biem.co — Pada November 2020 lalu, pihak Direktorat Jenderal Imigrasi yang bernaung dibawah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Republik Indonesia merilis kebijakan pengaktifan layanan Calling Visa untuk pemegang paspor dan warga negara Israel. Tak pelak, kebijakan ini menimbulkan beragama respons, yang teranyar kebijakan ini kerap dikaitkan dengan usaha membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.
Perlu diketahui, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel sejak pertama kali mengumandangkan kemerdekaannya. Hal ini berakar dari dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina yang belum tercapai penuh sebab terdapat rintangan dari eksistensi Israel yang kerap “mencaplok” wilayah otoritas Palestina sehingga Israel kerap dianggap sebagai pelaku kolonialisme.
Semangat antikolonialisme bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 menumbuhkan sikap “enggan” berhubungan dengan Israel sampai Palestina mendapatkan kemerdekaannya secara penuh.
Selanjutnya, kebijakan Calling Visa sendiri merupakan sebuah fasilitas visa yang dikeluarkan oleh suatu negara untuk memberi izin pemegang paspor dari negara-negara lainnya yang memiliki aspek kerawanan tertentu seperti aspek politik, keamanan, dan hal lainnya. Untuk Israel sendiri, pernah dikeluarkan oleh Kemenkumham pada tahun 2012.
Hal ini diangkat oleh Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut, seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (red: kini Menteri Agama). Kebijakan Calling Visa kali ini bukan untuk membuka hubungan diplomatik, melainkan untuk mengakomodasi kebutuhan antarkedua warga negaranya seperti adanya pasangan kawin campur kedua warga negaranya dan hal lainnya termasuk ihwal bisnis dengan persyaratan dan sistem seleksi yang ketat.
Jika memang Indonesia belum mau untuk membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel karena semangat antikolonialisme dan dukungan untuk kemerdekaan Palestina, lantas hal apa saja yang sebenarnya bisa menjadi manfaat bagi Indonesia dengan membuka pintu diplomasi untuk Israel?
Pertama, Indonesia dapat menjadi pihak yang lebih proaktif dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan memiliki pengetahuan yang cukup dan komprehensif berdasarkan sudut pandang kedua negara yang bertikai. Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Wakil Presiden Indonesia ke 10 & 12, Jusuf Kalla yang menyatakan, “We can’t be a mediator if we don’t know Israel. We must be close with both Israel and Palestine.”. Untuk itu, diperlukan upaya awal yang matang untuk memetakan strategi Israel dan pemerintahan yang duduk mengisinya.
Kedua, urusan teknologi yang cukup menjanjikan di antara kedua negara. Israel sendiri memang dikenal sebagai negara yang masyhur dalam pengembangan teknologi, khususnya pertanian. Dilansir dari laman berita Israel21c, beberapa teknologi agrikultur Israel pun mendunia dan bermanfaat seperti AgriTask yang menawarkan program pertanian terintegrasi seperti pengambilan gambar, stasiun cuaca, dan sensor lahan pertanian yang diakses dalam satu aplikasi ponsel pintar.
Teknologi lainnya dihasilkan oleh Tal-Ya Water Technology, yaitu dengan membuat penampan plastik daur ulang yang bertugas untuk mengumpulkan embun-embun di udara sehingga dapat digunakan ketika sudah berubah air untuk mengairi area pertanian. Hal tersebut memberi manfaat pengurangan penggunaan air yang didapat secara konvensional hingga 50 persen.
Teknologi-teknologi agrikultur tersebut dapat membantu para petani di negara agraris seperti Indonesia. Semangat optimisme dalam membangun produk-produk agrikultur Indonesia supaya mendunia perlu dibarengi dengan pembudayaan pertanian yang efektif dan efisien sehingga membangun kepercayaan masyarakat dunia atas produk Indonesia ditengah persaingan dengan produk negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang sudah lebih dulu melanglang buana.
Ketiga, ada dimensi perdagangan dan transaksi bisnis lainnya. Pada 2016, David Shanam dalam Times of Israel menuliskan bahwa terdapat kerja sama secara tersembunyi antara pihak Indonesia-Israel dalam rangka memenuhi kebutuhannya masing-masing. Israel mendatangkan teknologi-teknologi mutakhir ke Indonesia dan Indonesia mendatangkan komoditas ekspor unggulannya. Data dari Kementerian Ekonomi Israel saat itu menyebutkan bahwa nilai transaksi perdagangan kedua negara ini bernilai ratusan juta dolar AS per tahun.
Apabila peresmian hubungan diplomatik antarkedua negara telah “gol” nantinya, keadaan neraca dan transaksi perdagangan kedua negara diperkirakan akan tumbuh subur dan menguntungkan keduanya dengan mekanisme yang lebih mudah dan terbuka tanpa harus sembunyi-sembunyi.
Keempat, ihwal pariwisata kedua negara yang memiliki prospek cerah. Hampir setiap tahunnya, umat kristiani Indonesia melakukan rangkaian kunjungan ziarah dan spiritual ke Israel. Selain itu, ditemukan beberapa data lainnya yang mencatat turis Indonesia melakukan wisata kesehatan di sana. Data yang dilansir dari Kementerian Pariwisata Israel tahun 2018 mencatat 18.500 turis Indonesia masuk ke Israel, sedangkan 500 warga negara Israel tercatat masuk ke Indonesia setiap tahun melalui kegiatan paket wisata yang visanya dapat diklaim secara berkelompok melalui instansi terkait di Singapura.
Perlu diakui, karena sulitnya akses visa bagi warga negara Israel untuk ke Indonesia dan tidak masifnya usaha promosi wisata Indonesia di Israel mengakibatkan daya tarik wisata Indonesia tidak seharum di negara lain seperti Australia, Cina, dan Jepang. Dengan terbukanya pintu diplomasi antara kedua negara, sektor pariwisata pun akan berimbas positif. Terlebih, pemerintah Indonesia telah mencanangkan berbagai destinasi wisata lain untuk menganekaragamkan atraksi wisata Indonesia sehingga berkesan dan meninggalkan pengalaman yang sukar ditemukan di negara asal turis.
Sebenarnya masih banyak kemungkinan hal yang dapat terjadi dengan terbukanya hubungan diplomatik Indonesia-Israel seperti kerja sama pertahanan dan industrinya hingga pengembangan sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasional. Namun, sifat kukuh Indonesia untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Palestina sepenuhnya memudarkan terbukanya pintu-pintu hubungan diplomatik kedua negara.
Perjanjian damai yang belum rampung antara Palestina-Israel membuat Indonesia akan terus memprioritaskan Palestina dibandingkan Israel. Meskipun skema two-state solution telah ditelurkan, pihak masih ada pihak didalam tubuh keduanya yang merasa tidak puas dengan skema yang diberikan sehingga menelurkan pekerjaan rumah untuk dunia internasional, termasuk Indonesia untuk menghasilkan kesepakatan yang memastikan kedua belah pihak tidak dirugikan dan tidak ada paksaan dalam menyetujuinya. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII).