Di Opera Lama
-safrina
Seperti gedung opera lama yang ditinggalkan suara
keheningan mendekam di lorong remang tempat biasa
dahulu kita terburu-buru lari menyaksikan pertunjukkan
“di panggung itu aku akan bernyanyi untukmu” janjimu padaku
Kita mungkin adalah tepuk tangan penonton dengan air matanya
mungkin juga dinding dingin yang mengendap semua luka
lalu sewaktu-waktu kau bisa saja menjadi sebuah pintu
yang melepas satu persatu penonton dalam hidupmu
Barangkali begitu setelah gedung opera lama runtuh
dan tidak meninggalkan apa-apa kecuali kenangan yang berlarian di dalamnya
kau bernyanyi di pemakamanku yang ditinggalkan suara
dan keheningan tumpah sebagai air mata
Membacakan Puisi di Hari Pernikahanmu
-Anik setyaningrum
Dari semua ornamen pernikahan, lagu-lagu bahagia yang melantunkan kemesraan dan janji pernikahan pada keabadian usia-usia, aku tiba dengan kesedihan yang dalam, kesedihan sebuah teluk yang ditinggalkan oleh kapal, aku menyalami tanganmu yang pernah tinggal pada telapak tangan, lingkar tubuh dan belaian rambutku, semua kini asing seperti seorang perantau yang tak mengenal apa arti pulang. Kau tak juga tersenyum padaku, matamu menunduk haru melihat waktu dengan cemerlang mengubahmu menjadi pendamping orang lain, sementara kesepian menyuntingku menjadi kekasihnya. Kau memikirkan bagaimana masa depan yang indah dan jauh dari sengsara sementara aku menemukan sobekan karcis bioskop yang kita cari-cari pada album kenangan dengan harapan anak-anak kita akan tersenyum dan berkata “papa dan mama sangat cocok hidup bersama”.
Tapi, aku tiba di sini dengan sebuah puisi yang kutulis jauh di hari pernikahanmu tiba, puisi yang kutulis untuk kita di hari pernikahan yang tidak pernah ada. Di hadapan keheningan dan tajam mata para tamu undangan, aku mengeja namamu. Puisiku berubah menjadi debu terhempas bersama bunga yang kau lemparkan lalu terjatuh di hadapanku. Dari semua ornamen pernikahan, air mataku adalah satu-satunya badai di tengah teluk yang menghamburkan kapal-kapal menuju kehilangan
Jakarta, 2020
Baca Juga
Teringat Safrina
Pisau telah sampai menusuk leherku
teriakan hanya menghasilkan serak dan aku masih terus memanggil namamu
di kejauhan kau tampak bahagia dengan rumah hangat dan canda tawa anak-anakmu
seharusnya adalah aku yang kau tunggu ketika senja tiba di pelataran rumah
dengan secangkir teh panas dan pelukan yang menggebu
Aku adalah masa lalu yang mencoba menulis tentangmu
pada sebuah sejarah yang jauh dari riwayat hidup kita
seperti sejarah, aku pula pantas untuk dilupakan
dan ketika anakmu menemukanku dengan pisau yang telah sampai menusuk leherku
teriakkan yang terus memanggil namamu di kejauhan
meski hanya menghasilkan harapan hitam akan kedatanganmu
Aku terus berteriak sampai kematianku menjadi suara
Jakarta, 2020
Baca Juga
Cara Menggambar Masa Lalu
Ambil beberapa krayon dari
tempat pensil anakmu
dan cobalah menggambar masa lalu
kau hanya akan menemukan warna-warna kelabu
Ambil beberapa bumbu dapur
dari dapur istrimu
dan cobalah menggambar masa lalu
kau hanya akan menemukan bumbu-bumbu
basi yang masam dirasa lidah
Ambil beberapa tembakau dari kotak
rokok babehmu
dan cobalah menggambar masa lalu
kau hanya akan menemukan kenangan
bersesak-sesakkan di dadamu
Ambil beberapa kertas lamamu
yang kau tulis puisi-puisi itu di sana
dan cobalah baca kembali
puisi-puisi itu
kau akan menemukan betapa takutnya kau dulu
akan masa depan
Jakarta, 2020
Perjalanan Sebuah Apel yang Kini Berada di Tanganmu
-safrina
Sebuah
apel
jatuh
dari
surga
dan kita percaya
bagaimana cinta dimulai
takdir tak lebih dari potongan apel
yang telah diiris tuhan untuk kita makan
manis atau masam
matang tak matang
adalah kecocokan lidah masing-masing
di suatu taman terjauh
apel gugur dari pohonnya
dan manusia memaknai jatuhnya
sebagai ilmu pengetahuan
apel menjadi racun
bagi seorang putri untuk menemukan
ciuman yang mengentaskan kematian
apel menjadi tanda cinta
dalam perkawinan yang mengultuskan kebahagiaan
jika kulempar apel ini padamu
akankah kau akan mengambil dan memakannya untukku?
Jakarta, 2020
Tentang Penulis: Raihan Robby, lahir di Jakarta, 9 Mei 1999. Saat ini ia sedang menetap di Yogyakarta menjadi mahasiswa Sastra Indonesia UNY, kesibukannya akhir-akhir ini ialah menjadi Kepala Suku Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia. Ia menulis puisi, cerpen dan naskah drama, menjuarai beberapa lomba cipta puisi dari tingkat Regional hingga Asia tenggara, puisi-puisinya dapat ditemui di Majalah Mata Puisi, haripuisi.com, kibul.in, apajake.id. Silahkan berteman dengannya di Instagram/Twitter @raihanrby