Kabar

Gaduh Gugatan UU Penyiaran oleh RCTI-iNews ke MK, Masyarakat Terancam Tak Leluasa Live di Medsos

biem.co –  Sobat biem, baru-baru ini stasiun televisi Swasta Rajawali Citra Televisi (RCTI) dan iNews mengajukan gugatan terkait Undang-undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menyebut adanya perlakukan yang berbeda antara penyelenggara siaran konvensional dengan layanan siaran berbasis over the top (OTT). Dimana, layanan tersebut tidak ikut tunduk kepada Undang-undang Penyiaran sesuai  pasal 1 angka 2. Akibat hal tersebut, Pemohon dirugikan karena ketiadaan perlakuan yang setara dengan penyelenggara siaran berbasis internet.

Adapun ruang lingkup gugatan tersebut dalam pokok gugatan yang didapat biem.co, adalah pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Dimana, pasal tersebut menyebutkan bahwa Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Oleh karena tidak ada ada keterikatan penyelenggara siaran OTT dengan UU Penyiaran, maka terjadi perbedaan perlakuan di hadapan hukum. Di mana para penyelenggara siaran konvensional dihadapkan dengan regulasi dan garis demarkasi yang ketat mengenai penyiaran, sementara penyelenggara siaran OTT tanpa batasan.

“Bahwa oleh karena tidak terikatnya penyelenggara yang menggunakan internet pada UU Penyiaran di Indonesia tentu telah berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan (unequal treatment). Sebagai rule of the game penyelenggara penyiaran, UU a quo mengatur setidaknya 6 hal sebagai berikut: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran Indonesia; (ii) persyaratan Penyelenggaraan Penyiaran; (iii) perizinan penyelenggara penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran ;(v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran;” dikutip dalam berkas gugatan.

For your information, OTT berdasarkan materi Gugatan, secara sederhana dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik operator telekomunikasi. Layanan OTT dibagi menjadi tiga kategori, yaitu aplikasi seperti Whatsapp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Kedua konten atau video on demand seperti Youtube, Iflix, Netflix, Viu, dan lain-lain. Serta kategori ketiga adalah jasa seperti Go-jek, Uber, dan lain sebagainya.

Sementara itu, terkait gugatan UU Penyiaran oleh RCTI dan iNews yang tengah ramai dibincangkan oleh masyarakat tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) angkat Bicara. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli menuturkan, apabila permohonan pengujian Undang-Undang Penyiaran dikabulkan, masyarakat tidak lagi leluasa memanfaatkan fitur video over the top (OTT) atau Live dalam platform media sosial (medsos) karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

Menurutnya, apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum maka akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran. “Untuk mengklasifikasi layanan OTT sebagaimana bagian dari penyiaran akan menimbulkan permasalahan hukum, mengingat penyiaran telah diatur dengan sangat ketat dan rigid dalam satu regulasi,” katanya dikutip dari liputan6.

Lebih lanjut ia mengatakan, layanan OTT beragam dan luas sehingga pengaturannya kompleks dan saat ini tidak hanya dalam satu aturan. Peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan jenis layanan OTT yang disediakan, di antaranya Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Hak Cipta hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Ramli menjelaskan, saat ini layanan OTT di Indonesia terus berkembang. Apabila diatur terlalu ketat akan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital nasional. “Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakkannya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia,” tandasnya.

Nah sobat biem, yuk kita tunggu hasil sidang gugatan UU Penyiaran ini. Apapun hasilnya, semoga semua pihak dapat menerima dan mematuhinya. (Eys)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button