biem.co – Mengingat Tan Malaka, tak akan lepas dari berita-berita tentang razia dan pembredelan buku yang marak dilakukan beberapa tahun belakangan. Sosok Tan Malaka yang dekat dengan label ‘kiri’ dan komunis hadir karena adanya narasi yang terus direproduksi selama orde baru, ungkap Heru Joni Putra yang hadir sebagai narasumber Seri Diskusi Girang ke-15 pada Senin (21/09/2020) lalu.
Diskusi hasil kerja sama Lab Banten Girang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah, Ikatan Pustakawan Indonesia serta biem.co itu bertajuk Dua Tan Malaka: Historis dan Kultural. Heru Joni Putra, peneliti Teroka Institute berusaha menampilkan sisi lain Tan Malaka yang pernah tinggal selama beberapa tahun di Bayah, Lebak, Banten, sebagai aktivis dan gerilyawan yang memperjuangkan nasib pekerja romusha di bawah pendudukan Jepang kala itu.
“Dari sekian panjang hidup Tan Malaka, negara hanya memilih menunjukkan afiliasinya yang singkat dengan PKI, komunis, tapi tidak pernah menampilkan sosok Tan Malaka sebagai manusia yang kompleks,” jelas Heru.
Ia juga memaparkan perjalanan Tan Malaka yang lahir dengan nama Sultan Ibrahim dan selama tinggal di Banten, populer dengan nama Ilyas Hussein.
Selama dua tahun di Banten, Tan Malaka dikenal sebagai sosok yang peduli dengan kesejahteraan para pekerja di sana. Beberapa hal yang pernah dilakukannya adalah membangun dapur umum untuk makanan murah bagi 1000 lebih romusha, membangun rumah sakit besar untuk 700 romusha di Cikaret, Bayah, Madur, Cimang, dan Cihara.
“Bahkan ia memperjuangkan penguburan yang layak untuk para pekerja romusha yang awalnya hanya dikuburkan tanpa disesuaikan adat dan agama. Selain itu, Tan Malaka mempelopori kebun sayur-sayuran dan buah-buahan Tegallumbu yang sejak tahun 1944, menyediakan ketahanan pangan sehingga tidak mendatangkan pasokan itu dari Sukabumi,” papar Heru.
Sebagai salah satu peserta diskusi, Ubaidilah Muchtar menyampaikan ketertarikannya pada tema diskusi ini. “Diskusi ini menarik, di Lebak, kita punya Museum Multatuli dan di sana juga menampilkan sosok Tan Malaka, sebagai sosok yang pernah hadir, tinggal, dan terinspirasi dari Lebak, kami berusaha menghadirkan ingatan tentangnya untuk masyarakat. Kalau perlu, ke depannya, di Bayah mungkin bisa kita bangun perpustakaan Tan Malaka yang fokus menampilkan memori tentang romusha dan perjuangan rakyat di sana,” tambahnya.
Jafra, Direktur Seri Diskusi Girang mengemukakan, bahwa saat ini, ingatan kolektif soal Tan Malaka sebagai bapak republik yang ikut memikirkan konsep negara seolah hilang karena represi Orde Baru menekan ruang-ruang untuk bisa mengenal sosok seperti Tan Malaka. “Terutama, soal karya-karyanya yang sangat penting dan perlu dibahas kembali karena sangat merepresentasikan semangat perjuangan, tidak melulu berkaitan dengan politik dan komunisme,” tutup Japra. (Tim SDG)
keren bosqu.. mantap