Cerpen

Cerpen Mawan Belgia: Matinya Penulis di Gigilmou

biem.co – Belakangan ini di salah satu wilayah Gigilmou marak ditemukan bangkai anjing di jalan, kemudian kematian Rud. Mengapa Rud dibunuh? Jawabannya lebih banyak asumsi orang-orang. Yang berwenang masih dalam penyelidikan. Entah butuh berapa lama lagi semuanya baru terkuak.

Xei membantah bahwa kematian Rud ada kaitannya dengan tulisannya yang sangat berani, kerap mengandung satire terhadap pemerintahan. Dia menaruh curiga kepada orang-orang yang berada di dekat Rud.

“Dia berkawan dengan beberapa penulis, hampir setiap pekan mereka mengadakan pertemuan. Kau bilang orang terdekat, apakah salah satu dari kawannya itu? Mungkinkah pembunuh iri dengan Rud?  Saya tidak percaya kalau ada penulis membunuh penulis lain? Kalau saling mengejek banyak, dan mudah didapat jejak digitalnya,” ketus saya setelah kami kembali ke hotel ini dari kediaman Neima.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Perkejaan Xei telah selesai, mengedit video hasil wawancara kami dengan Neima. Ini sudah larut malam sekali. Tanda-tanda mengantuk belum juga hadir di antara kami. Saya memperbaiki posisi duduk di atas ranjang ketika Xei mengambil tempat di sebelah saya. Laptop terbuka di hadapan kami. Xei memperlihatkan saya hasil editannya.

“Hari-hari menjelang kematiannya memang saya mengamati perubahan dari diri Rud. Saya tidak ada paksaan padanya untuk mengikut pada keyakinan yang saya peluk diawal pernikahan kami,” tutur Neima dalam video itu, blus biru bermotif bunga yang dia kenakan, rambutnya ikal dikucir kuda, matanya yang sembab menegaskan kesedihannya.

“Dia meninggalkan agamanya, sekali lagi tidak ada paksaan. Bahkan saya tidak masalah sama sekali dengan rumah tangga kami sekalipun terdapat perbedaan. Dia meyakinan saya keputusannya murni adalah ketulusannya tanpa hasutan dari pihak manapun. Katanya sudah sejak dulu memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap keyakinan yang saya peluk. Kami melewati tahun-tahun awal pernikahan kami tidak ada masalah sama sekali.”

“Saya dapati Rud menjadi pribadi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Hari itu dia membawak potongan daging di dalam kantong plastik. Saya tentu terkejut setelah saya mengetahui kalau daging itu adalah babi. Dia memasak sendiri, dan memakannya. Dia hanya diam, tak berterus terang pada saya apakah telah kembali pada keyakinannya yang dulu.”

“Tapi saya curiga dia murtad. Dia memang tidak sering ke rumah ibadah, tetapi selalu meluangkannya setiap minggu, pada waktu itu dia tidak melakukannya lagi.”

“Paling membuat saya curiga di ponselnya ada potret dirinya sedang mengunjungi biara. Berpose dengan rahib. Tidak mungkin itu wawancaranya demi proyek menulisnya. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dan terkuaklah beberapa hari kemudian, terang-terangan di malam itu dia mengakui telah murtad, tidak dijelaskan secara spesifik kepada saya, kendati saya bertanya, apakah dia kembali ke agamanya yang dahulu, atau memeluk agama lain atau malah menjadi pagan?”

“Saya sangat menyayangkan keputusannya, sulit untuk saya maafkan. Saya menangis. Dia meyakinkan saya bahwa itu adalah pilihannya: hak dan kebebasannya berpindah keyakinan, dan saya sekalipun seorang istri tidak memiliki kekuasaan menentangnya,” mata Neima tampak berkaca-kaca.

Saya mengajukan pertanyaan yang lain, kemudian dijawab olehnya.

“Dia adalah penulis yang baik. Saya selalu menjadi pembaca pertama setiap karyanya sebelum diserahkan pada penerbit. Kami senang melakukan pembahasan karyanya. Dan mengenai pertanyaanmu tadi, apakah suamiku memiliki musuh? Tidak ada masalah dia dengan orang-orang di luar sana, hanya saja memang tulisan-tulisannya baik dalam bentuk novel maupun catatan pendek dimuat di berbagai media kerap membuat beberapa kalangan tidak senang.”

“Ini perkiraan orang saja, mencurigai pembunuhnya adalah dari kalangan yang merasa terusik dengan tulisan-tulisannya.”

“Tidak. Sama sekali saya tidak berpikiran ke sana.”

“Saya sangat menyesal. Seharusnya saya tidak keluar kota di hari itu. Tiga hari saya meninggalkan Gigilmou. Jam sepuluh pagi pesawat saya sudah mendarat. Saya langsung ke rumah. Pintu tidak terkunci, itu tandanya suami saya sedang di dalam. Saya menebak-nebak dia sedang menulis, perkiraan saya tak meleset, memang saya melihatnya duduk di depan komputer. Tapi ada yang aneh, saya perhatikan dia, tidak duduk tegak, kepalanya miring. Semula saya kira dia tertidur. Dan betapa terhenyaknya saya tatkala saya gerakkan tubuhnya, tampak kaku. Dan busa keluar dari mulutnya. Monitor masih menyala, paragraf belum diselesaikan dengan baik. Saya syok.  Saya berupaya mencari detakan di nadinya, tetapi tidak saya temukan, Rud telah mati, saya terpekik memeluk jasadnya.”

Neima berhenti. Mengeluarkan air mata.

Oh, saya memahami kepiluannya, ditinggal mati orang yang sangat dicintai. Saya dan Xei masih larut menyaksikan video wawancara.

“Saya tidak mencurigai siapa-sapa,” Neima menjawab masih pertanyaan saya, “Saya tidak begitu yakin kalau dia mati oleh orang lain. Saya yang pertama kali menemukan jasadnya, sebelum ditangani oleh kepolisian, sukar saya temukan tanda kalau dia dibunuh.”

“Itu untuk orang-orang, sudah saya katakan tidak kepikiran sampai ke sana. Bisa saja Rud mati bunuh diri.”

“Saya tidak menuduhnya, saya hidup dengannya, hari-hari saya bersamanya. Saya tahu betapa berubahnya Rud menjelang kematiannya. Dia bukan Rud yang dulu. Mungkin dia memiliki permasalahan lain yang ditutupi dari saya, semua itu bisa saja membuatnya  bunuh diri.”

“Dengan cara apa? Mulutnya berbusa. Minum racun. Bahkan polisi sudah membawa sisa kopinya. Dia tak terbiasa menulis tanpa minum kopi.”

“Saya ragu kalau dia diracun. Kehidupan rumah tangga kami bisa dibilang tertutup. Rud tidak pernah membawa temannya bertamu di rumah. Pertemuan mereka selalu dilangsungkan di luar. Dan jarang sekali kami kedatangan tamu. Saya sangsi kalau hari itu dia kedatangan tamu dan sengaja menaburi racun ke dalam minuman Rud.”

“Harapan saya saat ini, yang berwenang segera mungkin memecahkan misteri kematian suami saya. Kalau memang dia mati dibunuh, saya ingin pelakunya diberi hukuman. Saya tentu akan semakin sedih jika kenyataannya Rud mati bunuh diri.” Kembali Neima meneteskan air mata.

Video itu berdusari setengah jam. Hasilnya sudah pantas diunggah ke youtube Xei. Dan Xei memang melakukannya kemudian.

Kami perlu istirahat sejenanak sebelum pagi datang. Lampu utama kamar Xei matikan dan menyimpan laptopnya di atas meja. Lalu gadis berkaca mata itu berbaring di sebelah saya.

***

Sebenarnya saya dengar pintu kamar digedor-gedor beberapa jam sebelum saya bangun. Tapi karena kuatnya rasa kantuk, saya tidak beranjak dari tempat tidur. Saya tidak tahu apakah Xei membuka pintu. Kenyataannya ketika saya bangun jam sembilan lewat, Xei sudah tidak ada. Saya cek di dalam kamar mandi, kosong. Laptop dan ranselnya juga tidak saya temukan. Saya siap-siap, berinisiatif mencari Xei di luar. Telepon saya tidak diangkat.

Ini adalah akhir pekan. Di Gigilmou ada kebijakan dari wali kota, setiap penduduk tidak diperkenankan membawa transportasi pribadinya setiap akhir pekan. Hanya angkutan umum seperti taksi dan bus yang melintas. Sehingga jalan tampak lengang dari kebisingan mesin kendaraan serta polusi. Bejibun pejalan kaki menuju tempat tujuan, tanpa mengkhawatirkan panas, Gigilmou bukanlah kota yang dilalui garis khatulistiwa.

Saya lelehkan pandangan, tidak saya temukan Xei. Sudah lebih dari sepekan kami di sini, Xei tidak pernah meninggalkan hotel kecuali bersama saya, makanya saya dibuat tidak enak: mengkhawatirkan Xei.

Karena tidak melihat Xei, saya dibuat bingung sendiri. Demi mengusir kebingungan, saya keluarkan kamera, memotret pejalan kaki, gedung-gedung yang tidak terlampau tinggi, indah bercorak klasik. Gedung-gedung tua peninggalan peradaban masa lalu, masih sangat terawat dengan baik di Gigilmou.

Saya menepi dari jalan menuju bangku panjang yang tertanam di atas trotoar, di bawah pohon, ketika ponsel di saku celana saya bergetar berkali-kali: pertanda notifikasi. Pemberitahun email masuk, yang tidak terlalu penting saya baca. Yang menarik adalah WA yang dikirim Xei.

“Saya sedang di biara,” keterangan foto Xei tersenyum tanpa menampakkan giginya, Xei sedang bersama lelaki paruh baya, berjambang. Disusul tulisan Xei memperkenalkan paruh baya itu, “Dia Alfonso. Dialah Rahib yang kerap ditemui Rud di tempat ini. Darinya saya tahu, kalau menjelang kematian Rud memang sering mengaduhkan permasalahannya. Dia sudah tidak tahan menghadapi istrinya yang aneh. Ini Alfonso tahu dari Rud sendiri, Neima kerap meracuni anjing-anjing liar di sekitar tempat tinggal mereka, banyak orang yang tak tahu perihal ini.”

“Ini video terbaru saya,” ketik Xei diikuti link youtube, sekonyong-konyong saya membukanya. Terlebih dahulu saya mengambil headset di kantong ransel. Video itu membahas tentang kematian Rud. Ada satu nama yang terang-terangan dia curigai sebagai pembunuh Rud. Saya tidak tertarik mengikuti komentar-komentar yang ada, tentu banyak netizen yang mengecam video Xei.

“Kau sudah melihatnya?” satu pesan Xei baru masuk.

“Kau tidak seharusnya membuat video macam begini. Kalau Neima keberatan, bisa-bisa kau terjerat pasal pencemaran nama baik,” balas saya.

Tidak lama Xei membalas lagi, “Ya, tadi dua orang polisi datang ke hotel. Saya diringkus ke kantornya. Syukurlah, ternyata kecurigaan saya sesuai dengan hasil investigasi mereka. Saya tidak berhak dipenjara. Setelah  urusan itu usai barulah kemudian saya ke bihara bertemu dengan Alfonso.”

“Ini berita yang sangat hangat dan menggemberikan, pembunuh memang harus menerima hukuman. Dia tidak boleh dibiarkan bebas,” sebuah tautan dikirim. Cepat-cepat saya membacanya. Neima ditetapkan tersangka dan sudah dibawa oleh polisi, membuat saya terhenyak, seolah tidak percaya. Lalu yang dikatakan Neima pada wawancara kemarin apakah semuanya adalah kebohongan? Tidak benar dia keluar kota di hari itu?

“Yang dicurigai adalah yang jauh di pelupuk mata, padahal pelakunya ada di dalam ketiak kita sendiri. Betapa berbahayanya sebuah prasangka itu, Kato,” tulis Xei, “cepatlah susul saya ke sini. Kau perlu mendengar sendiri keluhan Rud yang disampaikan pada Alfonso tentang Neima yang ternyata istri mengerikan.”[]

2019-2020


Tentang Penulis

Mawan Belgia, berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa. Cerpen-cerpennya telah tersiar di beberapa media. Novel terbarunya; Sampah di Laut, Meira.

Facebook: Mawan Belgia

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button