biem.co – Sobat biem, Pemerintah resmi membubarkan dan melarang segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi dan organisasi masyarakat (ormas). Hal itu diumumkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD dalam konferensi pers, Rabu (30/12/2020).
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI, Munafrizal Manan angkat bicara. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah tidak dapat dibenarkan karena pembubaran organisasi harus melalui mekanisme proses peradilan (due process of law) bukan hanya berdasarkan asas contrarius actus.
“Dalam perspektif HAM, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,” katanya dikutip dari komnasham.go.id.
Munafrizal mengungkapkan, hal itu terkait dengan right to freedom of association sebagai negative rights yang bermakna negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi penikmatan atas hak tersebut serta disebut sebagai positive obligation di mana negara wajib memastikan semua warga negara menikmati hak itu.
“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis, kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis,” tambahnya.
Lebih lanjut, Munafrizal mengatakan, hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat.
“Pembatasan tidak boleh dimaksudkan untuk mereduksi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Pembatasan itu pertama harus diatur oleh hukum, kemudian ada juga kalimat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Jadi keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,” tutur Munafrizal.
Ia menjelaskan, berdasarkan prinsip due process of law, suatu organisasi yang melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan publik, atau membahayakan keamanan negara dapat dibubarkan melalui proses pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.
Munafrizal juga berpandangan jika Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang berwatak represif.
“Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun cenderung mengebiri kedaulatan rakyat. UU ini dibentuk dengan maksud untuk menerapkan sanksi yang efektif terhadap Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana,” sambungnya.
Karena hal tersebut, Ia menilai masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat tidak boleh diamini.
“Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita Negara hukum dan Negara demokratis. Hubungan Negara masyarakat, dalam konteks yang ideal demokratis dapat mencapai titik equilibrium di mana tidak boleh ada Negara yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi. Namun tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari Negara karena akan melahirkan vandalism dan anarkisme,” tandasnya. (Eys)