biem.co — Sebagai negara demokrasi, Indonesia terbilang baru. Reformasi dan demokratisasi politik yang berlangsung sejak tahun 1998 diharapkan negara dapat membuka ruang komunikasi secara intens terhadap rakyatnya melalui berbagai saluran partisipasi politiknya, saluran politik yang dijamin oleh negara melalui konstitusi. Selang dua dekade berjalan, demokrasi seakan mengalami ketersumbatan. Indikasi yang sangat terlihat negara tidak hadir ketika rakyatnya menyampaikan keberatannya dalam satu perumusan kebijakan yang salah satunya ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan omnibuslaw. Suara para demonstran dalam bentuk penolakan, bahkan disertai dengan pengrusakan fasilitas umum, tidak sedikit kerugian yang disebabkan, negara seakan tak bergeming, bahkan negara seakan tanpa kuasa merespon yang menjadi tuntutan rakyatnya selama pembahasan sehingga eksekutif dan legislatif terus membahas dan mengesahkan.
Pendekatan negara yang ditulis oleh Ralph Milliband dalam bukunya The State in Capitalist Society secara gamblang memaparkan gagasan tentang negara yang lekat dengan pengaruh marxisme. Pendekatan negara menurut Milliband sangat ideal untuk melihat posisi negara yang dikuasai aktor di luar pemerintahan karena dalam pandangan negara Milliband bahwa In the Marxist scheme, the ruling class of capitalist society is that class which owns and controls the means of production and which is able, by virtue of the economic power thus conferred upon it, to use the state as its instrument for the domination of society” (Negara merupakan instrumen yang digunakan oleh kelas berkuasa yakni kelas yang memiliki dan mengendalikan sarana produksi, dan karenanya memiliki kekuatan ekonomi dan mampu mendominasi dalam masyarakat kapitalis).
Untuk memudahkan kekuatan ekonomi menguasai negara, baik sumber daya manusia yang murah bahkan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam yang kekuatan ekonomi membutuhkan perangkat legalitas negara. RUU Cipta Kerja yang dibahas dalam waktu singkat patut diduga adanya kekuatan tersebut untuk mempengaruhi system negara. System negara diperlemah. Setidaknya lima elemen negara harus dikuasai oleh kekuatan di luar negara agar RUU Cipta Kerja dapat berjalan mulus.
Pada konteks inilah, sistem negara Milliband menjelaskan lima elemen penting negara yang harus dikuasai yaitu: (1). The governmental apparatus which consists of elected legislative and executive authorities as the national level, which make state policy; (2). The administrative apparatus, consisting of the civil bureaucracy, public corporations, cehtral banks, regulatory commissions which regulate economic, social, culture and other activities; (3). The coercive apparatus, consisting of the military, paramilitary, police, and intelligence agencies, which together are concerned with the deployment and management of violence; (4). The judicial apparatus, which includes courts, the legal profession, jails and prisons, and other components of the criminal system; (5). The sub central governments, such as states, provinces, or the departements, counties, municipal governments and special districts. (1).
Teori negara yang dikemukakan oleh Milliband tersebut menunjukkan bahwa pada saat tertentu pengendali kekuasaan negara adalah dominasi kelas berkuasa yaitu anggota kelas kapitalis yang menggendalikan apparatus negara dalam mengunci posisi-posisi penting di pemerintahan seperti administrasi, kekerasan dan aparatus lainnya. Melalui posisi-posisi aparatus itulah kekuasaan negara berada dan digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi puncak dari institusi negara. Hal tersebut ditegaskan oleh Milliband bahwa : the capitalist are well represented in the political executive and in the other parts of the state system and that their occupation of these key command post enables theto exercises decisive influence over public policy”.
Eksekutif Mendominasi Legislatif
Pada konteks ini, posisi Indonesia di awal periodisasi kedua Jokowi. RUU Cipta Kerja yang banyak mendapatkan penolakan publik tidak mempengaruhi keinginan eksukutif dan legislatif. Dengan demikian, banyak kalangan mempertanyakan komitmen ideologi para elit dan manajer negara menjadi sangat mendasar untuk membedakan perilaku, kebijakan dan tindakan atas isu dan masalah spesifik dimana mereka akan dikonfrontasikan. Namun tidak semua pemegang kekuasaan politik melihat dirinya sebagai bagian dari elemen kelas yang terikat komitmen politik dengan kelas kapitalis. Sebaliknya mereka lebih cerdas dan eksponen yang mengesankan dari sudut pandang negara dan diri mereka sendiri yang berada di atas pertempuran civil society, tanpa kelas karena perhatiannya atas kewajiban pelayanan seluruh bangsa, kepentingan nasional yang dibebankannya dengan sebagian tugas dari kepentingan spesial dan orientasi kelas yang memerlukan kebajikan utama atas semua.
Sangat ideal apa yang diutarakan Milliband dengan menjelaskan otonomi relatif yang dimiliki negara untuk menunjukkan adanya kesesatan dalam konsep negara sebagai instrument kelas berkuasa yang merujuk pada pengusaha kapitalis. Hal tersebut berangkat dari pemahaman bahwa tidak ada transformasi otomatis antara kekuasaan kelas ke dalam kekuasaan negara. Milliband mengidentifikasi adanya kesulitan dalam proses tersebut karena kelas berkuasa itu tidak monolitik, sehingga karenanya tidak dapat bertindak sebagaimana halnya pemilik suatu agensi.
Berdasarkan konstruksi kenegaraan, posisi DPR secara hierarki kekuasaan semestinya memiliki kesejajaran dengan Presiden. Akan tetapi, sejalan dengan kekuasaan yang dimiliki, posisi DPR tidak diimbangi dengan perilaku pelaksana pembuat undang-undang untuk dapat menjalankan kekuasaan membuat undang-undang, sehingga posisi DPR semakin lemah, kelemahan disebabkan salah satunya oleh Sumber Daya Manusia (SDM). Kelemahan ini, berdasarkan fakta dan hasil pengamatan selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja berlangsung, anggota DPR tidak sepenuhnya memahami prinsip pemisahan kekuasaan, bahwa masing-masing lembaga memiliki perbedaan dalam menjalankan tugas-tugas pokok kenegaraan.
Baca Juga
Sejatinya lembaga perwakilan yang ada dalam majelis memiliki tugas pokok untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan melaksanakan fungsi legislasi pasca perubahan UUD 1945. Kekuasaan legislatif yang ada pada dewan merupakan forum diskusi untuk masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial, dan diperlukan untuk mengabsahkan undang-undang baru termasuk uu cipta keraj. Oleh karena itu tugas pokok, untuk menjalankan fungsi secara kelembagaan, DPR memiliki badan secara khusus, yaitu Badan Legislasi (Baleg). Badan ini, merupakan lembaga yang legislate atau membuat undang-undang. Anggota-anggota yang masuk dalam Baleg tersebut dinilai dapat mewakili aspirasi rakyat dalam penyusunan dan perumusan kebijakan negara. Konsekuensinya, anggota yang masuk dalam Baleg adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam merumuskan undang-undang, memahami persoalan serta mampu merepresentasikan keberpihakannya pada rakyat. Oleh karena itu, Baleg merupakan badan yang dianggap dapat merumuskan kemauan seluruh rakyat atau kemauan umum dengan menentukan kebijaksanaan umum (public policy) yang mengikat seluruh rakyat. Dengan demikian undang-undang yang dibuat mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, dan dapat dikatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga yang membuat keputusan menyangkut kepentingan umum.
Membungkam Partisipasi Publik
Samuel P. Huntigton dan Joan M. Nelson sudah mengariskan melalui karya fenomenal yang dapat digunakan untuk mahasiswa ilmu politik untuk melihat bentuk partisipasi poltik dinegara berkembang. Peran dari partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik itu sendiri istilah yang telah digunakan dalam pelbagai arti. Apakah partisipasi itu hanya perilaku, atau mencakup pula sikap-sikap dan persepsi-persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi perilaku partisipasi politiknya. Dalam buku ini, partisipasi didefinisikan sebagai kegiatan warganegara preman (private citicen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Definisi ini mencakup beberapa aspek seperti, mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap.
Meskipun dilain pihak, banyak sarjana mendefinisikan partisipasi politik sebagai juga mencakup orientasi-orientasi warganegara terhadap politik; profesionalitas dan komitmen dari perilaku politik sebagai bentuk partisipasi politik; partisipasi politik merupakan kegiatan yang harus mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah yang sedang berkuasa; dan kegiatan partisipasi politik tidak hanya berdampak pada pelaku yang melaksanakan kegiatan, akan tetapi memiliki dampak luas bagi mereka yang tidak serta bertindak. Salah satu yang mencuat ketika partisipasi politik tersebut dibungkam dengan kekuatan politik alat negara. Penolakan terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat dihadapkan dengan kekuatan negara. Kekuatan yang semestinya difungsikan sebagai alat negara untuk melindungi rakyatnya justru sebaliknya dihadapkan oleh mereka yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan tingkat partisipasi politik kita harus dapat membedakan dua sub-dimensi: pertama lingkup, atau proporsi dari suatu kategori penduduk yang diberi definisi, yang melibatkan dalam kegiatan partisipasi yang khusus; dan kedua intensita, atau ukuran, lamanya, dan artinya penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem politik. Sangat relevan, ketika partisipasi politik dapat terwujud dalam pelbagai bentuk yang dapat dibedakan jenis-jenis perilaku partisipasi seperti, kegiatan pemilihan, mencakup suara, sumbangan-sumbangan kampanye, bekerja dalam sebuah pemilihan, mencari dukungan atau kegiatan yang menjadi bagian dari proses pemilihan. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi pejabat atau pemimpin untuk mempengaruhi kebijakan melalui pihak ketiga. Kegiatan organisasi, mencakup partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya mempengaruhi keputusan. Mencari koneksi, merupakan tindakan orang perorang yang dapat mempengaruhi pejabat. Tindak kekerasan, juga merupakan bentuk partisipasi politik dan untuk kegiatan analisa. Dengan demikian partisipasi politik memusatkan perhatian kepada tingkat-tingkat partisipasi dan lebih khusus lagi kepada tingkat partisipasi dalam pemungutan suara. (*)
*Najmi Mumtaza Rabbany adalah mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia