Opini

Uus M. Husaini: Menjaga Lisan

biem.co – Lidah itu tidak bertulang. Namun, ketajamannya melebihi pedang dan dampaknya sangat luar biasa. Dua orang sahabat bisa berubah menjadi saling membenci karena lisan. Kehidupan bertetangga bisa menjadi tidak harmonis juga seringkali karena lisan. Bahkan, perang antar kelompokpun bisa terjadi karena lisan yang tidak terjaga.

Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tentu kita harus selalu menyadari bahwa tidak ada satu ucapanpun yang terlontar dari lisan kita kecuali Allah mengetahuinya. Tidak ada satu tulisanpun yang kita torehkan mewakili lisan kita kecuali pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karenanya, beruntunglah seorang mukmin yang selalu dapat menjaga ucapannya.

Kalau dibuat  perumpamaan, lisan itu seperti corong teko yang hanya mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Kalau berisi susu, maka yang keluar adalah air susu. Demikian halnya kalau isi teko itu adalah air kopi, maka yang akan keluar adalah air kopi. Begitupun dengan lisan kita. Sesungguhnya apa yang keluar dari lisan menggambarkan kepribadian pemiliknya.

Ucapan yang sudah keluar dari lisan tidak akan bisa ditarik kembali. Dan jika sudah menyakiti hati orang lain, maka akan membekas meskipun sudah dimaafkan. Ibarat anak panah yang melesat dari busurnya dan menancap di batang pohon, meskipun telah dicabut maka bekasnya tetap akan tertinggal di sana. Begitulah perumpamaan orang yang tidak bisa menjaga lisannya. Sebaliknya, jika mampu menjaga lisan, maka akan mendatangkan derajat kemuliaan dan menunjukkan kualitas keimanan.

Ada beberapa tipe manusia dalam menjaga lisannya, antara lain:

Pertama, adalah orang selalu menjaga setiap ucapannya, sehingga setiap kata-kata yang keluar dari lidahnya selalu berada dalam bimbingan ilahi, tidak menyakiti, dan orang orang yang ada di sekitarnya akan selamat dari bahaya lisan dan tangannya.

Kedua, adalah orang-orang yang mudah mengomentari apa saja yang dilihat atau didengarnya, baik komentar dengan berbicara langsung ataupun melalui tulisan. Meskipun komentarnya tidak memberikan manfaat sama sekali, bahkan berpotensi menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.

Ketiga, adalah orang-orang yang mudah sekali terlontar dari lisannya berupa umpatan, celaan, hinaan, dan keluhan. Padahal bisa jadi orang yang dihina, dicela, dan diumpat itu lebih baik dari yang menghina.[1]

Keempat, adalah orang-orang yang selalu menceritakan kelebihannya dalam hal ibadah, beramal ataupun yang lainnya dengan niat mencari-cari pujian orang lain. Padahal riya atau sum’ah itu termasuk sifat orang munafik dan dilarang dalam al-Qur’an.[2]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka barangsiapa yang ingin selamat baik hidup di dunia maupun di akhirat, hendaknya ia menyedikitkan bicaranya dan menjaga lisannya. Ia tidak berbicara kecuali yang bermanfaat dan memberikan maslahat. Karena semakin banyak berbicara semakin besan pula potensi berbuat dosa. Hal tersebut berdasarkan pesan Rasulullah kepada orang yang beriman agar berkata yang baik, atau lebih baik diam.[3]

Hadits tersebut mengajarkan, bahwa kalau kita tidak bisa berkata yang baik, bermanfaat dan memberikan maslahat, maka lebih baik diam, tidak mengomentari hal-hal yang tidak perlu, tidak menghina, tidak mencela, menghujat dan lain sebagainya. Baik melalui lisan langsung ataupun melalui coretan-coretan di media sosial.

Oleh karenanya, sebagai seorang muslim hendaknya kita bersungguh-sungguh untuk senantiasa menjaga lisan berada dalam kebaikan. Berbicaralah yang penting, jangan yang penting berbicara. Tanamkanlah kesadaran bahwa setiap ucapan yang keluar dari mulut kita akan dicatat oleh Malaikat Raqib dan dan ‘Atid.[4]

Hindarilah celetak-celetuk yang tiada berguna. Hindari bergurau yang berlebihan dan tiada bermakna. Jauhi berkomentar tanpa ilmu apalagi tentang urusan yang tak jelas benar tidaknya. Semoga kita tergolong hamba Allah Swt. yang sungguh-sungguh dalam berusaha mengendalikan lisan kita. Amiin yaa Rabbal’Aalamiin.

Daftar ayat dan hadits

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [5]

  1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا  [6]

  1. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ[7]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Muslim yang baik adalah (ketika) orang-orang Islam disekitarnya selamat dari lisan dan tangannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ [8].

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)


 

[1] Lihat Q.S. al-Hujuraa [49]: 11
[2] Lihat Q.S. an-Nisa [4]: 142
[3] Muhyiddin Yahya Bin Syaraf Nawawi, Hadits Arba’in Nawawiyah, (Riyadh: al-Maktab al-Ta’awuny li al-Da’wah wa Tau’iyah, 2010), Hadits 15, h. 46, lihat juga Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rojab al-Hanbaly, (Muassasah al-Risalah, 2001), h. 15
[4] QS. Qaaf [50]: 18
[5] Q.S. al-Hujuraan [49]: 11
[6] Q.S. an-Nisa [4]: 142
[7] Shohih Bukhory, Juz 5, halaman 2379, hadits 6119, lihat juga Shohih Muslim, Juz 1, halaman 65, hadits 40 dan 57
[8] Muhyiddin Yahya Bin Syaraf Nawawi, Hadits Arba’in Nawawiyah, (Riyadh: al-Maktab al-Ta’awuny li al-Da’wah wa Tau’iyah, 2010), Hadits 15, h. 46, lihat juga Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rojab al-Hanbaly, (Muassasah al-Risalah, 2001), h. 15

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button