akan peran masing-masing. Saya tahu masih banyak yang harus diselesaikan. Kerja sama antara negara, sektor swasta, hingga masyarakat sipil sangatlah penting.
Terakhir, realitas kekinian sulit rasanya untuk dipisahkan dengan kenyataan masa lalu. Oleh sebab itu, perlu rasanya kita belajar darinya. Sekali lagi, betapa pun beratnya ujian, hidup manusia harus terus berlanjut. Mumpung masih dalam suasana pergantian tahun, mari kita songsong kehidupan di tahun ini dengan penuh optimis sekalipun situasi dan kondisi ke depan—bisa jadi—lebih tidak terduga. (*)
Muhammad Hidayat Chaidir, pendidik asal Dompu, tinggal di Cilegon.