TANGERANG SELATAN, biem.co – Diskusi terbatas tentang Proyeksi Kemenangan Kandidat di Pilkada Banten yang digelar The Aksara Institute di Teras Kota, Tangerang Selatan, Jumat (6/11/2020), mengungkapkan bahwasanya Pilkada merupakan proses pemilihan kepala daerah dengan mekanisme terbuka melalui partisipasi warga secara sukarela dengan hak konstitusi yang dijamin oleh Undang-undang Pemilu.
Dipandu oleh Ananda Prasetya dari Indonesia Analisis Politik Institute (Indpol) Jakarta, diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, di antaranya Abdul Hakim MA, alumni The Australian National University Canberra, Alexander Aur Apelaby, kandidat Doktor Filsafat Sosial sekaligus pengajar etika politik di Universitas Pelita Harapan, dan Musa Maliki, alumni Politics and International Relations, Charles Darwin University.
Terkait Pilkada Cilegon, Musa Maliki sebagai pemapar pertama menyampaikan, kemenangan kandidat hanya akan sah dan dibenarkan secara hukum dan demokratis bila mendapatkan dukungan terbanyak dari warga pemilih.
“Dari informasi pemberitaan yang saya simak, Pasangan Ati-Sokhidin (PAS) mendapatkan dukungan warga dengan jaringan relawan yang tumbuh dari inisiatif warga secara langsung. Jaringan relawan yang terdiri dari beragam lapisan, baik itu profesi, kaum milenial, basis-basis komunitas kultural tradisional, maupun komunitas hobi,” ucapnya.
Dengan jaringan relawan lebih dari 45 simpul jaringan, lanjutnya, sosok kepemimpinan Ati-Sokhidin oleh warga dianggap mewakili harapan dari segi perubahan dan keberlanjutan dalam bidang pembangunan.
“Ini luar biasa. Dengan jumlah lebih dari 45 simpul jaringan relawan yang tersebar di sejumlah wilayah Cilegon, para relawan ini mendukung dan berkerja atas inisiatif sendiri. Karena visi dan misi Ati-Sokhidin dianggap sesuai dengan aspirasi masyarakat Cilegon,” ungkapnya.
Karenanya, masih kata Musa, isu negatif yang dihembuskan kepada Ati-Sokhidin tidak efektif.
“Apapun bentuknya (isu negatif), tidak efektif. Indikatornya adalah dukungan yang begitu besar itu,” kata Musa.
Musa menambahkan, dalam demokrasi, kesadaran dan partisipasi warga dalam memilih pemimpin atau kepala daerah sangatlah penting. Sebab baik atau tidaknya suatu daerah, menurutnya ditentukan oleh peran masyarakat dalam menentukan pemimpinnya.
“Tanggung jawab justru pada rakyat untuk mengawasi pemimpin yang dipilihnya. Sedangkan pemimpinnya harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya atas janji-janjinya,” jelasnya.
Ia mengingatkan soal adanya check and balance dalam setiap demokrasi.
“Ruang publik perlu diisi dengan perdebatan-perdebatan yang mengarah pada transparansi dan kejelasan program pemimpin,” tandasnya.
Apa yang disampaikan Musa Maliki pun diamini oleh Abdul Hakim. Menurutnya, dalam Pilkada langsung, kandidat terpilih oleh suara mayoritas, bukan karena faktor keturunan sebagaimana dalam politik dinasti tradisional yang dipilih melalui mekanisme penunjukan langsung berdasarkan wangsit atau rapat keluarga di lingkaran kecil penguasa feodal.
“Semisal rapat keluarga di lingkaran kecil penguasa feodal ala kekuasaan Jawa di masa lalu,” singkatnya. (Arief)