CILEGON, biem.co — Alumni angkatan pertama Yayasan Pendidikan Al-Khairiyah, Arief Rachman Elchair, angkat bicara soal adanya salah satu unsur pimpinan yang terjun ke politik tetapi tidak mengundurkan diri. Menurutnya, sebagai salah satu lembaga Pendidikan Islam terbesar di Banten, khittoh (jalur) Al-Khairiyah sebagai lembaga pendidikan sudah mulai bergeser.
Arief mengatakan, meski sempat mati suri dan akhirnya mulai dirintis kembali pada tahun 1999, Al-Khairiyah yang berlokasi di Citangkil, Kota Cilegon tersebut sudah banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan mumpuni dalam bidang keagamaan.
“Saya sebagai santri pertama di sana. Jadi saya paham sekali awal tahun 1999 itu tidak ada kepentingan politik, semua murni adalah bagaimana cita-citanya membangkitkan kembali Al-Khairiyah yang terpuruk kondisinya saat itu,” kata Arief, Rabu (18/11/2020).
Al-Khairiyah, lanjut Arief, perlahan mulai menunjukkan eksistensinya sebagai Perguruan Islam dengan kembalinya aktivitas pondok pesantren serta lembaga pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Namun, Arief menyayangkan ketika eksistensi tersebut mulai kembali diakui, yang akhirnya terjadi pergantian Pengurus Besar (PB) pada tahun 2015 lalu, di situlah pergeseran mulai tampak.
“Betul, memang Al-Khairiyah butuh akses untuk membangun kembali, tapi tidak kemudian Al-Khairiyah dijual dengan ‘murah’, ” ungkapnya.
Arief menuturkan, PB Al-Khairiyah seharusnya dapat membedakan mana kepentingan politik dan mana visi-misi kepentingan pendidikan agar kedua hal tersebut tidak campur aduk.
“Jadi, harus paham mana ranah-ranahnya politikal organisatorisnya itu, artinya ada politik etislah. Karena apapun yang dilakukan ketua dalam lembaga itu akan melekat, perilaku ketua adalah cerminan dalam lembaga,” tuturnya.
Sebagai alumnus yang lahir dari Al-khairiyah, Arief menegaskan, ketika ada salah satu unsur pimpinan, baik Daerah Istimewa maupun PB yang memiliki hasrat dan kepentingan politik praktis, seharusnya keluar dan mundur dari kepengurusan. Hal tersebut harus dilakukan demi menjaga marwah serta khittoh Al-Khairiyah sebagai lembaga pendidikan.
Arief berharap, Al-Khairiyah sebagai lembaga umat tidak lagi dilibatkan untuk kepentingan politik pribadi atau segelintir kelompok.
“Saya berharap, sekarang nama besar Al-Khairiyah tidak dilibatkan dalam kepentingan politik pribadi, apalagi misalnya untuk hal-hal lain yang itu keluar dari khittoh kelembagaan,” pungkasnya.
Hal senada dikatakan Mahrus Yusuf yang juga merupakan alumnus Al-Khairiyah. Dirinya menyayangkan dengan kondisi terkini di lembaga Pendidikan Islam tersebut.
Pria kelahiran Citangkil yang menimba ilmu selama kurang lebih 15 tahun di Al-Khairiyah itu memandang adanya pergeseran dari jalur yang seharusnya.
“Saya sejak Madrasah Ibtidaiyah hingga perguruan tinggi selalu di Al-Khairiyah. Tapi saya sangat menyayangkan dengan kondisi saat ini, di mana lembaga ini dijadikan kendaraan untuk politik praktis,” katanya.
Mahrus berpendapat, ketika unsur pimpinan PB Al-Khairiyah hendak terjun ke dunia politik, seharusnya terlebih dahulu mengundurkan diri sebagai pengurus untuk menjaga marwah Al-Khairiyah sebagai lembaga Pendidikan Islam.
“Sekarang ini kan kelihatannya bukan hanya ditunggangi untuk kepentingan politik saja. Itu mencoreng marwah Al-Khairiyah,” tuturnya.
Sebagai alumnus, Mahrus berharap Al-Khairiyah dapat kembali ke khittoh-nya sebagai lembaga pendidikan dalam membangun generasi bangsa yang berakhlakul karimah.
“Saya harap Al-Khairiyah dapat kembali ke jalur yang semestinya,” tutupnya. (Arief)