Kabar

Diskusi Girang ke-9 Ungkap Fakta Menarik Sejarah Masjid Agung Ats-Tsauroh Kota Serang

KOTA SERANG, biem.co — Sobat biem, seri Diskusi Girang yang merupakan kerja sama antara Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, Laboratorium Banten Girang, Ikatan Pustakawan Indonesia dan biem.co kembali digelar. Diskusi virtual yang ke-9 ini menghadirkan narasumber Mushab Abdu Asy Syahid yang membahas Arsitektur Masjid dan Pusat Kota Serang Abad ke-19.

Mushab menghadirkan fakta-fakta sejarah yang telah ia susun dalam tesisnya. Menariknya, ia juga membahas tokoh pribumi yang melatari pembangunan Masjid Agung At Tsauroh (yang dikenal dengan Masjid Pegantungan) dan Masjid Kaujon. Ada Rd. Tumenggung Aria Basoedin Tjondronegoro (Regent Basoedin) 1848—1870 yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memerintah sebagai regen (bupati) di sana. Regen Basoedin adalah seorang Jawa yang besar di Yogyakarta.

Latar belakang Regen Basoedin yang dekat dengan kebudayaan Jawa dianggap mempengaruhi gaya arsitektur dua masjid di pinggiran pusat kota Serang, yaitu Masjid Pegantungan dan Masjid Kaujon. Mushab menjelaskan bahwa kedua masjid tersebut jauh lebih mirip dengan bentuk masjid Demak di daerah Jawa. Kemiripan itu dicirikan dengan adanya atap tajuk dan atap cengkuk tiga. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh tokoh politik yang ada di balik pembangunan kedua masjid tersebut.

Masjid Pegantungan tercatat dibangun oleh Regen Basoedin di tahun 1870. Pada peta tahun 1878, masjid tersebut sudah terekam, termasuk juga Masjid Kaujon. Oleh pemerintah kolonial, daerah Kaujon dikategorikan sebagai wilayah radikal karena sering menjadi basis perlawanan orang-orang Serang, terutama dari orang-orang Kaujon, Kaloran, dan Pegantungan.

Pada tahun 1888, Pemberontakan Ki Haji Wasyid di Cilegon telah menjadi inspirasi bagi pergerakan jawara, kelompok agama, juga pejabat pribumi yang secara aktif sering berkumpul di dua masjid tersebut. “Namun, karena pemberontakan di Cilegon gagal, gerakan pemberontakan di Serang tidak berlanjut,” papar Mushab.

Lebih lanjut Mushab menuturkan, dirinya cukup kesulitan mencari arsip-arsip foto pada tahun 1900-an. Menurutnya hal itu mungkin karena masjid-masjid tersebut menjadi basis pergerakan perlawanan terhadap kolonial, juga adanya anggapan bahwa orang-orang non-muslim dilarang untuk mengunjungi masjid. Hingga pada peta di awal abad 20, yaitu tahun 1915, masjid Kaujon tidak tampak.

“Hilangnya masjid tersebut dari peta menimbulkan pertanyaan, apakah masjid tersebut dihancurkan atau memang hancur secara alamiah,” terang Mushab.

Namun, politik etis Belanda mendorong adanya intervensi Belanda untuk melakukan restorasi terhadap dua masjid tersebut. Pada tahun 1933 dan 1936, tercatat bahwa pemerintah Belanda meresmikan pendirian kembali dua masjid tersebut. Terlihat dari nuansa Eropa yang tampak di beberapa bagian, yaitu boven atau lubang angin.

“Keterlibatan pemerintah kolonial dalam membangun kembali dua masjid itu adalah implementasi politik etis yang ingin menunjukkan bahwa pemerintah kolonial peduli dengan keagamaan dan sosio-kultural negeri koloni,” tandasnya.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button