biem.co — Saya menyayangi semua anak, karena setiap anak adalah turunan Adam, leluhur saya dan leluhur seluruh manusia. Anak-anak lahir untuk meneruskan nasib dan nasab hidup di bumi. Berat bagi saya untuk menemui mereka dalam perlombaan–yang dalam hal ini urusannya selalu tentang lomba cipta atau baca puisi–apatah lagi menjadi penilai lalu mengumumkan hasilnya. Ini tidak pernah sedia dibaca oleh para guru atau pelatih, seakan-akan ringan saja bagi saya memberi nilai lalu memenangkan yang saya kehendaki. Itu sering saya dengar dari bisik-bisik angin.
Konon, guru atau pelatih “tidak berani” memprotes hasil lomba ketika saya yang menjadi juri. Mungkin ini terdengar menyenangkan, karena saya tidak perlu repot-repot menjelaskan, tapi bagi saya ini juga bagian dari kesedihan saya. Dunia dibangun dari kata, setiap kita perlu berkata-kata untuk sama-sama memahami apa yang perlu dipahami. Rupanya di dalam perlombaan, komunikasi telah menjadi transaksi yang berakhir pada keputusan “menang” dan “kalah”.
Alih-alih memberi wawasan kepada anak-anak, setelah lomba saya sering diminta untuk memaparkan apa dan bagaimana pembacaan puisi; apa dan bagaimana penciptaan puisi. Sepertinya itu terlihat tidak bermasalah, karena memang apa salahnya memberikan wawasan kepada anak-anak? Anak-anak perlu wawasan yang lebih agar setelah perlombaan mereka dapat mengeksplorasi diri untuk tidak dieksploitasi. Namun, saya sering mendapati masalah di sana. Anak-anak tidak dalam keadaan netral, yang bersedia menerima pengetahuan secara damai sebagaimana damainya desir angin di permukaan daun pada musim yang tenang.
Sepasang mata saya tidak dapat sepenuhnya menatap berpasang-pasang mata mereka, karena di sorot mata mereka yang saya temukan adalah kekecewaan. Saya sering bersedih untuk itu. Tidak kuasa rasanya jiwa saya untuk menyaksikan mereka yang menahan sesak di dada atau bahkan telah benar-benar menangis karena menerima kekalahan, sementara di lain sisi, saya mesti menjelaskan sesuatu yang, dengan percaya diri, dikira diperlukan. Padahal, saat itu yang betul-betul perlu dilakukan adalah membalut luka mereka.
Lebih jauh dari itu adalah menemukan cara agar anak-anak tidak menangis di dalam kekalahan. Sebentar, perasaan kalah itu, masalahnya. Dari mana mulanya anak-anak yang tidak mendapatkan piala dengan lantas disebut “kalah”? Dari mana mulanya pemahaman bahwa “kalah” adalah keadaan yang tidak boleh diterima oleh siapa pun, sehingga jika seorang anak menerima kata itu mereka lantas jadi bersedih hati?
Utopis sekali jika saya berpikir bahwa tidak perlu ada kata menang dan kalah di dalam perlombaan, sebab memang begitulah tabiat perlombaan. Memang-kalah semacam permen beragam rasa saja. Asam, asin, dan manis yang bersatu. Diemut dengan senang bagi yang benar-benar mengerti maksud-tujuan diadakannya perlombaan. Tidak juga hendak saya mengatakan bahwa kita tidak memerlukan perlombaan, karena dengan adanya perlombaan minat dan bakat anak dapat terasah.
Ada kiranya yang lebih mungkin dilakukan dibanding berpikir meniadakan kata kalah dan menang di dalam perlombaan, yakni menjadikannya biasa saja. Sebiasa dua orang anak yang balapan lari sepulang sekolah, yang menang atau yang kalah sama-sama tertawa lalu melanjutkan perjalanan pulang bersama. Itu sepertinya tidak terlalu sulit, karena anak-anak sememangnya tidak peduli dengan kemenangan dan kekalahan. Dunia mereka adalah dunia bermain. Marah mereka, hanya marah yang sekilasan. Menjadi sangat sulit ketika apa yang selama ini saya pikirkan adalah benar adanya: ada ambisi orang dewasa di sana. Definisi-definisi orang dewasa menguasai pikiran anak-anak tentang menang dan kalah itu.
Sebenarnya saya senantiasa menolak pikiran itu, tapi pada kenyataannya orang dewasa yang menjadi pendamping, guru, atau pelatih terlalu berburu prestise dari bangunan-bangunan narasi kemenangan di dalam perlombaan yang diraih oleh murid-murid mereka. Dalam hal ini, saya tidak mengatakan semuanya bersikap begitu, sebagian: entah sebagian kecil atau sebagaian besar.
Prestise itulah yang entah disadari atau tidak, entah pandang mata saya ini tepat atau tidak, menjadi tujuan utama dan omongan tentang memberi ruang kepada minat dan mengasah bakat anak-anak menjadi sampiran yang tidak seberapa menggairahkan untuk dipertaruhkan dengan sungguh-sungguh. Karenanya, saya sering berseloroh agak kasar: “jangan jadikan anak-anak produsen piala untuk meningkatkan pristise sekolah”.
Baca Juga
Banyak sekali siswa yang akan diikutkan di dalam perlombaan dilatih, bahkan sekolah menyewa pelatih profesional. Setelahnya, anak-anak diabaikan. Tidak lagi saya temukan mereka dididik untuk mendalami, mencintai, dan menghayati minat dan bakat mereka. Di situ, sulit untuk tidak berpikir bahwa minat dan bakat anak-anak hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan piala sebanyak-banyaknya. Anak-anak tidak diajarkan tentang bagaimana minat dan bakat mereka berguna bagi hidup dan kehidupan sehari-hari.
Tidakkah layak disedihkan ketika rasa karsa seni dan berkesenian tidak sama sekali dapat dibawa di dalam kenyataan di luar semua hal yang dihadirkan di panggung yang penuh desakan piala besar-besar berpita? Itu sama menyedihkannya dengan pendidikan yang tidak membawa manusia kepada kemampuan menghadapi sebuah dunia di luar bangku sekolah. Sama menyedihkannya dengan Pancasila yang menjadi hafalan dalam upacara hari Senin, sementara bagaimana Pancasila hadir di tengah hajat berbangsa dan bernegara senantiasa dibiarkan alpa.
Bukan asing kenyataan bahwa setiap sekolah memiliki tujuan dan hasrat pada capaian-capaian, di antara itu adalah memenangkan perlombaan yang sering jadi target capaian untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Saya mengerti di sana ada manajemennya, termasuk manajemen citra. Normal saja. Dapat dipahami dengan mudah. Saya hanya ingin menyelipkan begini: gairah kepada piala tidaklah sepadan jika ditukar dengan mentalitas anak-anak, mereka yang kita percaya sebagai penerus bangsa; penerus peradaban manusia. Saya yakin, ini sangat mudah dipahami dan disetujui.
Kantor Redaksi biem.co, 2020