KOTA SERANG, biem.co — Kelompok Belajar (Kobar) menyebut pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 yang terletak di Cilegon serta geothermal yang berlokasi di Padarincang, Kabupaten Serang akan membawa dampak buruk bagi masyarakat Banten.
Ketua Pena Masyarakat, Mad Haer Effendi yang tergabung dalam Kobar mengatakan, seharusnya pemerintah mengantisipasi agar tetap terjaganya iklim, khususnya di Banten ini, untuk keberlangsungan masyarakat.
“Sayangnya, sejauh ini bukannya pemerintah pasif dalam mengantisipasi krisis iklim, melainkan aktifnya pemerintah membuat kebijakan yang merusak ekosistem, mempercepat dan memperburuk laju krisis iklim. Salah satunya adalah rencana pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 yang masih menggunakan batu bara. Ditambah rencana pembangunan pembangkit listrik geothermal,” ujarnya dalam aksi ‘Jeda untuk Iklim’ di Alun-alun Kota Serang, Jumat (27/11/2020).
Geothermal yang didirikan di atas lahan penghidupan warga di Padarincang, menurutnya menambah kejelasan bahwa pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat. Pasalnya, geothermal sangat merugikan masyarakat.
“Lahan milik warga Padarincang diambil alih oleh perusahaan demi membangun pembangkit listrik geothermal, akan tetapi, pembangunan itu tidak menghitung kerusakan lahan pertanian dan perkebunan warga, dan warga yang menggantungkan ekonominya dari bercocok tanam di lahan tersebut,” terangnya.
Selain merampas mata pencaharian masyarakat, geothermal juga dinilai akan membawa dampak buruk, seperti longsor, banjir dan lain sebagainya.
“Berapa keluarga yang hilang kebunnya? Belum lagi ancaman gempa dan longsor akibat pengeboran demi mencari panas bumi, ditambah lagi ancaman kebocoran pipa gas alam dan suhu panas yang bisa merusak pepohonan. Selain merusak alam, pembangunan geothermal juga mengakibatkan masyarakat kehilangan sumber air bersih,” sambungnya.
Menurutnya, jika PLTU Jawa 9 dan 10 serta geothermal sudah beroperasi, kondisi iklim di Banten akan semakin parah dan akan mengancam keberlangsungan umat manusia di masa yang akan datang.
“Kita tahu bahwa penyebab utama krisis iklim yang terjadi hari ini adalah karena penggunaan energi kotor untuk keperluan rumah tangga maupun industri, ditambah lagi dengan berkurangnya hutan alami secara drastis, yang membuat emisi karbon tak terserap oleh alam. Jika pembangunan proyek energi bersih juga merampas lahan dan hak hidup rakyat, apa bedanya? Masih banyak energi baru terbarukan lain yang tidak mengancam kehidupan masyarakat,” tandasnya.
Mad Haer atau yang akrab disapa Aeng menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan aksi-aksi untuk menolak dan menekan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak merugikan masyarakat.
“Kita tak punya banyak pilihan, tapi kita masih memiliki kesempatan untuk mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan ramah lingkungan yang berpihak kepada masyarakat seutuhnya, yang tidak merampas lahan masyarakat seenaknya, tidak mengganggu kehidupan masyarakat adat, serta tidak mengotori tanah, air, dan udara, demi generasi yang akan datang. Sudah terlalu banyak kerusakan lahan dan ancaman bencana yang harus diterima masyarakat Banten saat ini. Kalau kita saja sudah merasakan dampaknya sebesar ini, bagaimana dengan anak cucu kita?” pungkasnya. (ajat)