Kabar

Duh, Ini Poin-poin Sorotan Mengapa Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Merugikan

biem.co – Sobat biem, Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).

Pengesahan Undang-undang berisi aturan ketenagakerjaan tersebut dilakukan oleh Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin.

Adapun pengesahan regulasi itu dinilai merugikan para pekerja oleh masyarakat. Beberapa poin bahkan menuai banyak sorotan dari publik.

Berikut kami rangkum beberapa poin sorotan terkait Omnibus Law Cipta Kerja:

  1. Terdapat Penghapusan Upah Minimum

Salah satu poin yang ditolak dalam regulasi ini adalah adanya penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.

Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.

  1. Jam Lembur Dinilai Lebih Lama

Waktu kerja lembur dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Ketentuan itu, lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

  1. Kontrak Kerja Seumur Hidup dan Rentan PHK

Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.

Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Hal itu lantaran jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha dinilai bisa memPHK pekerja sewaktu-waktu.

  1. Mempermudah Perekrutan Tenaga Kerja Asing

Poin lain yang ada dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang mendapatkan sorotan tajam yaitu kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) yang terdapat dalam pasal 42.

Pasal tersebut tentunya mendapat tentangan dari serikat pekerja karena mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

Sementara pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja. (Eys)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button