biem.co — Perutnya membesar berisi emas-emas yang diperas dari keringat kami. Tawanya yang gembira berpadu tangisan anak-anak kami. Ia duduk di atas singgasana punggung wanita yang disewanya setiap malam. Entah sampai kapan ia akan berkuasa? Yang jelas kami sudah pasrah berhadapan dengannya. Kami tidak mau kehilangan kepala-kepala kerabat kami. Sudah banyak kami berkorban. Cukup bagi kami untuk diam dan terus menaati perintahnya.
***
“Aku sudah lelah kerja di sawah,” ucap Parno yang mengeluh menatap langit kian kelabu.
“Kamu ini wong ndeso kalau tidak kerja di sawah mau kerja di mana lagi?”
“Entahlah.”
Langit semakin menghitam. Orang-orang desa kembali ke rumahnya setelah berjibaku dengan lumpur, rumput dan air. Begitu juga dengan Parno, lelaki paruh baya yang terkadang pemikirannya dijadikan panutan orang-orang desa. Setiap musyawarah terkait masalah desa pasti kebanyakan orang setuju dengan ucapannya. Bahkan usulan kepala desa sendiri bisa kalah dengan dirinya.
Parno bukan siapa-siapa. Bukan aparatur pemerintah ataupun orang kaya. Ia sama dengan yang lain; petani. Tapi sekali lagi—ucapannya selalu menjadi panutan.
“Kalau mereka datang dengan baik-baik kenapa tidak kita sambut?” ucap Kepala Desa di tengah musyawarah.
“Apakah sudah pasti mereka mempunyai niat yang baik?” Perkataannya disambut anggukan dan pertanda sepaham oleh orang-orang desa.
Kades sempat terpojok. Padahal seribu rayuan telah ia keluarkan untuk meluluhkan Parno. Namun tetap saja Parno yang batu tak tertarik dengan rayuan-rayuan Kades. Sehingga musyawarah siang itu dimenangkan oleh suara Parno.
Malamnya, ketika Parno menikmati langit yang tenang. Udara dingin merasuk ke tulang-tulang tuanya. Tapi ia kapok dengan hal itu. Ia bahkan sungguh menikmati kegiatannya; duduk di bale dengan secangkir kopi pahit hangat. Setiap seruputan yang dilakukannya selalu mencerahkan pikiran lelaki tua itu.
“Malam Pak Parno,” sapa seseorang yang sedang berjalan menembus kegelapan. Mata Parno memang sudah tua. Ia tidak dapat melihat siapa yang sedang mendatanginya sebelum orang itu berada di balenya. Dan ketika orang tersebut sudah berada di bale, ia baru tahu siapa yang datang; Pak Kades.
“Tumben sekali malam-malam gini datang ke rumah saya.”
“Iya ada sesuatu yang penting dan sangat perlu saya bicarakan.” Pak Kades mendekati Parno. “Sebaiknya kita masuk ke dalam saja. Boleh kan?”
Sebagai tuan rumah yang baik sudah barang tentu Parno akan mengijinkannya. Apalagi tamunya ini bukan sembarang orang, sudah jelas ia tidak bisa dengan mudah menolak permintaannya.
***
Parno memegang dahinya yang mulai jarang rambutnya. Sebagian rambut berwarna putih sebagai tanda kematangan dalam hidup. Maka atas dasar itu mereka—para warga menunggu jawaban dari Parno.
“Bagaimana Pak Parno?” ucap seseorang lelaki tambun dengan stelan jas rapi.
“Apakah Tuan Doni benar-benar akan mempekerjakan mereka di perusahaan Tuan jika sawah mereka digusur begitu saja?” tanya Parno mewakili suara dari teman-temannya.
“Oh tentu saja. Pokoknya Bapak semua percaya saja kepada kami. Saya jamin setelah perusahaan saya berdiri di desa ini, desa ini akan berubah menjadi kota yang lebih maju dan sejahtera.”
“Baiklah saya setuju,” Parno menjabat tangan Tuan Doni. Yang selanjutnya ia akan bertanda tangan di sebuah surat perjanjian. Ada sebagian kecil dari warga menyayangkan pilihan Parno. Tapi mereka masih berusaha berbaik sangka kepada perwakilannya itu.
Hanya hitungan beberapa Minggu semenjak penandatanganan perjanjian, sawah-sawah berubah menjadi cor-coran semen. Pohon jati yang menjulang berubah menjadi tiang bangunan. Sungai kecil di pinggiran desa berubah warnanya; tak lagi jernih. Memang sebagian besar warga senang dengan perubahan itu. Apalagi para lelaki perkasa mereka disewa untuk dijadikan kuli bangunan dengan gaji yang agak menjanjikan. Tapi ada sebagian kecil warga seperti Parno tua yang tak kebagian manis dari sebuah perubahan. Pilihannya sendiri yang membuat dirinya menjadi sampah. Hanya dengan uang sepuluh juta yang Pak Kades berikan malam itu mengubah hidupnya secara drastis.
“Aku tidak bisa tinggal diam kalau ditindas seperti ini terus,” batin Parno. Ia bergegas pergi menghadap Pak Kades menagih janjinya. Parno sangat geram dengan perilaku Pak Kades dan bos besar itu yang tak memberi persenan kepadanya. Parno harus mendapatkan hak-haknya.
“Maaf Pak Parno. Ini bukan wewenang saya.”
“Loh gak bisa gitu dong Pak Kades. Bukankah malam itu Bapak sudah berjanji,” emosi Parno semakin tersulut.
“Baik-baik. Lebih baik Pak Parno silahkan ke tempat Bos besar itu. Mintalah persenan kepadanya.”
Parno menuruti ucapan Kadesnya. Dengan dada yang masih menyala ia berjalan menuju tempat kediaman sementara bos itu. Sayang seribu sayang lelaki tua itu dihadang oleh preman-preman penjaga rumah bos tersebut. Ia tidak bisa berkutik. Hanya ocehan tuanya yang masih terlihat melawan. Badannya yang rentan pasrah dan takut menghadapi lawannya yang begitu besar.
“Pokoknya saya tidak mau tahu. Bilang ke Bos kalian. Kalau saya tetap tidak mendapatkan apa-apa atas proyek ini, saya akan gerakan warga untuk menggagalkannya.” Parno pulang dengan hampa. Hanya rasa kecewa yang masih sempat ia simpan di dada keroposnya.
***
“Siapa itu?” Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Malam benar-benar menutupi peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah bunyi yang cukup bising, suara terdiam kembali. Tapi pria tua ini tak mau kalah oleh malam dan dibohongi oleh diam. Ia beranjak dari ranjang tidurnya. Menghampiri sumber suara yang telah membangunkannya dari lamunan.
Kaki keringnya gemetar seiring berjalan menghampiri suara. Sebuah tongkat bambu yang entah berasal darimana nampaknya tidak menambah keberaniannya. Ia masih saja diliputi oleh ketakutan.
“Setan alas! Kalau itu hanya kucing akan kusembelih hingga mati. Kalau itu maling, maling itu memang gila. Apa yang ia harapkan dari pria tua miskin ini,” umpatnya dalam hati sambil terus melangkah menghampiri suara.
Suara ramai yang ditimbulkannya atas benda-benda berasal dari dapurnya. Ia semakin gregetan. Giginya gemetar. Seiring mendekati pintu dapur. Dan belum sempet ia masuk ke dapur. Kepalanya dipukul oleh seseorang yang tidak ketahui dari belakang.
***
Semakin malam suara alunan diskotik semakin kencang. Orang-orang yang entah berasal darimana semakin membuat ramai tempat ini. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Semua keriuhan malam berjalan begitu saja. Namun di balik itu semua sebagian besar warga tempat itu berteriak. Bukan karena senang dan ikut meramaikan malam, mereka berteriak agar doa mereka didengar oleh Tuhan.
Tentang Penulis:
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Kompas Id, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.