Opini

Ali Faisal: Kolom Kosong, No!

biem.co — Pilkada Aokigahara, demikian judul artikel saya di kolom biem.co Januari 2018 yang lalu. Sebuah tulisan yang menggambarkan kegelisahan dan kekecewaan ketika menyaksikan dari dekat proses pelaksanaan pilkada serentak gelombang ketiga di Provinsi Banten.  Pilkada diikuti oleh Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak, dan Kota Serang, berdasarkan catatan pengawasan hingga akhir proses pendaftaran bakal calon, kecuali Kota Serang sisanya di tiga daerah tersebut di atas hanya diikuti oleh incumbent melawan kolom kosong.

Atas kenyataan yang demikian, saya membayang-bandingkan dengan cerita Hutan Aokigahara yang terletak di sebelah barat Laut Gunung Fuji, hutan yang membentang dari Kota Kawaguchiko hingga Desa Narizawa di atas lahan 30 kilometer per segi. Berdasarkan berbagai penelusuran risalah, usia hutan ini diperkirakan sekitar 1.200 tahun dengan lautan pepohonan yang indah dilengkapi dengan gua-gua yang dipenuhi dengan es.

Di balik keindahannya, Hutan Aokigahara memiliki deretan fakta mistis karena hutan ini dijadikan tempat destinasi bunuh diri yang paling populer di Jepang yang memakan korban sekurang-kurangnya 100 orang tiap tahun, seperti dikisahkan juga dalam film The Sea of Tress garapan sutradara Gus Van Sant.

Meskipun begitu, tidak semua yang mendatangi Hutan Aokigahara berniat bunuh diri, ada juga yang datang untuk menikmati keindahan, namun menjadi tersesat karena menurut kepercayaan warga, hutan itu telah dihantui oleh yurei, sebutan untuk orang yang meninggal dengan perasaan benci, marah, sedih dan dendam yang mendalam. Hal itu membuat jiwa yurei tidak tenang dan merasuki pohon-pohon sehingga menyebabkan orang-orang “terjebak” dan ingin mengakhiri hidupnya.

Sepenggal kisah ini, secara naratif-subjektif saya sandingkan, karena seolah-olah keengganan para pesohor daerah, tokoh masyarakat, akademisi, para saudagar dan siapapun yang memiliki kapasitas dan sumberdaya leadership terlebih-lebih tokoh dan aktor lintas partai politik ternyata masih sulit mengikuti kompetisi elektoral. Pilkada barangkali masih dianggap seperti Hutan Aokigahara, menakutkan dan membuat frustrasi kewarasan. Lebih dari itu, sebagian di antaranya merasa kontestasi Pilkada adalah proses yang nir-logis.

Beberapa catatan penting saya dalam Pilkada 2018 di Banten, kaitannya dengan dinamika kontestasi, keadaannya seperti Kondisi Luar Biasa (KLB). Bayangkan! Dari 16 daerah yang diikuti kolom kosong, Banten merupakan provinsi penyumbang terbanyak. Mengapa hal ini terjadi?

Apakah  karena sosok yang diusung seluruh partai itu selama ini telah berhasil memimpin dengan baik? Atau apakah ada apatisme dan ketakutan luar biasa, sehingga para “petarung” mengalah sebelum bertanding, atas pra-kondisi yang diciptakan oleh para  4L (lo lagi, lo lagi) yang begitu kuat mengangkangi “dunia persilatan” Pilkada dengan “jutaan pohon” finansial, sehingga menciptakan kesan “Aokigahara” yang menciutkan nyali para calon pesaingnya, dan di saat yang sama ia merasa akan “bunuh diri” jika melawannya, atau justru kompetitor yang sama sekali tidak mau membaca peluang.

Catatan berikutnya, indikasi kegagalan parpol dalam melahirkan kader-kader internal yang disiapkan sebagai pemimpin-pemimpin politik, bukankah parpol ada salah satunya untuk mempersiapkan pemimpin? Mungkinkah sebagian parpol diisi oleh para yurei, sehingga menjadi menakutkan dan membawa kesesatan? Tentu tidak demikian. Tugas parpol adalah menjadi ibu kandung yang melahirkan kader pemimpin bangsa. Sejatinya.

Muasalnya

Bermula dari pelaksanaan Pilkada Tahun 2015, yang diikuti 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten, di antaranya terdapat 11 daerah yang memiliki calon tunggal. Sementara secara regulasi hal ini tidak didukung, karena baik di Undang-undang maupun PKPU hanya mengakomodir syarat minimal dua pasangan calon. Setelah dilakukan perpanjangan pendaftaran, kondisinya masih sama, maka Pilkada diselenggarakan pada pemilihan serentak berikutnya.

Dialog tentang calon tunggal semakin menarik, dan adalah Efendi Ghazali yang menjadi pemohon persoalan ini di Mahkamah Konstitusi. Ia beralasan bahwa UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur syarat minimal 2 pasangan calon bertentangan dengan UUD 1945, beberapa pasal UUD yang menjadi dalilnya meliputi: Pasal 28 D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28D ayat (2) setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun. Pasal 27 ayat (1) tentang persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Sambil menyebutkan beberapa perbandingan di beberapa negara yang mengakomodir calon tunggal dalam perhelatan elektoral, pada intinya Efendi menuliskan dalam permohonannya, bahwa ketentuan syarat minimal calon dianggap tidak memiliki kepastian hukum, diskriminatif, berpotensi hilangnya hak pilih warga, juga menjadikan perlambatan kesinambungan pembangunan daerah.

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-XII/2015 dengan diwarnai dissenting opinion dari hakim Patrialis Akbar, akhirnya calon tunggal diakui secara konstitusional, ditindaklanjuti dalam Pasal 54C UU No.10/2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyatakan pemilihan pasangan calon tunggal bisa dilaksanakan jika setelah penundaan dan memperpanjang pendaftaran tetap hanya ada satu pasangan bakal calon yang mendaftar. Lalu dari hasil penelitian, pasangan calon memenuhi syarat.

Banten Menjawab

Jika saat Pilkada 2018 yang lalu, 3 dari 4 kabupaten/kota di Banten hanya melawan kolom kosong. Fakta sebaliknya terjadi dalam Pilkada 2020 ini, keseluruhan 4 daerah yang Pilkada, kesemuanya minimal dua pasangan calon, yakni Kota Tangerang Selatan (3 pasangan calon), Kota Cilegon (4 pasangan calon), Kabupaten Serang (2 pasangan calon) dan Kabupaten Pandeglang (2 pasangan calon).

Meskipun, banyaknya calon bukan menjadi satu-satunya indikator akan lahirnya kepemimpinan yang baik, bersih dan sesuai harapan, tetapi paling tidak dalam beberapa hal bisa dilihat positif. Ditambah lagi dari unsur calon perseorangan, semakin banyak calon maka pemilih diberikan alternatif pilihan. Tentu mereka akan memilih pasangan calon yang memiliki rekam jejak, visi, misi dan program yang baik dan terukur.

Di tengah kegembiraan kita atas perubahan yang terjadi di Banten, sebaliknya tidak menggembirakan secara nasional. Berdasarkan data dalam proses pendaftaran calon Pilkada 2020, jumlahnya calon tunggal semakin banyak jika dibandingakan dengan jumlah saat pilkada serentak sebelumnya. Pilkada 2015 terdapat 3 daerah calon tunggal, 2017 meningkat menjadi 9 daerah, 2018 meningkat lagi menjadi 16 daerah, dan Pilkada 2020 mengalami peningkatan, 28 daerah potensi calon tunggal. Mengapa hal ini terjadi di tengah negara yang menganut multipartai?

Ironis

Pasangan calon melawan kolom kosong secara konstitusional tetap sah, keabsahan yang tetap saja harus dikritisi, keabsahan secara empiris yang belum tentu sejalan dengan nilai filosofis. Pilkada semacam ini seperti memiliki pertentangan antara fakta dan idealita. Di sinilah ujian pokok partai politik untuk memperbaiki rekrutmen yang baik dan demokratis, tidak pragmatis, tidak hanya berpikir jangka pendek dan “jang ka imah”.

Ke depan, partai poitik harus mampu menghilangkan kuasa-kuasa elitis-oligarkis sistem internal partai, serta tidak membebek pada sekadar survei popular-elektabilitas pada bakal dan atau calon tertentu.

Terkait pragmatisme Pilkada, mengerikan jika pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD itu benar, 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong dan konsekuensi atas semuanya akan melahirkan korupsi kebijakan yang lebih berbahaya dari korupsi uang

Akhirnya, jika hingga saat ini fenomena Pilkada dengan kolom kosong dianggap masih belum menunjukkan substansi dari nilai demokrasi yang kita cita-citakan. Semoga kelak ketentuan ambang batas pencalonan dan syarat dukungan calon perseorangan tidak terlalu tinggi. Kebutuhan regulasi ini penting untuk menghindari atau meniadakan sama sekali fenomena Pilkada dengan kolom kosong. Kolom kosong, no! (*)


Ali Faisal adalah Komisioner Bawaslu Banten.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button