Opini

Anggian Lasmarito: Perempuan dan Imajinasi Seks yang Patriarkhal

biem.co — Menurutmu seks itu apa? Sepenting apa sih seks buat kamu? Eh kamu udah pernah orgasme belum? Hmm memang menurutmu orgasme itu apa? Sebentar deh, memangnya kita bicara soal seks begini gak saru?

Berawal dari rasa gelisah, timbulah pertanyaan-pertanyaan di atas yang mendorong saya membuat tulisan ini. Apa yang membuat gelisah? Bicara tentang seks, ibarat rujak yang terdiri berbagai macam buah plus sambal kacang yang menggoda selera, seks pun mengundang berbagai macam pandangan dan kontroversi tersendiri, ada yang berani membicarakan secara terbuka, tetapi tidak sedikit yang malu-malu bicara karena dianggap tabu. Seperti rujak yang dominan pedas, di Indonesia kata ‘seks’ dominan masih berkonotasi negatif. Tidak heran, pendidikan seks di kalangan anak muda masih belum familiar di negara ini. Pemahaman masyarakat yang sempit, yang mengira seks hanya soal bersetubuh, membuatnya dianggap tidak jauh dari kesan pornografi. Alhasil, pembicaraan terkait seks seringkali dibenturkan dengan nilai-nilai moralitas.

Fenomena diatas, dalam potret buku Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terbungkam, karya Endah Sulistiyowati disebabkan pola pikir binari di masyarakat yang menjadi salah satu alasan mengapa obrolan perihal seks masih dianggap tabu. Pola pikir binari sendiri merupakan pola pikir yang memperlihatkan sesuatu sebagai yang baik, yang sewajarnya dan alamiah, namun dengan menegasikan dan menegatifkan yang lain sebagai sesuatu yang tidak baik, tidak wajar dan tidak alami serta tidak mulia. Maka, dalam konteks ini, seks masih dikategorikan dalam sesuatu yang tidak baik atau tidak wajar sehingga diasingkan dan dianggap negatif. Menariknya, pola pikir binari antara laki-laki dan perempuan khususnya dikalangan anak usia muda berbeda.

Sebelum menulis ini saya memutuskan untuk berdiskusi dengan beberapa kawan-kawan secara acak mengenai topik seks. Kawan yang saya ajak berdiskusi berasal dari latar belakang pendidikan, budaya, agama dan jenis kelamin yang berbeda-beda di rentang usia 23-25 tahun. Sejak awal saya sudah meyakini bahwa mereka akan memiliki pandangan yang beragam dalam melihat seks. Dengan pertanyaan “pemanasan” tentang apa itu seks menurut mu? Jawaban yang didapat cukup beragam. Bagi mereka, seks bukan hanya tentang hubungan badan atau reproduksi antar dua orang semata. Lebih dari itu, seks melibatkan banyak hal yang membuatnya tidak bisa dipandang secara sederhana. Sebab, ada unsur agama, moralitas, perasaan, budaya dan nilai-nilai lainnya yang dipercayai oleh khalayak. Menariknya, ternyata ada perbedaan yang cukup signifikan antara respon teman laki-laki dengan teman perempuan ketika mereka saya ajak berdiskusi mengenai isu seks ini. Teman laki-laki dominan terlihat lebih berani dan terbuka ketika membicarakan soal seks. “Yang pasti seks itu harus menyenangkan dan enak, karena buat aku salah satu tujuan seks adalah pelarianku untuk menghilangkan rasa stress baik itu seks dengan pasangan atau yang kulakukan sendirian. Mungkin secara sederhana aku bisa bilang seks itu salah satu nikmat Tuhan yang gak boleh kita lewatkan.” adalah salah satu jawaban blak-blakan dari teman laki-laki. Sebaliknya, sebagian besar teman perempuan saya cenderung lebih ragu dan malu-malu membicarakan masalah seks. Banyak dari mereka yang justru merasa bingung karena tidak biasa membicarakan persoalan ini. “Aduh aku bingung kalau ditanya soal ini, gimana ya? Intinya seks itu hubungan intim yang dilakukan oleh dua orang kan?” jawab salah satu teman perempuan dengan nada suara yang terdengar ragu. Bahkan ada teman perempuan yang tidak memberikan jawaban dan hanya membalas pertanyaan saya dengan tawa.

Dari sana kemudian saya melihat bahwa ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan ketika berbicara soal seks. Mengapa perempuan seolah tidak bisa sebebas laki-laki dalam bicara dan mengekspresikan seksualitas mereka? Perempuan yang secara sadar bahwa mereka memang tidak punya ruang seksual seluas laki-laki untuk bisa membicarakan soal seks atau laki- laki yang sejak awal sudah memberikan penegasan bahwa perempuan tidak seharusnya secara bebas bicara masalah seks? Ini kemudian yang membuat saya berpikir bahwa dominasi maskulinitas yang menjadi salah satu alasan terjadinya hal demikian. Hegemoni gender yang dominan seperti ini dikonstruksi dan terus dilanggengkan oleh masyarakat melalui berbagai macam pendekatan seperti budaya, agama, sosial, politik maupun media. Beberapa teman perempuan bahkan mengakui bahwa mereka memang tidak pernah bisa seberani laki-laki dalam membahas masalah seks. “Gak enakan aja gitu kalo terlalu blak-blakan ngomongin soal seks, bahasan ini kan masih tabu di kita jadi masih takut aja nanti malah dikira cewek gak bener” adalah pengakuan salah satu teman perempuan ketika saya tanyai mengapa mereka merasa tidak bebas ketika membicarakan topik mengenai seks.

Karena adanya pola pikir binari yang melihat sesuatu sebagai yang baik dan tidak baik, maka masyarakat secara sadar maupun tidak akan selalu melakukan pengawasan kepada lingkungan sekitar mereka. Meminjam definisi dari buku Seksualitas di Indonesia karya Linda Rae Banne dkk, pengawasan sendiri bisa diartikan sebagai pemantauan yang sitematis terhadap orang sehingga mereka bisa mengendalikan perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai baik yang telah disepakati. Pihak-pihak yang melakukan pengawasan ini biasanya akan merasa bahwa mereka memiliki kuasa untuk membentuk perilaku orang lain. Sayangnya, perempuan sering menjadi objek pengawasan mulai dari cara berpakaian, pola pikir termasuk “mempasifkan” ekspresi seksualitas mereka. Biasanya pengawasan ini dilakukan dengan penciptaan akan rasa malu. Alhasil, tidak heran jika perempuan akan merasa malu ketika mereka terlalu terbuka dalam membicarakan seksualitasnya, perempuan dibuat harus mematuhi aturan feminitas agar bisa terhindar dari hal-hal yang menimbulkan rasa malu sedangkan laki-laki jauh lebih dibebaskan bahkan dianggap memang seharusnya begitu untuk bisa menunjukan sisi maskulinitas mereka.

Ketabuan perempuan terhadap seksualitas lebih dalam bisa kita lihat ketika bicara tentang orgasme. Orgasme adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan seksualitas, beberapa orang bahkan menyatakan bahwa seks tanpa orgasme adalah sebuah kesia-siaan. Pembahasan mengenai orgasme ini juga saya bawa sebagai bahan diskusi dengan beberapa kawan dan lagi-lagi jawaban dari mereka beragam bahkan ada yang diluar dugaan saya. Ketika saya menanyakan apa makna orgasme bagi mereka, sebagian besar kawan laki-laki menjelaskan tanpa rasa malu bahwa orgasme adalah titik puncak kenikmatan ketika melakukan hubungan seksual. Namun beberapa teman perempuan lagi-lagi ada merasa malu dan sungkah membahas hal ini. Kemudian, ketika saya melontarkan pertanyaan mengenai apakah mereka sudah pernah merasakan orgasme, hampir semua teman laki-laki menjawab sudah pernah baik itu didapatkan dengan pasangan mereka ataupun sendirian. Akan tetapi hampir tidak ada teman perempuan yang menjawab sudah bahkan sebagian dari mereka bertanya balik “Bukannya orgasme itu cuma bisa dirasain kalo kita lagi melakukan hubungan seks dengan pasangan? Aku kan belum pernah begitu ya jadi gak tau rasanya orgasme itu seperti apa.”

Saya kembali melihat adanya ketimpangan yang cukup jelas antara laki-laki dan perempuan dalam  memahami dan bicara  mengenai orgasme.  Mengutip dari Kompas.com bahwa hanya 29% perempuan yang mampu merasakan orgasme ketika melakukan hubungan intim dengan pasangannya sedangkan ada sebanyak 75% laki-laki yang mencapai titik puncak. Bahkan hasil penelitian milik Debby Herbenick tahun 2019 lalu menemukan sebanyak 58% perempuan yang melakukan orgasme palsu karena merasa tidak bisa jujur ​​dan terbuka dengan pasangannya mengenai apa yang diinginkannya di dalam hubungan seks tersebut. Lebih jauh lagi, mengutip hasil penelitian yang dilakukan Firliana Purwanti yang dituangkannya dalam bukunya berjudul The ‘O’ Project dia menemukan bahwa ada beberapa perempuan yang menjadi narasumbernya dengan berbagai macam latar belakang budaya dan pekerjaan yang ternyata meski sudah pernah melakukan hubungan seksual akan tetapi tidak merasakan titik puncak kepuasan atau yang pada tulisan ini disebut dengan orgasme. Ada banyak alasan yang membuat mereka gagal merasakan orgasme seperti suasana seks yang kurang membuat nyaman atau pasangan mereka yang gagal menemukan titik rangsang di tubuh mereka.

Bukankah ini menunjukan kepada kita bahwa orgasme ternyata masih menjadi sesuatu yang tabu dan jauh dari perempuan serta ditakdirkan hanya untuk laki-laki. Padahal ketika melakukan hubungan seksual bukankah ada dua orang yang terlibat di dalam sana yakni laki-laki dan perempuan? Dan bukankah seharusnya kedua belah pihak sama-sama merasakan kenikmatan dan kepuasan dari hubungan tersebut? Lantas kenapa hanya laki-laki yang selalu berhasil mencapai puncak kenikmatan ketika melakukan hubungan intim? Standar baik dan tidak yang selama ini diciptakan oleh masyrakat berhasil membuat perempuan takut untuk terbuka bicara dan mengekspresikan seksualitas mereka salah satunya perihal orgasme. Maka bukan hal yang mengejutkan lagi ketika perempuan acapkali gagal mencapai titik orgasmenya.

Tapi apakah hal ini seterusnya akan kita biarkan begitu saja? Apakah selamanya kenikmatan seksual pada perempuan yang akan dibisukan dan dianggap tidak perlu ada? Hasil diskusi saya dengan teman-teman juga menunjukan sebagian besar dari mereka menyetujui bahwa orgasme pada kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan ketika melakukan hubungan intim merupakan sebuah keharusan. Bagi mereka baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan seksual dan menjadi keharusan adanya keterbukaan dan komunikasi yang jelas diantara keduanya mengenai hal-hal yang mereka inginkan ketika melakukan hubungan seks guna mencapai orgasme. “Aku bener-bener gak berpikiran hubungan seks itu kaya gagah-gagahan atau hebat-hebatan. Seks ya seks, dua-duanya harus happy, dua-duanya harus bisa ngerasain nikmatnya orgasme.” Ucap salah seorang teman laki-laki saya secara tegas.

Dari sana akhirnya saya menyimpulkan bahwa sudah semestinya kita menciptakan imajinasi seks yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan. Pembicaraan mengenai seks dan segala hal yang ada di dalamnya bukan hanya milik laki-laki, dan persoalan seks ini semestinya tidak dikaitkan dengan baik atau buruknya sikap seseorang. Seperti laki-laki, perempuan juga memiliki kebutuhan biologis yang sama salah satunya adalah hubungan seks, ketika mereka berani terbuka dan memahami betul mengenai tubuh dan konsep seksualitas mereka maka bukan berarti mereka adalah perempuan yang buruk yang dianggap menyalahi nilai-nilai susila. Penting juga bagi para perempuan baik yang masih single atau sudah memiliki pasangan untuk bisa memahami tubuh mereka seperti apa dan hak-hak apa yang pantas mereka dapatkan ketika mereka sutuju untuk melakukan hubungan seksual, dengan begitu perempuan akan secara  tegas menolak bahwa tubuh mereka hanyalah objek semata dan meyakini bahwa mereka punya kuasa atas tubuhnya sendiri. Berhasilnya perempuan merasakan orgasme ketika melakukan hubungan seksual bukan hanya persoalan mengejar titik puncak kenikmatan saja melainkan lebih dari itu yakni bahwa perempuan berarti secara sadar dan berani mau mendobrak pakem dominasi laki-laki atas tubuh perempuan yang selama ini dipelihara di masyarakat. (*)


Penulis adalah alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button