Oleh Ken Supriyono
“Sikerei muda menari bersama roh para leluhur yang diundang-dipikat tujuh sikerei tua…. Ia menari dan menari, kakinya mengentak-entak lantai, tangannya merenggang tegang. Pukulan-pukulan pada gajuemak meningkahi setiap gerak lakunya…. Tato di sekujur tubuhnya berkilat-kilat diterpa cahaya lampu minyak. Ia berputar, melingkar dengan gerak tangan serupa manyang….”
biem.co — Sepenggal eksotika tradisi muturuk membuka jalan cerita pada novel Burung Kayu. Dari tarian ritus arat sabulungan itu, penulis langsung mengajak pembaca masuk, dan lekat ke bagian paling intim pada masyarakat pedalaman Pulau Siberut, Mentawai.
Tokoh yang diceritakan pun tak sekadar menjadi objek, tapi sekaligus subjek yang bertutur. Setidaknya terlihat dari sikap penulis yang banyak menggunakan bahasa-bahasa lokal Mentawai yang tidak diberi penjelasan, baik lewat catatan kaki atau glosarium.
Kendati itu sulit dimengerti, penulis cukup berhasil mengajak bertamasya memasuki alam kosmos uma suku-suku di pedalaman. Murutuk tak sekadar tari-tarian untuk tontonan. Ada kesakralan tradisi dan budaya yang melekat. Kepercayaan yang kompleks, yang setiap unsurnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Novel bergenre fiksi ilmiah dengan pendekatan studi antropologis ini tidak hanya mengulas aspek tradisi. Tuturan yang mengombinasikan naratif-imajinatif membuka sepenggal kisah sejarah masa lalu masyarakat Mentawai. Tradisi menjaga kehormatan, silsilah kekerabatan antar suku, perburuan di hutan, hikayat, hingga soal-soal kepercayaan terhadap roh-roh moyang, yang menyatu dengan keharmonisan alam semesta. Juga perseteruan dendam antar suku yang turun temurun.
Maka, “bacalah selepas bercinta.” Ucapan canda yang sempat dilontarkan Niduparas Erlang selaku penulis, saat kali pertama memberikan buah karya penanya. Kendati candaan, penulis seperti menitip pesan tersirat. Sebagaimana ia pahat dalam cerita cinta tokoh utamanya—Saengrekerei—, yang bertepuk sebelah tangan, dan berubah menjadi perseteruan Suku Sura-Sabbeu dan Suku Tunggul-Kelapa.
Perseteruan kian meruncing karena tak sekadar urusan cinta yang tak bertuan. Lebih jauh, ada kewibawan dan kehormatan yang dipertaruhkan. Puncaknya, saat busur panah orang Suku Tunggul-Kelapa menembus dada Bagaiogok atau Aman Lageumanai, yang tak lain adalah kakak dari Saengrekerei. Dendam semakin membuncah. Dan, demi mewarisi dendam itu kepada Lageumanai (anak Bagaiogok), Taksilitoni (istri Bagaiogok) pun menikahi Saengrekerei, adik iparnya sendiri.
Nen! Seperti sampan yang melaju dari hulu uma pedalaman menuju hilir muara. Terus melaju menuju samudera kemungkinan tak terbalas, menuju langit kesempatan tak terbilang, sembari memunggungi hutan-hutan, roh para moyang, dan daun-daun penghidupan.
Baca Juga
Kala sampan sampai di muara, pertalian ceritanya menjadi lebih kompleks. Alur cerita dipaksa melompat lebih cepat, bahkan mengejutkan pembaca. Layaknya kehidupan masyarakat pedalaman yang dipaksa berubah oleh kebijakan negara, berpindah dari uma menuju barasi atau perkampungan bikinan pemerintah. Babak baru pembangunan kesejahteraan versi pemerintah, yang kemudian hari membuka tabir jalan investasi korporasi atas penguasaan hutan.
“Itulah. Kalau kita mau melakukan apa-apa di hutan, katanya kita harus melapor dulu kepada mereka.” …. “Kalau begini caranya, pelan-pelan mereka sedang membunuh kita.” … “Memang siapa yang menumbuhkan pohon-pohon di hutan?” “Memang siapa yang memberi makan hewan-hewan buruan di hutan?”
Penggalan dialog itu kiranya mewakili kegelisahan kehidupan warga pedalaman, yang dipaksa ke barasi dengan nama kesejahteraan dan mantra-mantra modernisasi. Juga label baru, bahwa pedalaman adalah ketertinggalan. Titik balik perubahan arus; pemaksaan pemerintah-pembangunan, polisi-perpanjangan tangan, agama-agama resmi, dan investasi korporasi.
Perubahan yang membuat perburuan babi, dan hewan-hewan buruan lainnya, juga pertaruhan kehormatan antar uma hanya menjadi cerita “mitos” dalam lisan-lisan di beranda barasi. Tak lagi ditemukan tunas sagu di pelataran, meracik dedaunan obat, memahat pohon katoka yang berbuah burung kayu untuk kewibawaan uma. Apalagi, hasrat dendam Saerengkerei yang telah/sudah berhadapan dengan (represifnya) kebijakan negara.
Burung Kayu yang ditulis pada 174 halaman dan 14 bab, rasanya tak cukup menampung kompleksnya cerita yang dituang Niduparas. Banyak ruh masih menggelantung, sebagaimana kritiknya atas lunturnya kesakralan muturuk yang menjadi profan.
Namun, lewat Burung Kayu, penulis seperti hendak bicara, bahwa wacana pembangunan menjaga tradisi dan budaya hanya sekadar komoditas. Apalagi, tanpa menempatkan masyarakat adat sebagai subjek adalah omong kosong. Mereka hanya sekadar tontonan orang-orang kota atau turis yang mengalami kedamaian semu, dan tergiur promosi wisata back to nature, my tripe my adventure, dan iklan-iklan tour wisata.
Sementara, masyarakat pedalaman terancam dari kepunahan binatang-binatang buruannya, tunas-tunas sagu yang menyempit berganti beras, juga kerusakan ekositem lingkungan. Belum lagi, misionaris agama-agama resmi yang (memaksa) membawa tuhan-tuhan baru, dan mengantikan roh-roh moyang.
Sekali lagi, Burung Kayu mengingatkan; ada kesakralan penghidupan yang hilang akibat pembangunan yang tak menempatkan manusia sebagai manusia. Ada ancaman kepunuhan warisan budaya dan tradisi masyarakat adat kita yang berganti budaya baru.
Terlebih, nyanyian-nyanyian yang kerap dilantunkan dalam Arat Sabulungan tak lagi berkumandang. Muturuk dalam akhir Burung Kayu melukiskan dengan terang. “Sekerei-sikerei belia itu menari dan menari. Kaki-kakinya mengentak-entak lantai panggung diiringi pukulan-pukulan gejeumak dan sebuah lagu pop yang mengalun dari recorder dengan kabel berjuntai. Tato-tato tiruan dari tinta spidol hitam yang diguratkan para guru di sekolah, tak mengilap diterpa matahari.”
Burung-burung kayu pun hanya sebatas dekorasi artifisial. Sakralitas tradisinya hilang di atas panggung-panggung festival. Sekadar komoditas atas nama pariwisata.
Negara boleh saja memaksa keyakinan versinya. Tapi dari mururuk dalam Burung Kayu, kita belajar soal-soal penghayatan atas keyakinan dan penghidupan. Sebagaimana kata Saengrekerei dalam nasehatnya kepada Lageumanai, “Kita mesti menerima apa-apa yang yang menguntungkan bagi hidup dan kehidupan. Jiwa-jiwa kita mesti dibahagiakan.”
Burung Kayu menggugah kesadaran jalan kebudayaan kita, sekaligus mengingatkan kita untuk menjaga dan melestarikan alam raya penghidupan kita. Dan, membaca Burung Kayu, kita belajar bahwa sastra adalah hidup dan alam raya sebagai kitab sucinya. Selamat membaca!!
Judul Novel: Burung Kayu
Pengarang: Nidupara Erlang
Penerbit: Teroka Perss
Tahun terbit: 2020, Juni, Cetakan I
Peresensi adalah Jurnalis Penikmat Kopi Hitam/Koordinator Journalist Lecture.