biem.co — Polemik pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 di masa pandemi Covid muncul setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan Pilkada serentak, dan selanjutnya dijadwalkan berlangsung pada bulan Desember 2020 dengan alasan terjadinya bencana non-alam berupa pandemi Covid-19.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra antara pihak yang mendukung pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020 dengan pihak yang berpendapat sebaiknya Pilkada serentak diundur ke tahun 2021. Di era serba digital dan masyarakat yang saling terkoneksi, tidak menyadarkan pemerintah Indonesia untuk berani memanfaatkan ruang partisipasi kolektif yang diciptakan teknologi.
Pilkada sebagai salah satu ritual proses demokrasi di Indonesia pasca reformasi menjadi salah satu penanda pasang surutnya demokrasi sejak lahirnya di satu sudut Yunani yang disebut negara Polis hingga kini, lahirnya teknologi dalam menjembatani hubungan antara politisi dan warga negara. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melahirkan media baru, salah satunya teknologi partisipasi kolektif seperti media jejaring sosial Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya.
Media jejaring sosial sebagai teknologi partisipasi kolektif menggabungkan teknologi komunikasi dengan kondisi masyarakat yang dinamis. Teknologi ini memungkinkan ruang partisipasi kolektif hidup dan membentuk jaringan komunikasi. Media baru ini tidak hanya menawarkan ruang publik yang hidup dan semarak. Media sosial sebagai media baru menyajikan juga celah untuk terlibat secara implikatif.
Media baru, seperti yang diungkapkan Terry Flew, hadir dengan menawarkan interaktivitas yang tinggi dan sifat yang dinamis. Media baru memberikan peluang bagi penggunanya melakukan kontrol lebih atas pilihan yang disaji atau memberi kesempatan memproduksi apa yang dianggap layak untuk disaji. Media baru yang bersifat interaktif memberi derajat pilihan bagi pengguna dalam menentukan informasi yang akan dicerna sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya, baik dalam akses pada sumber informasi dan kontrol atas hasil dengan menggunakan sistem tersebut.
Kontrol dari pengguna membuat pengguna menjadi sangat otonom dalam menentukan konten dan memanfaatkan jaringan, misalnya pada microblog Twitter. Dengan interaktivitas dan potensi jaringan yang masif, media jejaring sosial sesungguhnya meminimalkan jarak dan mengoptimalkan komunikasi yang efektif antar pengguna.
Media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram juga memiliki kemampuan dalam mengoptimalkan komunikasi yang efektif antara penyelenggara pemerintahan dengan para warganya (citizens). Komunikasi efektif dapat terjadi apabila penyelenggara pemerintahan mampu menarik partisipasi warga. Termasuk dalam konteks Pilkada bagaimana pemerintah dan penyelenggara Pilkada (KPU) dapat melakukan komunikasi yang interaktif dan mampu menarik partisipasi warga dalam proses demokrasi berupa Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Selain itu, dengan media sosial, masih terdapat berbagai macam media baru dan aplikasi mobile berupa komunikasi tatap muka yang dimediasi jaringan internet (video conference) yang dapat dimanfaatkan sebagai ajang sosialisasi aparat birokrasi dan penyelenggara pemilihan umum untuk menyampaikan informasi terkait penyelenggaraan pemilu atau Pilkada.
Begitu pula para kontestan Pilkada dapat memanfaatkan teknologi dan media baru untuk melakukan komunikasi politik kepada konstituennya dengan virtual campaign atau kampanye menggunakan medium virtual. Dengan interaksi langsung dengan warga melalui media sosial, tidak hanya menularkan cara efektif dalam menyampaikan informasi melalui komunikasi partisipatif tapi juga membangkitkan peran warga negara yang sifatnya implikatif tehadap berbagai kebijakan yang.
Dalam konteks teknologi informasi dan komunikasi, demokrasi tidak selamanya berada dalam ruang definitif, kekuasaan dari rakyat untuk rakyat. Melainkan, bagaimana tindakan kedaulatan itu benar-benar hidup di tengah anomali kebangsaan dewasa ini. Untuk itu, pola dan model demokrasi yang mengarus zaman dan mengikuti perkembangan teknologi harus terus dikembangkan guna menemukan model yang sesuai dengan perkembangan bangsa. Salah satunya adalah demokrasi deliberatif yang berdaya guna sebagai prosedur pengambilan keputusan publik di dalam masyarakat kompleks seperti Indonesia untuk menghasilkan hukum yang legitim.
Demokrasi deliberatif, secara politis menemukan konektivitas dalam forum-forum, media-media dan gerakan civil society. Selain itu, demokrasi deliberatif memungkinkan adanya kemandirian dan otonomi masyarakat, yang oleh banyak kalangan masih melihat sebagai masalah dalam penerapan demokrasi.
Kolaborasi demokrasi deliberatif dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melahirkan konsep yang dinamakan Electronic Cognitive Democracy atau disingkat e-Cognocracy, yang merupakan bentuk demokrasi baru yang berangkat dari leburan demokrasi representatif dan demokrasi partisipatif, mengambil sisi positif dari keduanya.
Dalam demokrasi, sistem representatif partisipasi konstituen diwakili oleh partai politik ataupun perwakilan yang duduk di kursi parlemen sedangkan sistem partisipatif atau sering disebut direct democracy menekankan partisipasi luas dari konstituennya termasuk saat berkomunikasi terkait kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintahan, terutama dengan memanfaatkan teknologi dan media baru.
E-Cognocracy menekankan dan sangat menghargai ketelibatan warga negara (Citizens) dalam pembuatan kebijakan. Media baru seperti media jejaring sosial kemudian memberikan ruang yang luas bagi keterlibatan warga dalam proses komunikasi dalam aktivitas decision making terkait kebijakan politis. Selain itu, e-cognocracy juga memfokuskan pada pengetahuan masyarakat yang nantinya akan berelasi dan berimplikasi dalam pemecahan masalah secara ilmiah, menciptakan kesadaran (kognisi) politik di masyarakat. Dalam e-Cognocracy warga negara (citizens) saling terkait dan terhubung, saling memiliki dan membutuhkan serta terkondisikan penuh partisipasi dalam ruang luas yang tercipta dari Internet.
Dalam konteks e-cognocracy, elite birokrasi dapat menciptakan kognisi politik warga negara (citizens) dan menarik keterlibatan warga dalam pemecahan masalah yang ilmiah terkait kebijakan-kebijakan politis. Komunikasi yang efektif dan efisien dalam konteks e-cognocracy mengoptimalkan hubungan antara elit birokrasi dan warga negara (citizens).
Dalam permasalahan Pilkada sebagaimana disampaikan di awal, jika konsep e-cognocracy sudah berjalan maka tidak perlu terjadi perdebatan tentang penundaan pelaksanaan Pilkada, karena partisipasi politik warga dapat diakomodir dalam ruang virtual yang tak terbatas ruang dan waktu. Bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 tidak akan menjadi halangan bagi warga negara untuk tetap menyalurkan aspirasi dan pilihannya karena telah tersedia ruang partisipasi virtual tersebut.
Dalam konsep demokrasi deliberatifnya, Jurgen Habermas menawarkan “titik-titik sambungan komunikatif” di antara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini diblokade oleh kepentingan-kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos saluran-saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di dalam apa yang disebutnya “ruang publik politik”.
Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik saat ini bukan lagi kerumunan massa yang diam (mass of silent).
Kompleksitas masyarakat dewasa ini, menurut Habermas, dapat menyebut rakyat berdaulat, jika negara, yakni lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Dalam hal ini, teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan gerakan diskursus publik di berbagai bidang sosial-politik-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokrasi warga negara dengan bantuan teknologi dan media baru. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya dan Media UGM, Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University, dan Peneliti Utama pada Indonesia Political Opinion (IPO).
artikel yang menarik dan membuka pikiran yang memang sebaiknya lebih banyak lagi disebarluaskan agar dalam sistem demokrasi ini rakyat merasa dirinya kuat dan berada diatas pemerintah, karena bahaya sekali kalau rakyat merasa sebaliknya dan hanya menurut apa kata pemerintah akan terjadi banyak sekali ketidakadilan. seharusnya di tambah dengan adanya sosial media rakyat bisa lebih efektif lagi dalam mengumpulkan kekuatan maupun menggalang suara
Dengan adanya isu pilkada yang akan tetap dilaksanakan di Indonesia, saya kurang setuju atau kontra. Menurut saya, proses kampanye akan berjalan lebih efektif bila menggumpulkan massa dan calon dari kepala daerah dapat langsung mempersuasi, juga mengutarakan maksud dan tujuan kepada calon rakyat, terlebih lagi masih banyak generasi babyboomers di Indonesia pada saat ini yang kurang mengerti tentang bagaimana cara bermain media sosial atau tidak melek akan teknologi. Lalu pada saat ini kita ketahui bahwa sedang marak dengan pandemi corona, hal ini menurut saya membuat pilkada kurang penting dan seharusnya dapat ditunda dikarenakan situasi genting pada saat ini. Terakhir, menurut saya sebaiknya pemerintah pada saat ini fokus saja terlebih dahulu dengan situasi sekarang, bila adanya pilkada akan membuat rakyat indonesia juga kebingungan untuk mengikuti informasi, belum lagi bila calon yang kepala daerah yang di pilih berbeda akan membuat hubungan anatar keluarga, saudara, dan teman di situasi seperti ini kurang baik, dan juga bila nanti kepala daerah yang baru telah terpilih maka mungkin akan kebingungan dikarenakan mereka menjabat di situasi yang membingungkan. Terimakasih, bila ada salah-salah kata mohon dimaafkan, ini hanya menurut saya.
Selamat Pagi pak, saya I Made Oka Megayasa (1502174427) izin memberikan tanggapan terkait dengan adanya pro dan kontra penetapan penundaan pilkada serentak menjadi di bulan Desember 2020. Menurut saya, jika pemerintahan saat ini ingin mengutamakan kedua belah pihak (paslon/penyelenggara dan warga negara) yang dimana tentunya paslon ingin pilkada dilakukan secepat mungkin dan warga masih khawatir dengan dilaksanakannya pilkada ditengah pandemi Covid-19 ini, pemerintah dapat tetap melalukan pilkada tetap di bulan Desember namun menggunakan teknologi internet secara daring seperti yang bapak sampaikan diatas tanpa adanya tatap muka langsung walaupun dengan segala resiko yang akan ditanggung oleh pihak penyelenggara ataupun paslon dengan penyesuaian teknik penyelenggaraan yang berubah. Karena menurut saya juga kenapa presiden Jokowi tetap ingin melaksanakan pilkaada ini di bulan Desember, tentu dengan adanya kepentingan -kepentingan tersendiri dari pihak diatas yang memiliki kekuasaan dan masyarakat diharapkan hanya mengikuti saja apa yang dianjurkan oleh pihak tersebut. Tetapi masyarakat saat ini sudah tidak bisa dengan mudahnya diprovokasi karena setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapatnya. Nah jika sebaliknya, presiden Jokowi ingin merubah kembali pengadaan pilkada menjadi di tahun 2021 maka tentunya dapat dipertimbangkan oleh kedua belah pihak (paslon/penyelenggara dan warga negara) untuk tetap dilaksanakannya pilkada secara langsung dan tatap muka, karena besar harapan setiap orang agar ditahun 2021 pandemi Covid-19 ini segera berakhir serta dikabarkan juga dalam portal berita online yakni presiden Jokowi mengumumkan pada bulan Desember 2020 ini vaksin Covid-19 akan segera disalurkan kepada masyarakat luas. Sekian tanggapan dari saya pak, jika ada kekurangan atau kesalahan saya mohon dimaafkan. Terima kasih pak🙏
Artikel yang bermanfaat dan menambah pengetahuan
Belakangan ini isu mengenai pilkada yang akan tetap berlangsung menjadi perdebatan di Indonesia dan menciptakan pro dan kontra didalamnya, saya pribadi tidak setuju jika pilkada tetap berlangsung karena ini akan membuat masyarakat iri akibat pemerintah yang terkesan egois dan memaksakan adanya pilkada, disaat orang beribadah dibatasi, sekolah dan universitas dilaksanakan secara online, berkumpul diruang tempat umum juga dibatasi, mengapa pilkada harus tetap berlangsung? sebesar itukah urgensi dari pilkada ini. Dengan adanya pilkada juga tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran sosial distancing yang akan terjadi akibat berkumpulnya masa yang besar saat kampanye paslon dan pencoblosan, sedangkan di Indonesia kasus positif COVID19 terus meningkat setiap harinya, harusnya pemerintah sadar bahwa pelaksanaan pilkada dapat berakibat buruk bagi masyarakat karena dapat meningkatkan kemungkinan penyebaran virus corona ini.
menurut saya Niken Ayurina (1502174015) dengan kemungkinan adanya pilkada 2020 ini dan juga sedang ada pandemi covid 19 ini mungkin sebaiknya jangan diadakan dulu pilkada 2020 karena memungkinkan kasus positif akan terus bertambah kalau pilkada 2020 diadakan sebaiknya pemerintah mengkaji lagi dengan seksama kemungkinan agar tidak ada kerumunan massa dan juga jika pilkada tetap diadakan dan ada kemungkinan calon paslon akan terinfeksi kasus covid 19 dan kalau pilkada diadakan bulan desember kenapa tidak diundur dulu sampai kasus positif covid mereda atau pemerintah jika tetap kekeh mengapa tidak membuat ide baru agar masyarakat tidak harus datang dan mencoblos bisa bisa mengvote dari rumah agar kasus covid di indonesia tidak bertambah misalkan pemerintah membuat aplikasi untuk mencoblos masing masing paslon yang ada. sekian tanggapan dari saya pak terima kasih mohon maaf apabila saya ada salah salah kata.
Artikel yang sangat menarik untuk dibaca dan dibahas dengan melihat sedang maraknya pemberitaan mengenai pilkada 2020 dan bertepatan dengan maraknya juga pandemi covid yang sedang menimpa seluruh dunia terutama Indonesia. Pandemi covid ini memang menjadi suatu halangan atau batasan kita semua dalam menjalankan kegiatan-kegiatan atau rancangan-rancangan yang sudah direncanakan. Namun kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi hal nomor satu yang harus diutamakan melihat sudah banyaknya kasus akibat covid yang terjadi di Indonesia ini. Pilkada 2020 yang terkesan memkasakan untuk dilaksanakan ini membuat banyaknya pro dan kontra yang timbul di kalangan masyarakat dan pengamat-pengamat politik. Sehingga banyak timbul juga persepsi-persepsi negatif akan tindakan yang diambil oleh pemerintah ini. Berkaca dari negara-negara lain yang menunda atau mungkin memilih jalan yang lebih bijak dalam melaksanakan pilkada 2020 membuat masyarakat banyak membanding-bandingkan negara Indonesia dengan negara tersebut. Dengan demikian pemerintah seharusnya mengambil tindakan yang lebih bijak atau cara lain untuk melaksanakan pilkada 2020 dengan mementingkan kepentingan dan kesehatan masyarakatnya.
Pendapat saya, saya kurang setuju bila pilkada diadakan di masa pandemi seperti sekarang. Alasan utamanya yakni untuk meminimalisir penyebaran virus karena dengan kegiatan-kegiatan pilkada pasti melibatkan banyak orang. Mulai dari kampanye sampai proses pemungutan suara. Bila proses rangkaian pilkada dilakukan secara online, menurut saya juga kurang efektif karena tidak menjangkau seluruh masayrakat. Maka dari itu, saya kurang setuju bila pilkada tetap dilaksanakan ditengah wabah pandemi seperti sekarang ini.
dari artikel ini saya ingin berpendapat bahwa dimasa pandemi ini sudah banyak masyarakat yang merasa kesulitan dalam hal ekonomi, yang disebabkan oleh pembatasan aktifitas oleh pemerintah yaitu berjualan, bersekolah dan bekerja, namun sangat disayangkan, apabila pemerintah mementingkan kepentingannya untuk tetap mengadakan pilkada secara offline, sedangkan semua aktifitas dapat di alihkan melalui online, dari sisi ini juga sebaiknya pemerintah mengambil pertimbangan yang lebih matang, dikarenakan negara lain yang mungkin pada saat melakukan pilkada, mereka sudah dalam masa pandemi yang dibilang sudah menurun. dengan keputusan pemerintah untuk mengambil keputusan psbb yang dilakukan kembali di ibu kota, sebagai acuan agar menurunnya penyebaran covid-19, namun dapat dipastikan apabila pilkada tetap berlangsung kenaikan pada penularan covid-19 akan semakin tinggi meningkat
Mohon izin memberikan tanggapan terkait dengan adanya pro dan kontra penetapan pelaksanaan ataupun penundaan pilkada serentak di bulan Desember 2020. Menurut pendapat saya, saya kurang setuju apabila pilkada diadakan di masa pandemi seperti sekarang. Alasannya yakni menurut saya, saat ini situasi di Indonesia khususnya di masyarakat belum kondusif karena masih adanya penyebaran virus covid-19 yang semakin hari semakin bertambah (belum terkendali) sementara apabila pilkada dilaksanakan maka akan mengundang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang, pilkada lebih baik ditiadakan untuk sementara atau diundur setelah kondisi dan situasi di masyarakat dapat kondusif serta penyebaran covid-19 dapat di tekan untuk meminimalisir penyebaran virus. Dan apabila pemerintah membuat wacana untuk proses rangkaian pilkada dilakukan secara online, dari mulai kampanye hingga proses pemungutan suara, menurut saya juga akan menjadi kurang efektif. Sebaiknya pemerintah mengkaji ulang hal tersebut dikarenakan saat ini untuk pelaksaanaan pilkada secara daring fasilitas dan kondisi masyarakat tidak memungkinkan masih perlu banyak pertimbangan seperti kondisi jaringan internet yang belum merata dan stabil, serta masyarakat di beberapa daerah yang belum akrab dengan jaringan internet dan belum tersentuh tenologi perlu diedukasi terlebih dahulu. Berdasarkan hal di atas, saya kurang setuju apabila pilkada tetap dilaksanakan ditengah masa pandemi saat ini.
Mohon izin memberikn tanggapan dari artikel diatas. Saya termasuk dalam kelompok yang konta dengan adanya pelaksanaan pilkada serentak di bulan Desember mendatang. Dimana kondisi dan situasi di Indonesia sangat tidak kondusif dengan semakin bertamabhnya jmlah warga yang terpapar virus. Dengan adanya pilkada serentak secara offline akan melibatkan warga untuk berkumpul dan menurut saya sangat sulit mengendalikan masyarakat Indonesia untuk mengikuti protokol kesehatan yang seharusnya. Masih banyak masyarakat yang menganggap tidak penting akan protokol kesehatan sehingga besar kemungkinan terjadinya penyebaran virus yang semakin luas. Sementara jika pilkada tersebut dilakukan secara online pun akan tidak maksimal, mengingat masih banyak daerah yang sulit mendapatkan jaringan internet. Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan penduduk yang tidak mengenal internet, seperti penduduk yang tinggal di pedalaman maupun penduduk dengan usia senja yang tidak dapat mengaplikasikan internet di kehdupan sehari-hari.
Daripada itu, lebih baik pemerintah fokus terhadap penanganan kasus Covid19 dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan wabah ini. Sehingga masyarakat dapat patuh terhadap protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh badan kesehatan.
Kesimpulan dari pernyataan saya di atas, saya tidak setuju jika pilkada serentak tetap diadakan pada bulan Desember 2020.
Menurut pendapat saya, saya sangat tidak setuju terkait diadakannya pilkada serentak di bulan Desember nanti. Karena melihat kondisi Indonesia saat ini dimana peningkatan grafik COVID-19 dan semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya, dengan diadakannya pilkada serentak dikhawatirkan dapat memicu peningkatan drastis terkait covid-19. Karena adanya kerumunan, alat yang digunakan bergantian, dan kondisi masyarakat indonesia yang belum sepenuhnya sadar dan menaati protokol kesehatan. Saat ini akan lebih baik bila pemerintah berfokus pada pandemic ini yang sudah sangat berpengaruh banyak bagi masyarakat luas, mulai dari kesehatan sampai perekonomian, tidak boleh berlarut larut dan semua harus dapat normal kembali.
Tanggapan saya, soal pilkada yang di gulirkan saat pandemi ini adalah langkah yang kurang tepat, jika dilihat dari sudut pandang politik, karna ini pilkada serentak dan banyak pejabat daerah yang masa jabatan habis di akhir tahun ini, jika pilkada ditunda sampai tahun depan, maka akan ada kekosongan jabatan. Namun anggota dewan bisa ngutus siapa saja nama yang bisa menduduki kursi kosong itu sementara, namun ini bisa menjadi polemik karena nama-nama titipan tersebut. Dan kalau dari sisi medis ini akan membuat indonesia masih akan bersama lebih lama lagi dengan pandemi ini, karena kerumunan masa yang tidak bisa dibendung untuk melihat paslonnya orasi. yang terbaik berdoa agar pandemi ini cepat selesai dan tidak ada agenda yang tertunda lagi. semua akan normal.
Artikel ini sangat menarik dan cukup banyak memberikan wawasan baru kepada saya. Mengingat Indonesia adalah Negara Demokrasi sudah patutnya suara masyarakatlah yang didengar, bukan apa mau mereka tapi seharusnya apa mau kita dan apa yang kita (masyrakat) butuhkan. Dengan adanya perkembangan media sosial disaat ini, seharusnya masyarakat lebih bisa menggunakannya lebih baik, lebih bijak, dan lebih pintar. Agar tidak hanya mengikuti arus, sebagai masyarakt indonesia kita harus menyampaikan aspirasi kita, dan menuntut agar suara kita untuk didengar kaarna itu memang hak kita. Saya rasa pemerintah membuat keputusan tersebut dengan segala macam pertimbangan yang cukup mantang, tapi tolong di masa seperti sudah cukup banyak orang yang jatuh berguguran dikarnakannya pandemi ini. Saya rasa pemerintah harus lebih tegas lagi dalam menentukan keputusan ini, saya rasa pilkada sama pentingnya tapi lebih penting kesehatan. Dan kalaupun tetap terjadi di tanggal yang sama, saya rasa semuanya harus dipindahkan secara online dan perencanaan yang matang