biem.co — Terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali pada tahun 1999 yang dikenal dengan nama Djoko Tjandra itu membuat heboh publik lantaran kepiawaiannya mengelola sumber daya aparat penegak hukum untuk mengamankan dirinya dari jeratan hukum di Indonesia.
Tiga Jenderal polisi terbelit kasus buronan kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra. Ketiganya telah diperiksa Propam Polri. Bahkan telah dimutasi dari jabatannya. Mereka adalah Brigjen Prasetijo Utomo sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Lalu, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Ses NCB Interpol Indonesia Div Hubinter Polri Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Berbekal uang Rp4 miliar, Djoko Tjandra sukses besar membuat para petinggi di institusi Kepolisian luluh memberikan karpet merah untuk pelariannya dari kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Servis yang diberikan oleh petinggi Polri terhadap Djoko Tjandra terbilang sangat luar biasa sempurna dalam mengawal buronan yang hendak lari dari jeratan hukum yang berlaku di negara ini.
Mulai mencabutan Red Notice, difasilitasi pembuatan E-KTP, kemudian diberikan surat jalan dan bahkan konon diantar langsung oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pil Prasetijo Utomo ke Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokes) Polri untuk mendapatkan surat bebas Covid-19.
Layaknya Don Corleone dalam series The Godfather, Djoko Tjandra dengan segala kepiawaiannya mampu membuat mental aparat penegak hukum serta tatanan hukum di negeri ini hancur berantakan. Cita-cita supremasi hukum berdiri tegak jadi ambyar tak karuan.
Terkuaknya petinggi Polri melindungi buronan kasus korupsi (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra menjadi cermin atas penegakkan hukum di Indonesia yang belum menemukan kedigdayaannya. Substansi hukum yang sejatinya menuntut pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang.
Kegagalan aparat penegak hukum, khususnya Polri atas supremasi hukum di negeri ini mengindikasikan ada yang salah dengan perangkat aparat penegak hukum. Dalam penegakan hukum, Institusi Polri sebagai garda penegakan hukum pertama dalam integrated criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana). Polri harusnya menjadi penjaga kewibawaan hukum, tetapi yang terjadi malah rela menukar harga diri bangsa demi sejumlah uang.
Tanggung jawab atas pilar utama penegakan hukum sebagaimana tugas dan fungsinya Polri harusnya menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini. Bila pilar utama bobrok, maka masih pantaskah kita percaya pada penegakan hukum di Indonesia? Kasus seperti yang terjadi pada Djoko Tjandra tidak akan ada bila para penegak hukum bersadar pada moral yang sehat, bersih, dan tegak lurus untuk menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi di negeri ini.
Reformasi penegak hukum yang selama ini didengungkan, sudah saatnya dilakukan. Oknum-oknum nakal yang rela menggadai harga diri hukum bangsanya dengan sejumlah uang mesti segera dibumihanguskan.
Para petinggi Polri yang memberikan pelayanan pada buron Djoko Tjandra tidak cukup hanya dimutasi, tapi harus dipecat dengan tidak hormat dari institusi Polri dan diproses secara hukum. Karena hal ini bukan sekedar penyalahgunaan wewenang tapi juga sudah melindungi penjahat dan mempermainkan hukum dan kehormatan bangsa.
Institusi Polri harus segera bebenah guna mengembalikan kepercayaan publik pada penegakan hukum di indonesia. Jangan sampai praktik gila ini masih terjadi di tubuh aparat penegak hukum. (*)