Kabar

Seri Diskusi Girang #24: Kaum Tarekat dan Pengaruhnya di Banten

KOTA SERANG, biem.coSobat biem, dalam pandangan masyarakat awam, tarekat seringkali digambarkan sebagai perilaku keagamaan yang tidak biasa. Tarekat seperti menempatkan agama (Islam) tidak hanya seperangkat aturan yang menuntun perilaku keseharian penganutnya, ia menuntut penghayatan lebih dalam lagi dari ajaran-ajaran agama. Terlepas dari itu, pengaruh tarekat di Indonesia tidak bisa dibantah, berbagai aliran tarekat tumbuh subur di nusantara sejak masa awal penyebaran Islam dan berkembang hingga saat ini.

Banten sejak kelahirannya telah meletakkan sistem pemerintah yang memiliki ciri-ciri sufistik. Hal diungkapkan akademisi UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung, Ajid Tohir dalam Seri Diskusi Girang #24 yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten yang didukung oleh Laboratorium Banten Girang, Ikatan Pustakawan Indonesia Daerah Banten dan Biem.Co, Senin (9/11/2020).

“Setidaknya ada 4 ciri sufistik yang melakat pada Kesultanan Banten, pertama penunjukan Syarif Hidayatullah kepada Maulana Hasanudin memiliki isyarat-isyarat spiritual, kedua sultan sebagai Pandita Ratu yang harus memiliki kemampuan Syari’ah dan Ruhaniyah, ketiga gelar-gelar sultan menunjukan nilai-nilai ruhaniyah dan keempat budaya ziarah ke makam sultan menunjukan pengikatan diri pada pola keagamaan sufistik,” tuturnya.

Pengaruh tarekat kemudian berkembangan di Banten sejalan dengan perkembangan penyebaran agama Islam. Ia tidak hanya berpengaruh kepada prilaku keagamaan, akan tetapi juga mempengaruhi kehidupan sosial lainnya.

“Bahkan pada masa kolonial, guru-guru tarekat merupakan pemimpin gerakan untuk menentang Belanda, seperti KH. Wasid, KH. Asnawi, Haji TB. Ismail dan banyak lagi” lanjut Wakil Direktur Program Pasca Sarjana UIN Bandung tersebut.

Dalam sejarah perlawanan di Banten terdapat beberapa peristiwa besar perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, seperti Pemberontakan 1888 dan Pemberontakan 1926. “Kedua peristiwa besar tersebut digerakan oleh para ulama tarekat, hanya saja kemudian Sartono Kartodirjo menyebutnya sebagai pemberontakan petani dan MC. Williams menyebutnya pemberontakan komunis 1926, padahal gerakan perlawanan itu dipimpin oleh para ulama,” papar Anis.

Lebih lanjut akademisi yang lahir di Ciruas-Serang menuturkan, kondisi pada masa itu dipengaruhi oleh kebijakan kolonial yang menekan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga jika mengikuti pendapat sejarawan H.J. Benda, satu-satunya tempat pelarian bagi rakyat adalah guru-guru spiritual yang tidak saja memberikan ketenangan batin, tetapi juga mampu menciptakan solidaritas bersama.

Dalam penutup diskusi yang pandu Ilham Aulia dari Lborotorium Banten ini, Ajid Thohir mengajak peserta untuk tetap menjaga tradisi lama yang baik, walaupun dengan spirit baru.

”Perubahan global telah membuat dinamika dalam masyarakat. Realitas keagaam baru yang bersentuhan dengan tradisi lama merupakan proses dialog yang lumrah dalam perkembangan kehidupan manusia, namun kendatipun seperti itu, spirit tarekat yang telah mewarnai kehidupan masyarakat Banten selama berabad-abad jangan tinggalkan, karena spiritulitas sangat penting dalam kehidupan,” tutupnya. (*)

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button