Opini

Catur Nugroho: Demokrasi, Korupsi dan Kolusi

“Sistem koneksi, sistem family merajalela di setiap instansi…”

Sepenggal lirik dari lagu Krisis Pemuda yang dinyanyikan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) di era 80-an tersebut hingga sekarang masih sangat relevan dengan kondisi di Indonesia. Ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo atas dugaan suap ekspor benih lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian  disusul ditangkapnya Walikota Cimahi Ajay M. Priatna dan terakhir Menteri Sosial Juliari P. Batubara menambah daftar panjang pejabat negara yang tersandung kasus korupsi. Sejak negara ini berdiri dan memilih demokrasi sebagai sistem untuk menjalankan kehidupan negara dan roda pemerintahan, kasus korupsi seakan tidak pernah berhenti. Ketika gerakan mahasiswa tahun 1998, isu utama yang diusung untuk memprotes pemerintahan Soeharto adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Demokrasi menjadi identik dengan korupsi dan kolusi akibat perilaku buruk para pemegang kuasa yang diikuti oleh aparat negara dan rakyatnya.

Korupsi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. Sedangkan definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001   tentang   Pemberantasan   Tindak   Pidana Korupsi, dirumuskan  ke dalam  30  bentuk atau jenis  tindak  pidana  korupsi. Bentuk tindak pidana korupsi tersebut dikelompokkan dalam beberapa sifat dan perbuatan seperti kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan   dalam   jabatan, pemerasan, perbuatan   curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Dari penjelasan tersebut sebenarnya sudah sangat jelas beberapa tindakan dan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Namun masih sangat banyak oknum pejabat dan penyelenggara negara yang menggunakan kuasa dan jabatannya untuk kepentingan individu dan kelompoknya dengan melanggar peraturan dan moral. Korupsi biasanya diawali dari adanya koneksi antar individu yang menjalin kerja sama rahasia atau persekongkolan untuk maksud yang tidak terpuji (kolusi) dan merugikan kepentingan publik. Pelaku korupsi tidak mungkin dapat melakukan tindakan penyelewengan tanpa adanya bantuan atau kerjasama dengan pihak-pihak lain. Menteri KKP dan Mensos yang menjadi tersangka korupsi tidak akan dapat melakukan tindakan menerima suap tanpa bantuan dan kerjasama dari aparat negara dan pihak swasta yang memberikan suap.

Korupsi sampai saat ini telah menjadi penyakit bagi masyarakat karena orang-orang yang terlibat korupsi adalah orang-orang yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Koruptor di Indonesia kebanyakan adalah para pejabat negara yang terpilih karena janji mereka kepada rakyat, mereka terpelajar maka seharusnya berpengetahuan tinggi, dan sebelum mereka menjalankan tugas, mereka juga telah disumpah atasa nama Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tapi kasus korupsi masih saja hidup di Indonesia hingga kini. Benarkah bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa Indonesia yang sulit untuk dihilangkan?

Sistem demokrasi yang menjamin peran dan partisipasi warga negara dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara mampu memberikan saluran partisipatif, namun pada titik yang lain juga membuka celah bagi terciptanya satu sistem yang korup. Ketika eksekutif, legislatif dan yudikatif telah dimasuki virus korupsi, maka demokrasi seolah menjadi lahan subur untuk tumbuhnya perilaku-perilaku koruptif. Tak hanya dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara, perilaku koruptif juga hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Melanggar peraturan lalu lintas, menggunakan lahan yang bukan hak miliknya, membuang sampah di sembarang tempat, menyerobot antrean di bank, adalah contoh perilaku koruptif yang sampai sekarang masih dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan di sekitar kita.

Suap menyuap dan gratifikasi menjadi salah satu perilaku korupsi yang banyak menimpa para pejabat, pengusaha dan juga para wakil rakyat. Gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 dengan membawa jargon anti-KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) nyatanya tak menghilangkan perilaku tercela tersebut. Bahkan justru semakin tumbuh subur seiring berlakunya desentralisasi kekuasaan, dimana terjadi pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah di daerah-daerah. Kolusi yang menjadi awal terjadinya korupsi semakin berkembang seiring diterimanya “kue kekuasaan” oleh para pemimpin daerah.

Politik kekerabatan yang melibatkan orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan daerah dan pusat menjadi hal yang dianggap lumrah di era demokrasi deliberatif di Indonesia. Dengan dalih “hak warga negara” untuk berpartisipasi dalam pengelolaan negara dan pemerintahan, “koncoisme” atau kolusi dalam bentuk politik kekerabatan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan pada satu keluarga atau kelompok tertentu. Ketika seorang kepala daerah telah menjabat dua periode, maka menjadi hal yang wajar ketika kemudian istri, anak, atau menantu yang kemudian maju untuk bertarung dalam Pilkada dan menggantikan pejabat sebelumnya. Dengan sumberdaya ekonomi yang kuat, ditopang popularitas sebagai keluarga pejabat dan diperkuat dengan jaringan politik keluarga, maka politik kekerabatan menjadi semakin kuat di berbagai daerah.

Pilkada langsung tahun 2020 akan berlangsung bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember terselenggara di 270 wilayah seluruh Indonesia, terdiri dari 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Politik kekerabatan menjadi hal lumrah dari kontestasi politik daerah tahun ini. Tak sedikit para calon pemimpin daerah yang bertarung adalah kerabat atau keluarga dari pemimpin politik di daerah maupun pusat. Tak kurang dari istri Bupati atau Walikota, keponakan Menteri, anak Wakil Presiden hingga anak dan menantu Presiden maju dalam kontestasi politik daerah yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19.

Mungkin secara hukum formal tidak ada yang dilanggar dari politik kekerabatan ini. Namun, ketika Bupati atau Walikota, anggota DPRD, dan Sekda beserta perangkat ASN dijabat oleh orang-orang yang masih dalam satu garis keturunan (trah), maka sirkulasi kekuasaan cenderung macet. Politik kekerabatan juga cenderung menumbuh kembangkan “koncoisme”, dan mengurangi mekanisme check and balance yang seharusnya dapat berjalan dengan baik ketika antara eksekutif dan legislatif saling mengingatkan. Benturan kepentingan dan persekongkolan yang menjadi awal tindak korupsi ketika politik kekerabatan berjalan akan sangat mungkin terjadi.  Hal ini yang akan semakin mendekatkan demokrasi dengan korupsi, dimana sistem partisipatif justru mengembangkan sistem koneksi dan kekuasaan yang dikuasai famili.


Penulis adalah Dosen Telkom University Bandung, Peneliti Utama Indonesia Political Opinion (IPO).

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button