Resensi Oleh Ken Supriyono
biem.co — “Setiap orang adalah guru, dan setiap rumah menjadi sekolah (ruang belajar).” Petuah ini terucap dari seorang kawan, semasa merantau studi di Kota Solo. Petuah yang biasanya menjadi selingan obrolan di warung angkringan, atau yang biasa dikenal dengan istilah hik—hidangan istimewa kampung—.
Rupanya, kawan itu bukan pencetus pertama petuah tersebut. Ia mengutip dari wejangan yang kali pertama dilontarkan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Bapak Pendidikan Nasional, yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro.
Terucap dari seorang Ki Hajar Dewantara, barang tentu petuah itu punya kedalaman makna tersendiri. Petuah yang mengisyaratkan kita untuk senantiasa belajar, tidak meremehkan orang, dan tidak berlaku sombong. Kita pun dapat memetik pengetahuan, pengalaman, dan nilai-nilai baik lainnya, dari siapa saja dan di mana saja.
Entah mengapa, petuah itu mendadak terpanggil dari memori ingatan saya, ketika menerima buku berjudul, “Catatan Sahabat Irvan Hq: Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi.” Apalagi, buku itu diberikan langsung dari tangan orang yang tertuang dalam buku—Irvan Hq—. Lengkap dengan tanda tangannya. Juga tanda tangan penyusunnya, Muhammad Rois Rinaldi.
Apakah petuah Ki Hajar Dewantara yang dilontarkan kawan saya, menemukan pertalian maknanya dengan buku Catatan Sahabat Irvan Hq? Baca saja bukunya. Yang pasti, sedari awal berjumpa dengannya, saya punya kesan tersendiri.
Saya memang belum mengenal lebih dalam sosok Irvan Hq. Kecuali, informasi sepintas yang kerap diceritakan Ali Faisal. Teman sekaligus kakak yang mengajak bertemu dengannya, sekira akhir 2018. Dia meminta saya untuk memberikan catatan dan masukan untuk beberapa konten biem.co.
Baca Juga
Catatan yang semestinya tidak perlu juga. Tapi, karena seorang teman yang meminta, itu saya anggap sebagai ruang perjumpaan perkenalan. Mungkin saling menggenapkan sebagaimana ia ajarkan kepada saya. Toh, berbagi dalam kebaikan adalah sesuatu yang menyenangkan, lagi menyehatkan.
Pertemuan seperti ini, mungkin bagi sebagian orang tidak mengenakan. Tapi, tidak untuk seorang Irvan Hq. Dia sebagai CEO biem.co, menyambutnya dengan ramah. Bahkan menyambut sebagai ajang tukar tambah pengetahuan.
Sikap yang langka bagi orang yang cukup banyak makan asam garam. Ia pun menjawab dengan pertalian persahabatan. Melalui simbol kaus berlogo biem.co yang bertuliskan, “berbagi karya dan inspirasi.” Juga dua buku kumpulan tulisan anak-anak Komunitas Banten Muda.
Kedua kalinya, Irvan Hq menunjukkan caranya bersahabat. “Saya sudah tidak boleh berjualan lagi karena sudah kontrak (cetak buku) dengan Gramedia. Ini masih ada buku yang diterbitkan biem.co,” katanya beberapa waktu lalu, sembari memberikan buku yang masih diterbitkan sendiri oleh biem.co.
Sampul buku itu cukup mencuri perhatian. Bergambar seorang pria berkacamata dengan kaus Superman. Desainnya pun menunjukkan semangat zaman. Background putih dengan gambar dan tulisan dominan merah, yang mengesankan semangat keberanian.
Judul bukunya juga sudah mengesankan motivasi. Apalagi, imajinasi tentang Superman yang super hero itu, memang sudah melekat lewat film yang akrab semasa kecil saya.
Saya bukan ahli semiotik atau ilmu tanda. Jadi, tidak perlu juga memberi tafsir berlebih atas sampul dan simbol-simbol yang melekat pada buku. Terlebih, menyangkut simbol burung Garuda Pancasila pada kata pengantarnya. Toh, burung lambang negara itu hanya perlu menjadi laku kita.
Tapi, suatu ketika saya pernah bilang ke anak saya soal Pancasila. Nak, Pancasila di hadapanmu bukan untuk sekadar dipandang, dihafal, apalagi pajangan. Amalkan itu sebagai nilai pikiran, tindak tanduk, dalam pengabdian kemanusiaanmu menyamai kebaikan. Amalkan saja, tanpa harus merasa menjadi yang paling benar, dan Pancasilais.
Dan, soal simbol Superman, saya cukup meminjam penjelasan Irvan Hq. Pemaknaan yang didapatkan dari prosesnya bekerja, sebagai karyawan perusahaan yang memiliki produk makanan ternak, dengan nama Super Feed. Juga perusahaan ternak anak ayam berumur sehari dengan nama Super Chick.
Mungkin terkesan cucoklogi. Tapi seorang pembelajar memang selalu menemukan pemaknaan baru. Juga menggugah. Seperti dirinya yang memaknai karyawan; tidak hanya sekadar buruh mekanik. Menurutnya, tidak semua orang bisa bekerja di pabrik. Mereka adalah orang-orang pilihan. Bermodal skill dan kapasitas, juga bekerja di bawah tekanan mencapai target. Merekalah yang oleh Irvan disebut Superman.
Superman yang juga melekat sebagai karakter pahlawan. Sosok yang mendedikasikan dirinya untuk menolong sesama. Memiliki kekuatan hebat, tetapi tidak sombong. Sebagaimana perumpaan Irvan sendiri, orang sombong itu seperti orang yang berdiri di atas gunung. Dia melihat orang begitu kecil, namun dia tidak sadar kalau orang lain juga melihat sama kecilnya.
Cara Irvan memaknai proses hidupnya bertalian dengan petuah Ki Hajar Dewantara, “setiap orang adalah guru, dan setiap rumah (tempat) adalah sekolah.” Cerminan karakter yang juga tergambar pada buku setebal 349 halaman, dan ditulis 32 penulis. Penulis yang tak lain, adalah sahabat atau orang-orang yang terpancar kebaikan seorang Irvan.
Baca Juga
Meski belum saya baca keseluruhan, beberapa sub bagian pada buku itu cukup menggambarkan. Bahwa, Irvan Hq seorang motivator sebagaimana tertulis oleh Veronica Gabriella dan Darwin Mahesa. Konseptor sekaligus eksekutor yang out of the box sebagaimana tulisan Mahdiduri dan Ahmad Wayang. Mentor yang menggenapkan sebagaimana tulisan Rizal Fauzi dan Ali Faisal. Kakak yang bersahabat sebagaimana tulisan Dionisius Bemby. Dan, kolaborator sebagaimana tulisan Atih Ardiansyah. Juga penilaian-penilaian lain di buku yang masih saya cicil baca menjelang waktu tidur.
Penilaian itu bisa jadi subjektif dari sahabat-sahabat Irvan. Mungkin, akan ada yang beranggapan hanya sebatas puji-pujian. Tapi, Catatan Sahabat Irvan Hq menunjukkan refleksi atas memori seorang sahabat. Bukan hanya secara personal, tetapi juga pikiran, ide, dan keteladanan yang ditanamkan Irvan kepada sahabat dan sekitarnya.
Buku ini menyimpan memori (sahabat) sekaligus menyambungkan imajinasi kebajikan di masa depan. Bersahabat untuk berbagi karya dan inspirasi. Bahwa, menjadi besar tidak harus menginjak kepala orang lain. Melainkan, dengan bertumbuh bersama.
Pendiri House Fredom, Elanor Roosevelt berkata, orang hebat berbicara ide-ide, orang biasa berbicara kejadian di sekitar, dan orang kecil berbicara tentang (keburukan) orang lain. Dari buku ini, saya kembali diingatkan untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, juga perbuatan.
Sekali lagi, Catatan Sahabat Irvan Hq melukiskan energi persahabatan yang menggerakkan kebajikan. Dan, kita butuh banyak orang yang ikhlas berbagi dalam bejana kebajikan itu. Selamat membaca!
*Penulis adalah Koordinator Journalist Lecture.