Kabar

CLSA FH Untirta Gelar Dialog Publik Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

KOTA SERANG, biem.coSobat biem, Criminal Law Student Association (CLSA) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menyelenggarakan dialog publik ‘Kekerasan Seksual terhadap Perempuan’, Sabtu (5/12/2020).

Diketahui, dialog yang diikuti 300 partisipan lebih dan dimoderatori Dosen FH Untirta, Aliyth Prakarsa ini digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Dalam kesempatan itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Tiasri Wiandani mengisahkan sejarah yang melatarbelakangi berdirinya Komnas Perempuan. Ia mengatakan, hal itu bermula dari adanya tuntutan masyarakat terhadap tanggung jawab atas kekerasan seksual yang mendera perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998.

“Komnas Perempuan dibentuk untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM),” ujarnya.

Menurutnya, tujuan Komnas Perempuan sendiri hingga kini belum tercapai secara maksimal. Pasalnya, masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Ia melaporkan, sepanjang tahun 2019, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia.

“Didapatkan pula pada sepanjang tahun 2020 terdapat pengaduan langsung kepada Komnas Perempuan sebanyak 1.398, dan juga berdasarkan peningkatakan kasus yang terjadi pada sepanjang tahun 2019 terjadi peningkatan sebanyak 300 persen,” ungkapnya.

Di sisi lain, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Dede Kania menyebut, perumusan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam hukum pidana yang banyak terjadi adalah pelecehan seksual dan perkosaan.

“Berbicara mengenai pelecehan seksual dan perkosaan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana memandangnya ialah kejahatan terhadap kesusilaan. Penyempitan pengertian kesusilaan dalam KUHP, bahwa delik susila hanya ada apabila kehormatan, kesusilaan, kesopanan terserang secara terbuka di muka umum, sebagaian ketentuan yang berhubungan dengan kejahatan seksual dalam KUHP mengalami penyempitan dan obyektifikasi perempuan hanya sebatas pada bagian tertentu dari tubuhnya,” terang Dede.

Kendati demikian diungkapkan Dede, Undang-undang yang berisikan perlindungan terhadap perempuan dirasa masih sangat minim dalam memberikan perlindungannya.

“Hal ini dibuktikan pada Pasal 285 KUHP hanya mengatur perkosaan di luar perkawinan, padahal kasus material rape banyak terjadi,” tandasnya.

Hal senada diungkapkan Dosen FH Untirta, Rena Yulia. Menurutnya, penegakan hukum mengenai perlindungan korban kekerasan seksual yang seharusnya dilindungi dalam mencari keadilan kerap bertentangan dengan prosesnya.

“Peran korban dalam kekerasan seksual jika melihat pada Sistem Peradilan Pidana masih sulit diimplementasikan karena korban hanya dijadikan saksi. Ditambah dari pemeriksaan Kepolisian, korban seringkali diajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, membuat korban menjadi malu untuk melapor karena data/bahwa dirinya telah dilecehkan terbongkar,” tuturnya.

Sementara itu, Kanit PPA Polres Serang Kota, Robby Nizar menyampaikan, agar tidak terlibat dalam tindak pidana kekerasan seksual, baik itu menjadi pelaku ataupun korban, hal yang dapat dilakukan adalah dengan menghargai dan melindungi para perempuan.

“Untuk perempuan agar lebih menjaga dan berhati-hati dengan dirinya dan lingkungannya, bisa dengan menghindari tempat sepi dan tidak berpergian sendirian,” pungkasnya. (hh)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button