Kabar

Panggih Priyo Subagyo: Lindungi Anak dari Lingkungan yang Jahat

biem.co — “Dari Istana Negara ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh anak Indonesia. Bergembiralah dan tumbuhlah menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, taat kepada orang tua, patuh kepada bapak dan ibu guru, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta kepada tanah air kalian yang indah dan luas ini,” kata Soeharto dalam pidato peringatan Hari Anak Nasional.

Apa yang disampaikan oleh Presiden ke-2 Indonesia tentu masih menjadi cita-cita kita bersama saat ini. Kira-kira itulah kondisi ideal yang kita harapkan bagi anak-anak kita. Namun realitasnya memang hal itu masih sebatas angan dan cita-cita. Masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan dan pelaku tindak kejahatan.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan bahwa Sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada laporan kasus anak terjerat masalah kesehatan dan Napza (2.820) kasus), pornografi dan cyber crime (3.323 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus).

Sejak tahun 2011 sampai 2019 kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak masih tergolong tinggi dan cenderung meningkat. Catatan KPAI, sejak 2011 hingga 2019, pengaduan terkait kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH), selalu menduduki peringkat tertinggi, baik anak sebagai pelaku maupun sebagai korban. Dari 1885 pengaduan yang masuk, 504 diantaranya (27% dari total kasus) merupakan kasus ABH. Sejak 2011 hingga 2019, anak sebagai pelaku kekerasan seksual masih menjadi kasus tertinggi, yang diikuti dengan kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik, dan anak sebagai pelaku pembunuhan.

Apakah Anak Sudah Terlindungi?

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Menurut Nahar selaku Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), tema kali ini ingin melindungi anak Indonesia dalam situasi darurat dan keadaan tertentu. Dalam kondisi pandemi Covid-19, kelompok usia anak-anak menjadi kelompok yang rentan.

Menurut saya, salah satu hal yang rentan bagi anak dalam kondisi pandemi adalah lingkungan yang sehat untuk tumbuh kembang. Lingkungan terdekat bagi anak adalah keluarga. Kondisi keluarga yang sedang mengalami beban ekonomi dan perubahan baru harus tetap memberikan perhatiannya kepada anak. Jangan sampai anak malah terabaikan.

Kenyataanya di tengah pandemi ini angka kekerasan anak dalam rumah tangga malah meningkat. Seperti yang disampaikan oleh Leny Nurhayati Rosalim, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi Covid-19 berlangsung. Hanya dalam waktu 3 minggu, dalam periode 2 hingga 2 April 2020, kekerasan pada anak mengalami peningkatan sebanyak 368 kasus kekerasan dialami 407 anak.

Keluarga harusnya menjadi tempat yang nyaman bagi anak. Jika keluarga tidak lagi memberikan kenyamanan bagi anak maka anak akan mencari lingkungan sosial yang lebih nyaman dan mau menerimanya. Lingkungan pergaulan biasany menjadi tempat pelariannya. Sayangnya, berbagai macam perilaku negatif anak seringkali dipengaruhi oleh teman sebayanya (lingkungan pergaulan). Ketika dalam kelompok anak akan cenderung melakukan konformitas. Yaitu upaya yang dilakukan agar diterima oleh kelompok sosialnya. Kebanyakan bentuk konformitas tersebut cenderung perbuatan negatif, seperti merokok, minum minuman keras, sampai tindakan kriminal seperti pencurian dan kekerasan.

Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) rata-rata berusia antara 14-17 tahun. Menurut Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan, rentang usia ini adalah masa pencarian jati diri. Lingkungan sosial akan memberikan pengaruh yang sangat besar, terutama lingkungan pergaulan.

Lingkungan yang Sehat

Suatu kali saya pernah melakukan konseling seorang anak didik pemasyarakatan (andikpas) atau mungkin familiar jika disebut narapidana yang masih berusia anak-anak. Sebut saja Aldo, usianya baru 14 tahun, tetapi sudah berulang kali harus berurusan dengan kepolisian. Hingga akhirnya harus menjalani pidana penjara untuk ketiga kalinya. Terakhir, dirinya melakukan penjambretan bersama temannya di salah satu kota di Papua Barat.

Aldo berkisah dengan begitu mantab tentang kehidupan sehari-harinya. Raut mukanya menunjukan rasa bangga atas kisah masa lalunya. Dia bercerita bagaimana awal mulanya mengenal dunia kelam.

“Kaka, awalnya itu saya kabur dari rumah, karena dimarahi sa pu orangtua gara-gara saya curi uang, lalu saya tinggal di kontrakan teman,” tutur Aldo membuka kisahnya.

Setelah kabur dari rumah, Aldo memiliki keluarga baru yang mau menerimanya. Sayangnya mereka bukanlah orang yang tepat. Kontrakan itu berisi para preman mulai dari kelas teri sampai kelas kakap. Setiap hari yang mereka lakukan tidak jauh dari memalak, mencuri dan mabuk.

Pun juga dengan Aldo yang mulai belajar berbuat kejahatan. Setiap kali dirinya keluar dari rumah selalu membuat masalah dengan orang-orang yang ditemuinya. Dari sekedar iseng jahil sampai aksi pemalakan selalu Aldo lakukan.

“Kamu tidak takut dengan apa yang kamu lakukan?” tanyaku penasaran.

“Kaka, kalau ada yang bikin masalah dengan sa, tinggal nanti lapor ke bos. Nanti bos yang akan kasih mereka pelajaran,” ujar Aldo.

Semenjak kabur dari rumah, Aldo tidak pernah pulang lagi. Dia masih menyimpan rasa marah dan dendam dengan ayahnya. Ayahnya sering memarahi dan memukul, dan itulah yang membuatnya tidak nyaman di rumah. Kini dia memiliki teman-teman yang rela melindunginya, baik di saat benar dan salah.

Kasus Aldo di atas semakin membuktikan bahwa anak-anak membutuhkan lingkungan yang sehat untuk dapat bertumbuh kembang dengan baik. Kita juga bisa belajar bahwa keluarga yang tidak menjalankan fungsinya bagi anak secara tidak langsung telah membentuk anak menjadi kriminal.

Lindungi Masa Depan Anak

Momen peringatan Hari Anak Nasional kali ini, mari kita melakukan refleksi atas perlindungan yang kita berikan untuk anak-anak di sekitar kita. Tidak menutup mata, apa yang terjadi pada Aldo juga bisa terjadi pada kita semua. Lebih tepatnya tanpa disadari kita adalah pelaku, hingga muncul Aldo yang lain di sekitar kita.

Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memandang ABH sebagai korban. Korban dari suatu sistem sosial yang tidak sehat. Lalu siapa pelaku sebenarnya?

Anak-anak kita sebagai generasi masa depan harus dipastikan memiliki lingkungan yang sehat untuk bertumbuh kembang. Mulai dari keluarga sebagai lingkungan terdekat, dimana pola asuh orangtua menjadi faktor yang paling berpengaruh.

Kita sebagai orangtua dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membangun lingkungan yang sehat. Sehingga “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” bukan hanya menjadi slogan yang setiap tahun berganti, tetapi permasalahannya tetap sama. (*)


Panggih Priyo Subagyo, S.Psi, Pembimbing Kemasyarakatan pada Bapas Kelas I Manokwari, Papua Barat.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button