Kita Kesedihan Macam Apa?
kesunyian membangunkan kita
dari tidur panjang di kelopak mata
lalu kita lihat malam hari,
menyentuh tubuh pada tiap subuh
tapi apakah tubuh kita?
sepasang kesedihan yang terjaga?
aku lihat air mata bekerja
anak kecil meraung di gendongan ibunya,
perempuan menangis memeluk anaknya,
lelaki menelan kedua bola matanya,
dan kita semakin sia-sia.
kita kesedihan macam apa?
sesaat dan tak punya alamat.
kita ada sekaligus tak ada di mana-mana
di Taman, Aku Ingin Menemuimu
di taman, aku ingin menemuimu
sebagai anak kecil
menggoyangkanku ayunan,
memegang erat tanganku
ketika menuruni tangga paling liku itu satu-persatu,
mengenalkanku pada bunga
dan burung-burung di dahan cuaca,
pada langit dan warna-warna cerahnya
tapi kau bawa aku ke taman yang lain
taman yang dingin dan remang
yang membuat jantungku berdebar
dan kakiku tak henti bergetar
di sana, kau ajari aku cara berciuman
cara memegang tubuh perempuan yang paling aman
di sana, diam-diam, kita meneguk masa muda
menghabiskannya bersama-sama di satu meja.
Baca Juga
di Aikmel
; Kepada Ismaul Izza
di aikmel, Ismaul,
kubasahi lagi waktu yang kering di tubuhku
aku datang,
melepas seluruh pakaian yang menyembunyikan diriku
pada dinginmu, aku ingin diam
setelah lelah tersesat di gang kecil
; kepalamu yang tak pernah bisa kumengerti.
tapi dirimu, Ismaul,
pesanggrahan paling gerah
di aikmel.
Tempat Paling Rawan Bagi Sunyi
aku ingin melihatmu
setiap pagi, jadi matahari.
lalu cuaca,
cerah di dada.
tapi seluruh tubuhmu adalah malam hari
; diam dan penuh misteri.
meski pertanyaan tak pernah bisa disimpan
kepada jarak yang terlipat
kepada kata yang tinggal dimasuki
dan tak akan tersesat
tapi, mataku ini bumi
tempat paling rawan bagi sunyi.
Tempat Paling Sepi
tuan putri, malam telah pergi
tapi mengapa aku tetap merasa sendiri -atau-kau?
aku tahu kau telah lama hilang,
juga hari-hariku,
tak mampu menemukan bayangan tubuhku sendiri
tuan putri, akankah kau datang?
di tempat paling sepi, di sajak ini
ia menuggumu,
jangan biarkan waktu atau siapapun menemukannya lebih dulu
datanglah, sekalipun dalam keadaan paling salah
kau tetap bisa berteduh.
Tentang Penulis:
Wahyu Nusantara Aji, lahir di Lombok, 21 Oktober 1998. Karyanya pernah dimuat di Koran Suara NTB, Riau Pos, Sastra Mata Banua, Banjarmasin dan beberapa media daring. Juga terhimpun dalam beberapa antologi bersama. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hamzanwadi semester akhir ini, aktif menulis di Komunitas Rabu Langit, sebuah komunitas nirlaba yang menggiatkan seni dan sastra di Lombok Timur, NTB.